Video

5.3K 211 0
                                    

*****************

"Enggak ada tapi ... tapi, Mila. Coba dulu kau membiarkanku mencegah semuanya. Pasti ini tak akan terjadi. Kau tahu kan aku sangat menyayangimu dari dulu. Aku tidak rela kau disakiti, Mila!"

"Aku tahu. Maafkan aku."

"Kau memang keras kepala sejak dulu. Tak heran jika Rini selalu memintaku untuk menjagamu. Kami mencintaimu, Mila."

"Jangan sebut nama, Rini. Aku merindukannya." Tak terasa air mataku mengalir, membasahi pipi.

"Kau ingat Mila. Rini akan selalu mengalah dan membelamu di depan ayah dan ibu. Rini selalu menangis dan mengadu padaku. Dia sangat menyayangimu, begitupun aku, Mila ...."

"Aku juga sangat menyayangi kalian," balasku.

"Sudah. Istirahat sana. Kuharap masalah ini bisa membuatmu lebih dewasa. Ingat jangan sampai kau terbakar dengan apa yang akan kau lakukan."

Sambungan telepon kami terputus dengan ucapan salam.

Aku menyandarkan kepala ke dinding. Menarik napas panjang. Mengingat kembali sososk saudarilu, Rini. Rindu! Aku sangat rindu padanya. Dia pergi disaat aku belum siap menjaga diri sendiri.

Kulirik jam yang menempel di dinding. Sudah menunjukkan pukul 00.00 WIB. Mas Heri belum juga pulang. Mata ini belum mau terpejam. Sekuat apapun aku berusaha, tetap saja hatiku masih sakit.

"Kak, aku merindukanmu." Kubaringkan diri sembari berusaha menutup mata. Dengan air mata yang masih terus mengalir.

*****
Aku terjaga ketika mendengar suara adzan. Kulihat Mas Heri sudah berada di sampingku. Tertidur pulas dengan baju yang belum ia ganti. Bahkan kaus kaki juga belum dia lepas. Aku berusaha bangkit dan menyelimuti tubuh Mas Heri yang meringkuk kedinginan.

"Mas! Apa salahku sehingga kau memperlakukanku seperti ini?" Air mataku kembali mengalir. Kulepas kaus kaki Mas Heri, lalu ke luar kamar.

Kubersihkan diri dan mengadu kepada Rabb-ku.
Setelah selesai, seperti biasa aku akan menyiapkan sarapan. Walau Zidan belum bisa sekolah setidaknya sarapan harus tetap kubuat di pagi hari.

Setelah selesai membuat sarapan. Tiba-tiba muncul ide untuk melakukan misi kedua kepada Wenda dengan lebih halus lagi. Aku mengunci pintu rumah dan berjalan sembari menenteng tas belanjaan.

Seperti biasa. Mamang sayur akan berhenti tepat di depan rumah Wenda. Semua ibu-ibu kompleks akan belanja sembari bergosip ria di sana.
Aku melirik ke dalam rumah Wenda. Tak lama kemudian, dia ke luar dengan mengenakan daster berwarna kuning dengan motif bunga-bunga. Rambutnya terlihat masih basah, jelas dia baru selesai mandi. Kutepis pikiran buruk itu terlebih dahulu.

Wenda berlenggak-lenggok bak model mendekati gerobak Mamang sayur.

"Segernya Wen?" tanya Buk Lina.

Dia hanya tersenyum tanpa membalas apapun.

"Lah perempuan hamil kan harus rajin bersih-bersih," potong Buk Pur.

"Mang. Saya mau cabe sama ikan ini, yah setengah. Oh iya, sayur asem sebungkus," ujarku.

"Eh Kak Mila. Awalnya belanja, Kak?" sapa Wenda.

"Lah Mila kan memang selalu belanja awal, Wen," potong Buk Noni. Buk Noni adalah wartawan khusus kompleks kami. Semua berita bisa dia dapat dengan mudah.

Aku hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaan yang sudah dijawabkan oleh Buk Noni.

"Kamu kok tumben belanja pagi Wen?" tanya Buk Susi, tetangga Buk Noni.

"Iya Buk. Saya pengen aja," balas Wenda singkat.

"Oh iya Buk ... Ibuk, tahu si Tiara yang tinggal di ujung sana kan?" ujar Buk Noni, memecah kesibukan para emak-emak yang sedang memilih belanjaan.

"Tahu ... tahu emang kenapa, Buk?" tanya Wenda antusias.

'Haah! Dasar tukang gosip,' benakku.

"Dia kemaren diceraikan suaminya. Padahal baru menikah dua bulan lalu."

