Melihat wajahnya di kala tidur mungkin membuat hatiku tidak tega untuk menyakitinya. Namun, ketika dia terbangun dia malah dengan teganya menyakiti diriku. Tak peduli seberapa cintanya aku dulu, yang tersisa kini hanya tanggung jawab sebagai istri.

Setelah sholat dan membersihkan dapur. Aku duduk sebentar di sofa.
Hendak belanja pun rasanya malas. Aku malas melakukan apapun. Untuk sarapan aku hanya membuat roti panggang dan susu untuk kedua anakku. Sedangkan untuk Mas Heri, aku sudah membuatkan kopi.

Aku ke luar untuk menghirup udara segar. Nyaman sekali rasanya pagi ini. Matahari mulai menampakkan sinarnya. Embun pagi sangat menenangkan hati. Rasanya aku bisa melupakan masalah dengan Mas Heri walau sejenak.

"Bundaa ...."

"Eeh udah bangun. Udah mandi belum?"

Safa menggeleng. Dia masih terlihat mengantuk, namun karena Zidan sudah bangun maka Safa pun ikut, "Hayuuk mandi." Aku menggotong kedua anakku ke kamar mandi. Memandikan mereka sambil bermain air.

"Apa kalian pikir aku tidak perlu kamar mandi, hah!" Terdengar suara Mas Heri dari balik dengan menendang pintu kamar mandi.

Terpaksa keseruan kamu harus berakhir. Malas rasanya jika pagiku yang indah harus berubah jadi suram, kalau harus meladeni Mas Heri.

****
"Aku berangkat," ujar Mas Heri berlalu.

Bukan aku yang tak melayaninya. Hanya dia sendiri yang tak ingin kulayani. Mungkin dia ada meeting dengan 'Dude'. Terserah lah, aku bosan. Buang energi rasanya.

"Safa-Zidan sini bentar Sayang. Ada yang mau bunda bilang."

"Apa Bun?"

"Tante Silvi ajak kita jalan-jalan pagi ini, mau nggak?"

"Mau Bunda ... maau!"

"Ya sudah habis sarapan kita pergi, yah."

Teng! Pukul 10.00 WIB. Silvi sudah sampai. Kami pergi ke tempat di mana ibunya Safa dan Zidan menunggu.

"Kak boleh aku bertanya?" ujar Silvi memecah suasana sunyi di dalam mobil.

"Boleh Sil. Mau tanya apa?"

"Sebetulnya rencana seperti apa yang ingin kau lakukan Kak?"

Aku terdiam. Memperhatikan anak-anak, memastikan mereka tak menggubris pembicaraan kami. "Oke jadi aku akan ijinkan Mas Heri menikahi Wenda."

"Apa? Itu rencana bodoh atau apa Kak?" Silvi terlihat kesal mendengar ucapanku.

"Tenang dulu. Jadi setelah mereka menikah. Aku akan minta Mas Heri untuk tidak menyentuhnya atau aku selama kami belum melahirkan."

"Tapi dia akan melahirkan duluan Kak."

"Bener banget. Nah aku akan minta dia tinggal denganku selama itu. Apa pun yang aku minta mereka harus ikuti. Aku akan beri Wenda pelajaran yang sangat berat saat berada di rumahku. Dia bisa apa? Mau melawan samaku? Gampang aku tinggal panggil Buk Noni dan Buk Susi. Maka semuanya akan beres. Dia juga sudah mendengar sendiri apa hukuman untuk pelakor dari ibuk-ibuk kompleks. Aku mengenal mereka Sil. Mereka enggak akan memberikan hukuman yang sangat ringan. Apalagi Mas Heri dan Wenda sudah melakukan banyak hal salah. Kau tahu kan zaman sekarang untuk memberikan hukuman secara moral itu sangat mudah. Ada sosial media yang bisa digunakan."

"Iih Kak masa begitu."

"Tenang Sayang ... rencana itu masih belum ada apa-apanya. Biar detailnya menjadi rahasia dulu. Kalau aku ceritakan sekarang, nanti kamu enggak mau bantu aku."

"Looh, berarti bahaya dong? Kak aku enggak mau rencanamu sampai mencelakai kita."

"Iya Silvi. Aku janji."

"Aku akan berada di sampingmu selagi rencana itu tidak membahayakan kita."

Aku meyakinkan Silvi, bahwa rencana yang sudah kususun tidak akan membahayakan kami. Aku mengenal Wenda. Dia sangat mudah merasa bimbang dengan apa yang dikatakan orang lain. Begitupun Mas Heri. Aku mengenalnya dari dalam. Walau Silvi saudaranya, dia tidak tahu kelemahan Mas Heri.

****
"Mama," panggil Zidan begitu melihat sosok wanita yang berbaju biru berdiri di depan pintu masuk.

Wanita itu langsung menghampiri dan memeluk Zidan. Ternyata Zidan masih ingat ibunya. Aku salut, karena dia tak melupakan sosok wanita yang telah melahirkannya.
Pemandangan yang mengharukan itu membuatku dan Silvi bergandeng tangan.
Sedangkan Safa sendiri masih terus memegang tanganku.

"Safaa ..." ujar wanita itu mendekat. Namun, Safa malah bersembunyi di belakangku.

"Safa ini mama kita," ucap Zidan.

Apakah aku sakit hati? Tidak! Mereka wajib berbakti pada orang tuanya, walau aku yang membesarkan mereka. Aku malah bangga kepada Zidan. Selain menyayangiku, dia juga menyayangi ibu kandungnya.

"Terima kasih, sebab sudah memberikan saya kesempatan untuk bertemu mereka," ujar wanita itu, memelukku.

Kubalas pelukan itu dengan hangat. Dia tak bersalah. Kami hanya korban dari kekejaman Mas Heri. Ia tak berdaya saat itu. Sehingga memilih untuk pergi sendiri tanpa anak-anak. Bayangkan saja dua tahun jauh dari anak. Apalagi Safa yang saat itu masih berusia beberapa bulan. Hati ibu mana yang rela berpisah dengan anaknya? Tidak ada.

"Bunda Safa mau ke situ, boleh?" tunjuk Safa ke area bermain setelah kami semua duduk menunggu pesanan.

Aku mengangguk. Lagian kami pasti akan membahas masa lalu dan juga masalahku sekarang. Safa dan Zidan berada di area permainan. Bermain bersama anak lainnya.

"Jadi Hanan, bagaimana rasanya hidup bertahun-tahun dengan Mas Heri?" tanyaku.

Hanan menarik napasnya. Masih jelas tergambar di wajah itu sakit yang sangat amat berat. "Perasaanku telah mati. Aku bernyawa tapi sebetulnya mati. Mila ... aku udah dengar semuanya dari Silvi. Kumohon jangan ulangi kesalahan yang sama seperti aku dulu. Jangan bertahan hanya karena cinta. Walau kita tahu istri wajib berbakti kepada suami. Akan tetapi, suami dzolim? Apakah kita harus bertahan? Aku tersiksa Mila! Aku sakit sejak kami berpacaran."

"Lalu kenapa kau mau menerima lamarannya Hanan?"

"Aku mencintainya Mila! Aku sangat mencintai Mas Heri. Orang tuaku juga sangat menyayanginya."

"Hanaan ...."



Untuk Pemesanan Novel Video di Dalam Gawai Suamiku bisa hubungi saya via fb atau whattsap

Video di Dalam Gawai Suamiku. [PROSES TERBIT]Where stories live. Discover now