3. Tapi, Aku Nggak Tahu Mau Jadi Apa...

Start from the beginning
                                    

Kita hanya bisa menghela napas panjang.

Lalu, napas itu akan tertahan di kerongkongan.

Bersama jawaban-jawaban kita. Bersama mimpi-mimpi masa lalu. Bersama segalanya.

Kecuali satu:

kegelisahan.

Karena kita tak tahu mau jadi apa. Kita tak mengenal passion dan mimpi. Masa depan begitu buram. Dan, waktu terus berjalan.

Namun, tenang sejenak. Tarik napasmu, embuskan perlahan. Perhatikanlah sekitarmu. Bukankah semua orang bermula dari tak tahu mau jadi apa?

Bill Gates tidak lahir di dunia ini, lalu tiba-tiba menyadari, "Nanti, kalau sudah dewasa, aku akan mendirikan perusahaan bernama Microsoft." Seperti orang-orang lain, dia memulai kisahnya tanpa tahu apa-apa. Di tahun 1968, saat usianya masih tiga belas tahun, di sekolahnya, ada sebuah terminal komputer baru yang lambat dan besar, bahkan tanpa layar. Di tahun yang sama, dia mencoba belajar bahasa pemrograman tingkat tinggi, Basic. Tanpa peduli dia akan jadi apa. Lalu, dia mencoba menulis barisan kode untuk program pertamanya, sebuah permainan silang-bulat-silang. Tanpa tahu dia akan jadi apa. Namun, sejak saat itu, dia tak bisa berhenti. Menjadikan hobi ini seperti petualangan. Menghabiskan berjam-jam di depan komputer. Menyelinap malam-malam di University of Washington demi menggunakan komputer. Dia tak sekadar bermimpi. Mungkin, dia bahkan lupa bermimpi. Yang dia lakukan hanyalah melakukan apa yang dia lakukan. Benar-benar menekuninya. Dan, jadilah dia seperti hari ini, salah satu penemu Microsoft.

Steve Jobs tidak bangun dari tidurnya, lalu berkata, "Aku akan jadi penemu Apple." Seperti orang-orang lain, dia memulai kisahnya tanpa tahu apa-apa. Buruknya lagi, dia tersesat dalam jurusan kuliah yang dia bahkan tak tahu apakah ada arti untuknya. Tak tahu mau jadi apa. Tak tahu apakah kuliah ini bias membantunya. Merasa tak enak hati menghabiskan uang orangtuanya untuk kuliah ini. Jadi, dia memutuskan keluar. Tanpa tahu akan jadi apa. Namun, bukan berarti dia berhenti belajar. Dia tetap belajar. Mempelajari hal-hal yang bisa dia pelajari. Mengambil kelas-kelas yang bisa diambilnya. Suatu ketika, dia mengambil Kelas Kaligrafi di Reed College. Alasannya? Karena setiap kali dia melihat poster-poster di kampus tersebut, dia terpukau pada keindahan kaligrafinya. Jadi, di sanalah dia, di dalam kelas kaligrafi, belajar tentang jenis huruf serif dan sans-serif, menentukan celah yang tepat untuk setiap huruf, dan hal-hal teknikal seputar tipografi. Dia menekuninya tanpa tahu akan jadi apa. Memang, ini seperti tak ada hubungannya dengan Apple. Namun, sepuluh tahun kemudian, saat Steve Jobs dan rekannya hendak mendesain Macintosh pertama, seluruh pelajaran yang dia dapatkan sepuluh tahun lalu di kelas kaligrafi ini menginspirasinya untuk membuat komputer dengan tipografi paling indah. Dan, jadilah Macintosh sebagai komputer pertama dengan tipografi paling indah. Bahkan, jejak-jejak itu masih bisa kita rasakan pada awal peluncuran iPhone. Dia tak tahu mau jadi apa, tetapi dia mencoba ini-itu, mempelajari ini-itu. Mungkin, dia bahkan lupa bermimpi. Yang dia lakukan hanyalah melakukan apa yang dia lakukan. Benar-benar menekuninya. Dan, jadilah dia seperti hari ini, Steve Jobs yang kita kenal.

Jeff Bezos tidak beranjak dewasa, lalu tiba-tiba memutuskan, "Aku akan membangun Amazon kelak." Namun, dia tahu dia ingin melakukan sesuatu yang lebih dalam hidupnya. Tetapi, seperti kita semua, dia sama sekali tak punya ide. Maka, yang bisa dia lakukan adalah memanfaatkan apa yang dia miliki hari itu. Belajar sungguh-sungguh di sekolahnya. Mengambil kelas-kelas tambahan yang melelahkan. Melanjutkan kuliah sebaik-baiknya. Bekerja di tempat yang baik untuk mengumpulkan ilmu dan uang. Lalu, di usia tiga puluh, dia memutuskan keluar dari pekerjaannya, mengejar mimpinya untuk membangun sebuah platform belanja online. Namun, saat itu masih 1994 dan internet bukan sesuatu yang lumrah. Apalagi belanja online. Dia bahkan tahu peluang usaha ini gagal begitu besar, 70%. Namun, dia terus menekuni apa yang bisa dia lakukan. Dia mempelajari berbagai hal. Mungkin, dia sampai lupa bermimpi. Yang dia lakukan hanyalah melakukan apa yang dia lakukan. Sebaik-baiknya. Dan, jadilah dia seperti hari ini, Jeff Bezos, yang kini menjadi orang terkaya di dunia. Setidaknya, sampai hari ini ketika buku ini dituliskan.

Jika Kita Tak Pernah Jadi Apa-ApaWhere stories live. Discover now