"Haah! Kok bisa, Buk?" kata Buk Susi, sembari tangannya masih terus sibuk memilih sayur.

"Katanya si Tiara itu punya anak sebelum menikah sama Pak Dodi. Iihh parah, kan!"

Aku tersenyum. "Kalau pelakor ada disekitar komplesk kita gimana, yah?"

"Haah, apa! Pelakor?" tanya Buk Susi, matanya membulat mendengar kata-kata itu.

"Yah seperti biasa dong Mila. Kita akan usir dari kompleks sini. Kamu ingat kan dulu pernah ada kasus pelakor juga yang digerebek Pak RT dan warga? Kamu masa lupa, Mila?" terang Buk Noni dengan suara agak tinggi.

Nampak beberapa kali Wenda menelan ludahnya. Tentu saja dia tidak tahu, karena dia belum tinggal di sini saat kejadian itu berlangsung.

"Oh iya bener Buk. Kalau enggak salah rumahnya dulu kan yang sekarang Wenda tempati?" tanyaku lagi.

"Iya bener banget kamu Mila. Enggak salah lagi. Ini rumah wanita itu!" Buk Susi nampak sangat semangat membahas topik ini. Beberapa kali dia terlihat gemas sendiri.

"Kalau ada pelakor lagi. Kita akan gunduli rambutnya. Biar tahu rasa." ujar Buk Susi.

"Iya betul ... betul, setuju!" seru ibu-ibu yang lain.

"Buk!" ketus Mamang sayur.

"Apaa?"

"Santuy dong, Buk. Ngomong sih ngomong, tapi jangan patahi kacang panjang saya dong," ujar Mamang sayur, yang nampak kesal melihat reaksi ibu-ibu yang melampiaskan kekesalannya kepada jualannya.

"Hahahha ...." Kami semua tertawa bahagia. Selain Wenda. Dia nampak berkeringat dingin. Mungkin takut atau apapun itu.

"Looh, Wen. Nggak jadi belanja? tanyaku begitu Wenda membalik tubuhnya.

"Enggak! Aku mau makan di restoran saja!" jawabnya ketus sembari masuk dan menutup pagar rumahnya dengan sangat kuat.

Aku puas sekali melihat reaksi Wenda di pagi hari yang cerah ini. Rasanya aku semangat untuk memulai hari

"Dia kenapa?" tanya Buk Susi.

"Aah biarkan saja, Buk Susi. Dia kan memang begitu, agak sombong! Kemarin saja dia sengaja membunyikan klakson dengan kuat saat melintas rumah saya," balas Buk Noni.

"Kabarnya kamu hamil, yah Mila?" tanya Buk Noni.

Sudah kukatakan semua informasi bisa Buk Noni ketahui entah bagaimana caranya. Aku mengangguk dengan menebarkan senyuman paling manisku.

"Selamat, yaah Mila. Waah akhirnya setelah dua tahun menunggu kamu dipercayai untuk hamil Mila," ucapan selamat kuterima dari ibu-ibu yang ada di sana.

Rasanya aku sangat bahagia. "Berapa Mang?"

"Empat puluh Kak."

Setelah membayar belanjaan. Aku berpamitan dengan ibu-ibu dan berjalan menuju rumah. 'Kau lihat kan, Wen. Aku tak perlu repot-repot menggunakan tenaga hanya untuk memberimu perhitungan."

****
Sesampainya di rumah. Aku melihat anak-anak sudah stand by di depan televisi. "Sudah mandi, belum?"

"Belum ..." jawab mereka serentak.

"Ayah sudah bangun?" tanyaku.

Mereka hanya mengangguk dan menunjuk kamar mandi. Aku menyiapkan semuanya. Mas Heri bersiap untuk berangkat setelah selesai sarapan. Katanya dia ada meeting penting. Aku pun tak peduli benar atau tidak. Aku bersikap dingin, tetapi tetap melakukan kewajiban sebagai istri.

"Dek kamu kenapa? Kok udah beberapa hari murung terus? Kamu sakit?" tanya Mas Heri.

"Aku baik Mas. Mungkin cuman butuh istirahat," balasku singkat.

Mas Heri mengecup keningku dan mengambil tas kerjanya. Ia berlalu setelah memberikan senyuman manis untukku.

'Apanya yang beberapa hari murung? Kemarin-kemarin aku masih baik-baik saja Mas. Sampai akhirnya aku mengetahui semua perbuatan burukmu di belakangku,' batinku, sembari melambaikan tangan pada Mas Heri.

#bersambung

Video di Dalam Gawai Suamiku. [PROSES TERBIT]Where stories live. Discover now