Bagian Keempat

51 16 2
                                    

: Percakapan :

Uap panas dari semangkuk ramen yang setengah penuh menerpa wajahku sesekali, sembari mendengarkan penuturan dari pria di sebelahku—Takeru. Ternyata, sekelompok orang yang tengah bercengkrama tersebut adalah teman-temannya—sebenarnya mereka masih berkeluarga jauh— perbedaan usia yang kentara membuat Takeru memilih menyisihkan diri dari percakapan penuh gelak tawa berpadu sendawa, topik yang dibahas pun tak jauh-jauh dari curhat tentang masalah keuangan rumah tangga, istri-istri dan anak-anak mereka. Sebagai seorang bujang, topik itu cukup menganggu, terlebih pertanyaan-pertanyaan konstan ‘Kapan menikah?’ kerap kali dilayangkan lebih dari sekali.

Sebagai sesama single, penikmat kesendirian jika tidak mau dikata jomlo karatan. Aku bisa memahami bagaimana perasaan Takeru, lagipula duduk di sebelah orang-orang yang berbau alkohol sama sekali tidak mengenakkan.

“Jadi … Sudah sejak kapan. Tepatnya, kau ikut dengan paman-pamanmu itu?” Tanyaku, sambil mengaduk-aduk sisa mie ramen dalam mangkuk.

Takeru menjauhkan bibir mangkuk dari mulutnya, suara mendecap menyusul sesudah bunyi menyeruput. Pria itu meletakkan mangkuk di atas meja dan menjawab, “Semenjak wisuda,” Katanya. “Aku belum menerima pekerjaan semenjak saat itu. Kemudian, Paman Hideo mengajakku bergabung dengan perkumpulannya—begitulah caranya menyebutkan—dua tahun lalu.” Takeru sejak tadi memaparkan tanpa ragu tentang kehidupan pribadinya.

Hideo-san adalah adik kandung dari Ayah Takeru. Katanya, semenjak belia keduanya sudah sangat dekat, karena memang pamannya itu tidak memiliki satu pun putra diantara ketiga anaknya. Ia sangat senang memanjakan Takeru, dan sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Pria berambut tipis itu juga sering kali membantu keluarganya di masa-masa sulit. Pria baik hati dengan bentuk rahang yang nyaris kotak, matanya serupa dengan pemilik kedai ramen setiap kali dirinya tersenyum dan cegukan. Pria itu yang paling tua di antara yang lainnya, paling dihormati dan tak lain adalah pemimpin dari kelompok pementasan Kyogen.

Ya. Orang-orang ini adalah alasan Kazunari mengeluarkan banyak uang perjalanan Tokyo-Osaka, pementasan mereka yang menuai berbagi pujian dari penjuru dunia menarik minat sang manajer kreatif untuk mengajak adik kesayangannya menonton. Ternyata dunia hanya sekecil itu. Kalau saja Kazunari tiba di sini beberapa jam lebih lama, ia juga berkesempatan berkenalan dengan Takeru.

Pementasan Kyogen sendiri adalah salah satu pertunjukan drama secara lisan yang berusia sangat tua. Bahkan sudah adalah semenjak abad ke-8—atau sebelumnya— dan dipercaya dibawa dari China. Inti cerita Kyogen lebih fokus pada kehidupan sehari-hari masyarakat feodal atau cerita rakyat sebagai subjek, dan realistis. Kyōgen, melalui ekspresi realistis dari humor, menggambarkan esensi sebenarnya dari sifat manusia.

Takeru menadaskan air putihnya, ia meletakkan gelas kaca seukuran satu jengkal di sisi kiri mangkuknya. “Jadi ….” Ia berkata, menyedot perhatianku yang sedang mendulang mie ke dalam mulut. “Kau … Akan datang untuk menontonku, kan?” Ujarnya, dengan nada sedikit bersemangat dan penuh harap.

Kutarik mie yang masih menggantung di depan bibir sebelum menjawab, “Iya. Sepertinya, tiketnya pun sudah dibeli,” Jawabku sekanannya. Jika mengingat sifat Kazunari yang selalu totalitas dan menciptakan kejutan. Aku sama sekali tak kaget jika dirinya sudah pulang membeli tiket untuk kami. Aku menenggak air putih dalam gelas. “Aku akan datang, acaranya lusa kan?”

Takeru tersenyum lebar mendengar jawabanku, ia mengangguk-angguk seperti kucing kuning pajangan meja kasir kedai ini—yang katanya bisa mendatangkan untung.

“Iya. Lusa ini, pastikanlah kau duduk di depan,” Imbuhnya sambil berdiri, namanya disebut tadi dan Takeru nampak terburu-buru merogoh saku celana panjangnya.

“Kenapa?“ Tanyaku bingung. Walau tak memaksa, namun sorot mata Takeru menampilkan harapan tinggi atas kehadiranku di gedung teater besok lusa. Itu lebih seperti paksaan secara tersirat bagiku.

Takeru tidak menjawab, ia hanya tersenyum dan mengeluarkan beberapa lembar yen, jumlah yang kuyakin sangat lebih jika hanya untuk membayar semangkuk mie saja. Secarik kertas berbentuk persegi, mencuat keluar bersama dengan beberapa logam yang ditumpahkan Takeru di atas meja. Sepertinya ia tidak mau repot-repot menghitung jumlah uang yang dikeluarkannya.

“Ah, kalau tidak keberatan. Kau bisa menyimpan ini,” Ujarnya pelan, menyodorkan kertas kecil tadi yang ternyata merupakan sebuah kartu nama. Tidak diberitahukan pun secara tak langsung ia memintaku menghubunginya. Obrolan ini tidak akan berakhir di sini saja, kira-kira begitu yang diharapkannya.

Tak jauh dari tempat kami berada, nama Takeru disebut-sebut dengan suara parau. Keduanya saling sahut-menyahut sebentar, “Kutinggal ya,” Pamitnya, masih sambil tersenyum. “Makanmu sudah kubayar. Terima kasih karena bersedia menemaniku mengobrol. Hati-hati di jalan saat pulang nanti.” Ia melambaikan tangan dan melenggang pergi, berjalan cepat menuju pintu keluar sambil memapah pamannya yang mabuk berat dibantu seorang lagi.

Kuraih kartu nama di sebelah sekumpulan uang kertas dan logam kumal. Menekuri benda tersebut.

Orange Magic  » T. Kazunari ; Between awake and sleep ✔️Where stories live. Discover now