Bagian Ketiga

61 16 5
                                    

: Osaka :

Kami tiba di Osaka pukul sebelas lebih empat belas menit, cuaca di sana lebih hangat daripada Tokyo sehingga Kazunari memilih untuk tidak mengenakan syalnya. Kami berdua langsung berjalan meninggalkan stasiun Shin-Osaka dengan menaiki taksi.

Sementara, Kazunari melanjutkan tidurnya yang sempat tertunda—kentara lelah dari guratan di wajahnya yang atraktif—Aku tidak tahu kemana sopir ini akan membawa kami. Kazunari menyebutkan nama salah satu tempat yang tidak kukenal dan pengemudi taksi itu langsung memelesat meninggalkan lahan parkir tanpa banyak bertanya lagi. Seperempat jam kemudian kami sudah sampai di hotel yang disewa Kakakku.

Aku nyaris jatuh tertidur ketika menunggu waktu check-in—kami tiba lebih cepatdi sofanya yang nyaman ketika Kakakku membangunkanku dan berkata bahwa kami sudah diperkenankan untuk beristirahat di kamar.

Kamarku bernomor puluhan ganjil di lantai ketiga koridor sebelah kanan. Berhadapan dengan kamar turis asing—yang datang bersamaan dengan kami— dan, bersebelahan dengan milik Kazunari. Ia bertanya apakah aku mau memesan makanan dan kujawab tidak sekarang, rasanya benar-benar melelahkan setelah dua jam tiga puluh menit perjalanan kami tadi. Aku masih menempelkan kartuku ketika Kakakku itu sudah menerobos masuk kamarnya.

Setelah memasuki kamar ada dua bilik di sebelah kanan, yang satunya merupakan kamar mandi dengan shower dan bak, sementara yang satu lagi adalah kloset dengan westafel berkaca bundar. Berhadapan dengan bilik itu ada satu kompor elektrik mungil dan tempat mencuci piring yang berada di satu meja berlaci serta mesin cuci.

Melintasi semua itu barulah Aku memasuki bagian kamarnya, ada satu  ranjang besar yang cukup untuk dua orang, lemari pakaian dan meja berkaki rendah yang saling bersebelahan di seberang dipan. Kamar ini juga memiliki balkon yang ditutupi tirai. Ketika kusibak tirai yang menutupinya, hanya ada gedung bercat abu-abu—apartemen—di depannya. Aku menggeser pintu kaca, berjalan mendekati pagar pembatas lalu menoleh ke bawah. Jalanan sepi, hanya sedikit orang yang berlalu lalang. Kuputuskan untuk kembali ke dalam dan beristirahat tanpa menutup pintu kaca balkon tersebut.

Aku terbangun ketika suara ketukan pintu berbunyi berulang-ulang kali dengan tak sabaran. Aku mendengkus dan berusaha duduk di atas ranjang sambil mengusap wajah ternyata di luar sudah gelap sekali dan angin dingin berembus masuk menerbangkan tirai dari balkon. Ketukan di pintu kembali terdengar, kali ini diikuti oleh suara berat seorang pria yang sudah amat familier, Kazunari.

Kubuka pintu kamarku dan dia tersenyum lembut menatap wajahku yang awut-awutan sehabis bangun tidur.

“Kau melewatkan makan malam,” Katanya bernada sendu. “Kurasa restorannya sudah tutup sekarang. Tapi, kalau butuh apa-apa untuk dimakan, ada kedai ramen beberapa meter dari sini.”

Pada saat itulah baru kurasakan bahwa perutku belum diisi semenjak siang, kini rasanya sedikit perih dan sudah kuputuskan untuk pergi ke tempat yang dimaksudkan Kakakku tersebut—usai mencuci muka tentunya. Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih padanya, Kazunari balas mengangguk lalu berlalu pergi, kulihat ia berjalan melintasi kamarnya menuju lift di ujung lorong sambil merogoh saku mantelnya dan mengeluarkan ponsel. Mungkin ia akan menghubungi kekasihnya tapi Aku tidak peduli, seisi perutku kian menjerit-jerit.

