Bagian Kelima

37 16 0
                                    

: Firasat :

Otak manusia bekerja dengan cara yang tidak mudah dipahami. Walau beberapa orang berpikir bisa menebak jalan pikiran orang lain, namun nyatanya sesuatu sekecil apapun kadang-kadang bisa meleset. Hal-hal kecil yang disepelekan, padahal maksudnya tidak sesederhana itu.

Seperti kejadian malam tadi. Mulanya kupikir, bahwa ia hanya ingin berbincang-bincang lebih denganku di sela-sela waktunya. Tentu itu akan lebih baik daripada harus berbicara tentang masalah statusnya yang masih melajang di usia yang ke-24 tahun.

Saat disodorkannya kartu nama dengan nomor ponsel yang tertera. Kupikir, bisa saja kuabaikan saja. Maksudku, untuk apa menghubungi pria yang baru dikenal selama setengah jam? Tinggal membuang kertas itu dalam tong sampah dan selesai perkara. Ya, sesederhana itu.

Mulanya.

Kalau saja tidak kuterima pula beberapa lembar yen dan logam sen. Rasa tidak enak tidak akan menyerangku seperti hama di tumbuhan padi-padian. Bahkan mengucapkan terima kasih saja Aku belum. Namun, menghubunginya untuk sekedar ucapan terima kasih dapat memancing percakapan-percakapan lain.

Intinya, Aku tidak ingin menghubunginya lagi dengan alasan pribadi.

Secara garis besar ceritanya tentang pekerjaannya cukup menarik untuk didengarkan, walaupun menyebabkan sedikit kantuk. Lebih-lebih Aku bukan penikmat pertunjukan sejenis, rasanya bingung harus memberikan komentar seperti apa saat Takeru menjelaskan ini-itu tentang drama Kyogen sementara yang kudengar tidak lebih seperti suara dengung nyamuk.

Dan, lagi-lagi. Pemikiran itu meleset. Toh, setelah kuhubungi dia dengan beberapa deret klausa, dia tidak lagi membahas tentang pekerjaannya. Bahkan tak secuil pun pembicaraan semalam diangkatnya sebagai topik pagi ini. Ia membicarakan hal-hal lain yang lebih umum, dan kami terlibat perbincangan selama dua jam untuk saling mengenal satu sama lain melalui lontaran pesan dengan kalimat-kalimat tanya yang umum. Dia bukan lagi pria membosankan di kedai ramen, setidaknya itulah yang kurasakan pagi ini—beberapa saat yang lalu tepatnya.

Alat makan berdentang-dentang, bergantian dengan nada rendah. Kazunari menarik serbetnya dari pangkuan dan mengusap bibirnya yang berminyak. “Ada rencana apa pagi ini?” Ia bertanya, jelas-jelas ia sudah menangkap basah diriku yang terus-menerus tak lepas dari ponsel—berhubungan via chatting dengan Takeru tentunya.

Aku menelan terlebih dahulu sarapanku sebelum menjawab, “Tidak, kurasa. Tapi besok ada. Kenapa?”

Kazunari tidak lekas menjawab dan itu membuat pertanyaan besar yang, bercokol di dalam tenggorokanku perihal ke datangannya ke kedai ramen semalam serasa minta dimuntahkan.

Aku baru saja membuka mulut, ketika ia tiba-tiba berdiri dari duduknya dengan bahu menegang dan rahang mengetat. “Ada apa?” Tanyaku heran. Ia seperti baru saja menerima telepon bawah kekasihnya minta putus.

Kazunari menatapku, kemudian tersenyum lantas memajukan tubuhnya dan mengusap kepalaku, “Kurasa aku tidak bisa menemanimu ke pertunjukan besok siang,” Ujarnya dengan nada menyesal. “Ada hal yang harus kuselesaikan dengan segera,” Katanya, sambil mengacingkan kemeja yang digunakannya sebagai luaran kaos biru muda.

“Apa? Apa terjadi sesuatu?” Tanyaku, kepanikan menolak sembunyi dari dalam tutur kataku padanya.

Kazunari masih tersenyum, “Hanya sedikit masalah. Model yang sedang naik daun itu, yang kuceritakan padamu tempo hari. Ia mengalami skandal di Tokyo dan manajernya belum kembali dari cuti pernikahan. Dia berada di bawah naungan perusahaan.” Pria berambut hitam itu menyibak rambutnya ke belakang, “Maksudku, aku membantu mempromosikan dirinya di berbagai chanel televisi dan karena skandal inilah. Iklan-iklan yang mempergunakannya sebagai model utama harus segera dihentikan atau digantikan.”

Aku mendesis, mengusap-usap telingaku karena tak begitu paham dengan apa yang dijelaskannya. Apa pun itu, skandal-skandal yang diucapkannya dan bagaimana cara mengatasinya, itu adalah urusannya. Aku bahkan sudah tak ingat model mana yang dibicarakannya, laki-laki atau perempuan? Dalam sebulan belakangan Kazunari Takao bisa membuat beberapa orang dalam industri hiburan mendapatkan lonjakan yang tinggi. Seperti suntikan vaksin popularitas.

“Kau akan berangkat sekarang?” Pertanyaan itu tercetus begitu saja. Ini bukan liburan yang kuharapkan. Maksudku, setelah hampir setahun tidak bertemu, kini ia harus disibukkan oleh masalah merepotkan yang bahkan tidak melibatkan dirinya secara langsung. Bukankah menyebalkan? Menutupi kotoran orang lain itu.

Menangkap raut muak dan kesal di wajahku, Kazunari tidak memberikan tanggapan apapun. Ia hanya mengangguk dan kemudian berlalu. Aku hanya bisa menatap punggung tegaknya yang melintasi pintu kaca otomatis. Langkah-langkah Kazunari tidak pernah secepat dan sepasti itu. Aku tidak pernah melihat kedua mata jelaganya menampilkan kegundahan seperti itu sebelumnya.

Firasatku tidak enak.

Orange Magic  » T. Kazunari ; Between awake and sleep ✔️Où les histoires vivent. Découvrez maintenant