Bagian Pertama

163 26 1
                                    

: Permulaan :

Pagi itu tidak secerah biasanya—mungkin nanti malam akan ada angin kencang atau bahkan badai—, namun angin dingin senantiasa berembus masuk. Menerbangkan kerai yang menutupi jendela di ruang duduk dan membawa masuk udara fajar yang menggigit. Dari balik kerai yang sempat terangkat, kulihat seorang pria berambut hitam yang tengah mengeruk dedaunan menggunakan garu. Syal berwarna jingga melilit lehernya dan ia mengenakan mantel panjang beserta sepatu bot. Sudah kukatakan berulang-ulang kali kepada Kakakku untuk memindahkan saja pohon itu dari halaman depan— karena tak mungkin bagi kami yang tinggal di daerah perumahan untuk menebangnya—lain hal jika pohon itu rubuh karena angin kencang saat badai musiman tiba. Dedaunan yang gugur itu mengotori halaman bahkan sampai trotoar di depan pagar rendah rumah kami, dan daun-daun itu akan berterbangan setiap kali angin berembus sampai akhirnya mengotori garasi dan teras, membuat pekerjaan jadi terasa sia-sia saja.

Namun bukan Kazunari namanya jika ia mau mendengarkan apa yang kukatakan, ia sudah berjanji akan terus-menerus membersihkan daun-daun itu setiap pagi dan sore hari selama Aku tidak memanggil petugas kehutanan untuk membawa pohon maple itu jauh-jauh dari rumahku. Bukan tanpa alasan Kazunari kekeh dengan keputusannya tersebut, pohon di halaman kami itu sudah ada semenjak kedua orangtua kami baru menikah dan pindah kemari, usianya sudah sangat tua dan Kazunari kecil pernah menggunakannya sebagai penyangga ring basket. Banyak kenangan yang dituangkan dalam bentuk corat-coret pada batangnya, dahannya pernah digunakan sebagai ayunan sewaktu usiaku 6 tahun, di bawah rindangnya daun, kami, Aku dan Kakakku, pernah sama-sama membangun tenda dan menghabiskan separuh malam di sana—separuhnya lagi, kami terpaksa pindah ke teras karena hujan turun dengan lebatnya. Kami pernah menghiasnya selayaknya pohon natal, dan meletakkan bermacam-macam kardus kosong berlapis bungkus kado di bawahnya karena merasa tak puas dengan pohon cemara yang dibeli mendiang Ayah. Banyak yang sudah terjadi, hal-hal sepele namun berharga yang melibatkan pohon tersebut, yang membuat Kazunari semakin enggan untuk memindahkannya.

Kuakui, bahwa banyak kisah yang bermula dari sana. Namun, seiring berjalannya waktu kami semakin dewasa, tak ada lagi kesenangan-kesenangan yang didapatkan sesederhana membangun tenda dan mengukir nama masing-masing pada kulit kayu, masing-masing dari kami memiliki jalan sendiri dalam mencari kebahagiaan. Bahkan rumah tua ini kerap kali ditinggalkan, beberapa kali dalam setahun Aku dan Kazunari akan sama-sama berkunjung dan menginap di sini. Sementara yang mengurusi rumah ini selama kami tak ada adalah seorang pesuruh upahan Kakakku. Kazunari membayar seseorang untuk terus membersihkan rumah ini dan merawatnya hingga tiba saatnya kami berkumpul sebagai satu keluarga yang utuh—karena, kini hanya kami yang tersisa—rumah ini sudah layak pakai. Dan, pekerjaan yang ditanggung oleh pesuruh Kazunari akan beralih kepada pria itu sendiri. Dan, Aku sendiri akan melakukan beberapa tugas kecil dan tidak merepotkan yang tidak perlu dilakukan berulang-ulang kali, seperti menyiram rumput di halaman belakang.

Begitulah keseharian kami selama 7 tahun, semenjak kepergian Ayah dan Ibu akibat kecelakaan yang menimpa mereka, ada tuntutan kasat mata yang memaksa kami untuk bertindak mandiri dan tidak bergantung satu sama lain serta mempererat kepercayaan. Namun, di saat-saat tertentu kami juga akan menumpahkan segala keletihan kami, berkeluh kesah satu sama lain dan menikmati saat-saat menyenangkan bersama seperti waktu masih kanak-kanak.

Aku bisa mendengar pintu depan dibuka, dan suara ujung sepatu yang dilepas bersamaan dengan bunyi tongkat yang membentur dinding. Tak lama kemudian Kazunari muncul, ia menatapku dengan senyum kecil seraya melangkah mendekat.

“Melelahkan juga,“ Katanya. “Tapi, Aku menikmatinya. Sudah lama sekali rasanya semenjak Aku bergerak dan berkeringat sebanyak itu.” Ia tertawa, kemudian duduk di seberang meja bundar di hadapanku.

Kudorong gelas kaca berisikan soda dingin dengan es batu hingga menyentuh jarinya yang mengatup di atas meja. Walau cuaca tak cerah, dan angin dingin berhembus namun keringat bercucuran dari kening Kakakku dan turun ke leher. Mungkinkah ia akan berubah pikiran soal pohon tersebut?

“Melelahkan bukan?”

“Tapi, Aku tetap tidak akan memindahkan apapun, [Name].” Ia mengusap lehernya dengan handuk kecil yang melingkar di sana. “Sudah kuputuskan, akan kurawat pohon itu selama yang Aku bisa.”

Aku mendengus dan menggeleng pelan. “Terserah kau sajalah. Selama yang mengurusi daun-daunya adalah kau. Aku tidak peduli.”

Kazunari tertawa saat melihatku mengangkat kedua bahu dan bersikap acuh tak acuh. Kutatap dia dengan kening berkerut bingung.

“Kau bicara begitu,” Katanya. “padahal kau juga yang menggemburkan tanah di sekitar akarnya dan memberikan kompos baru.” Kembali ia tertawa.

Aku mendelik. “Bagaimana kau bisa tahu?”

Kazunari terkekeh sebentar sebelum menjawab. “Saat kusapu daun-daun itu, tanah di bawah pohonnya lunak sampai-sampai mengotori sepatu botku.” Ia berhenti sebentar dan meminum sodanya, “beberapa saat kemudian Aku sadar bahwa ada seseorang yang tentu saja. Memberikan kompos di sana. Kalau tak salah ingat, semalam kau pergi tiba-tiba, berkata ingin membeli sesuatu dan pulang tanpa membawa apapun. Ternyata benar, ya. Kau menyimpan karung komposnya di dalam gudang.” Ia terbahak-bahak.

Aku mendecih lirih. Tak suka jika perbuatanku tercium olehnya seperti itu. Kakakku itu pintar, dan suatu kesalahan dengan mencoba untuk membodoh-bodohinya.

Tiba-tiba saja ia merogoh saku mantelnya, kemudian mengeluarkan secarik kertas. “Segeralah berkemas,” Ucapnya, tepat saat kusadari bahwa itu adalah tiket kereta untuk perjalanan siang nanti.

Aku tidak terlalu suka kejutan. Keterburu-buruan adalah hal yang paling kuhindarkan. Namun, sebaliknya bagi Kazunari. Pantas ia tidak membongkar tas-tasnya semenjak hari Senin.

Orange Magic  » T. Kazunari ; Between awake and sleep ✔️Where stories live. Discover now