Kedai ramen itu terletak 7 meter jauhnya dari hotel kami. Bangunan yang kian tua dengan huruf-huruf di papan nama yang memudar walau tembok batanya masih kokoh. Begitu masuk, rasanya sangat hangat, berbeda dengan dinginnya angin di luar tadi. Uap-uap dari arah dapur membumbung hingga keluar, dan aroma khas kaldu yang sedang direbus memenuhi kedai mungil tersebut— gurih dan manis. Hanya ada sekelompok pria yang tengah berbicara dengan suara keras berlogat kanto— mereka tertawa, menepuk-nepuk meja keras dengan wajah memerah karena sake—tanpa mempedulikan kehadiranku, ya baguslah. Pemilik kedai juga sepertinya tidak merasa terganggu karena mereka datang dengan kelompok yang banyak sampai-sampai menggabungkan empat meja. Selain itu tidak ada pembeli lain selain diriku saat ini.

Aku duduk di meja berkursi panjang yang berhadapan langsung dengan dapur kedai tersebut—hanya dipisahkan dengan tirai-tirai bambu kusam.

“Jarang sekali seorang wanita mampir kemari pada jam-jam segini.” Pemilik kedai—yang kuketahui karena nama di nametag-nya dijadikan nama kedai ini pula—itu mengajakku berbicara, memecah kecanggungan. Pria itu mengenakan baju koki dan celemek putih yang sedikit kotor. Matanya sipit hingga hanya tampak seperti garis ketika tersenyum, wajahnya ramah dan perutnya buncit. Sekilas ia tampak seperti pemilik kedai dalam anime Naruto.

Aku mengangguk dan memaksakan bibirku untuk tersenyum melawan kebekuan yang menyergapku di luar tadi. “Iya,” Jawabku singkat. “Aku melewatkan santap malam di hotel dan kemari atas saran Kakakku.”

Pria buncit itu mengangguk-angguk, bibirnya membentuk bulat. “Pria dari Tokyo yang memperkenalkan dirinya sebagai Takao-san, itu? Nona ternyata Adiknya, ya.” Senyum lebar sang pemilik kedai benar-benar melahap habis bentuk matanya. Namun, Aku lebih terkejut dengan fakta bahwa Kazunari sudah kesini lebih dulu. Jadi ia melewatkan makan malam di hotel, juga? Jadi itu alasan mengapa dirinya mengenakan mantel di lorong hotel saat membangunkanku. Karena dirinya baru kembali dari luar.

“Iya. Dia Kakakku, kami tiba siang ini.” Aku mengangguk.

Pria di hadapanku tertawa dengan suaranya yang berat, “Iya, ya. Takao-san menceritakannya padaku tadi.”

Bagus. Apa saja yang sudah Kazunari katakan padanya?

Aku tidak ingin terlibat lebih dalam dalam percakapan ini, perutku lapar dan tubuhku kedinginan. Rasanya ingin lekas meringkuk di dalam selimut, dan Aku jadi semakin gelisah ketika sadar bahwa telah meninggalkan ponselku dalam keadaan mengisi daya di meja di dalam kamar. Syukurlah pria itu tidak melanjutkan pembicaraan kami dan berjalan masuk ke dalam dapur ketika suara wanita memanggilnya dari dalam.

Aku mengembuskan napas panjang, ketika kupikir tidak akan ada lagi percakapan dan membiarkan kekosongan mengisi ruang sebelum semangkuk ramen muncul di hadapanku. Seorang pria tiba-tiba muncul dan langsung memposisikan dirinya di sebelahku, ia mengangkat tangan dan menyebutkan pesanannya. Sang pemilik kedai memunculkan kepala dari balik tirai—sambil tersenyum lebar sekali— dan mengiyakan ucapan pria tersebut lalu kembali ke dalam.

“Oh, orang Tokyo,” Ujarnya membuatku mematung, kedapatan memperhatikan dengan wajah bodoh jelas membuatku terkejut. Lebih-lebih ia langsung menyadarinya dan tak ada kesempatan untuk memalingkan wajah. Bisa kutebak dia mengetahui bahwa Aku dari Tokyo karena jaket yang kukenakan. Jaket berwarna jingga terang dengan lambang salah satu sekolah ternama di Tokyo—sekolahku dulu—Shutoku. Jaket yang kudapatkan dua bulan lalu saat menghadiri reuni.

Pria itu tersenyum dan secara mengejutkan memperkenalkan dirinya dengan sangat sopan, “Keijisuke Takeru, salam kenal Nona.”

Orange Magic  » T. Kazunari ; Between awake and sleep ✔️Where stories live. Discover now