Quattordici

8.6K 1.1K 19
                                    

Musim dingin, 2013

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Musim dingin, 2013.

Hujan bercampur es menghantam jendela kamar, menciptakan bunyi-bunyi aneh yang teramat menganggu. Suhu udara yang setiap harinya semakin mendekati titik beku membuat penghangat ruangan menjadi sahabat terbaik Amaya, terutama di malam hari seperti ini.

"Kamu belum tidur?" tanya Amaya ketika merasakan sisi tempat tidurnya bergerak.

"Tidak bisa tidur," jawab Petra. "Aku kirain kamu dari tadi udah tidur."

"Aku juga tidak bisa tidur. Lagi kepikiran sama Profesor Trelawney," sahut Amaya seraya mengubah posisi tidurnya agar dapat menatap kekasihnya.

"Kenapa Profesor Trelawney?"

Dalam remang cahaya kamar, Amaya dapat melihat kerutan di dahi Petra ketika menanyakan tentang salah satu tokoh dari buku Harry Potter. Pria itu memang tidak menggilai Harry Potter seperti dirinya, tapi pria itu tahu tokoh yang dimaksud karena juga pernah membaca dan menonton kisah sang penyihir legendaris.

"Tadi aku abis baca ulang buku ketiga Harry Potter, aku baru benar-benar sadar kalau ternyata Profesor Trelawney tuh memang bisa ngeramal."

"Loh, kan memang iya. Ramalan dia kan yang menjadi premis cerita Harry Potter," potong Petra.

"Ih, kamu dengerin dulu. Jadi, pas adegan makan malam di malam natal itu, Profesor Trelawney kan diundang juga tuh, tapi dia nggak mau duduk karena di meja udah ada dua belas orang. Dia bilang kalau di sebuah meja duduk tiga belas orang, maka orang yang pertama berdiri akan jadi orang yang meninggal duluan. Kamu tahu nggak adegannya?"

Petra memutar matanya seolah sedang berusaha mengingat-ingat. "Adegan itu tidak ada di film, ya?"

"Aku lupa. Mungkin tidak ada, di film kan banyak yang dihilangkan."

"Terus? Kata kamu dia tidak duduk. Bagian mana ramalannya?"

"Adegan itu menciptakan ramalan tentang kematian Dumbledore," ujar Amaya.

"Hah? Maksudnya? Kamu bilang hanya ada dua belas orang."

"Iya, yang terlihat dan terhitung memang hanya hanya dua belas orang. Tapi sebenarnya sudah ada tiga belas yang duduk di sana."

"Satu lagi hantu?" tanya Petra bingung.

"Satu lagi tuh Peter Pettigrew. Dia kan masih jadi Scabbers, tikusnya Ron. Ron selalu bawa Scabbers ke manapun dia pergi," jelas Amaya.

"Oh, i see. Jadi karena saat itu Dumbledore bangun dari meja paling pertama, maka di antara tiga belas orang tersebut Dumbledore yang paling dulu mati."

"Iya!" sahut Amaya semangat. "Terus, setelah menyadari hal itu aku jadi semakin penasaran. Sepertinya aku akan baca ulang semua serinya untuk mencari petunjuk lain."

"My nerdy girl." Petra memencet hidung Amaya.

"Hey, stop! Aku tidak suka hidungku di pencet," protes Amaya sambil mendorong Petra.

Alih-alih menjauhkan diri, Petra justru menggunakan kedua tangannya untuk menangkap Amaya, dan membawanya mendekat.

"Berapa derajat sih malam ini?" tanya Amaya. "Kayaknya semakin dingin saja."

"Mungkin tiga derajat," jawab Petra. "Sepertinya tahun ini kita akan menemui musim dingin yang buruk."

"Semoga saja tidak sampai -10 lagi seperti beberapa tahun lalu." Amaya menggeliat, kemudian merebahkan kepalanya di dada Petra. "Kamu tidak pulang?"

"Gareth dan beberapa temannya sedang membuat pesta di apartemen sebelah, aku tidak akan bisa istirahat jika pulang ke apartemen."

"Maksudku ke rumah orangtuamu. Sudah lebih dari sebulan kamu tidak menemui mereka."

"Iya, aku tahu, tapi mereka paham kalau aku sedang menyelesaikan tesisku."

"Menyelesaikan tesis yang mana? Tesismu sudah rampung. Jangan mengada-ada, Petra."

Pria itu memamerkan giginya, lengkap dengan wajah bersalah.

"Aku hanya sedang ingin menghabiskan waktu bersamamu. Sudah beberapa bulan kamu selalu mengeluh karena aku sibuk dengan tesisku, sekarang aku mau membayarnya."

"Membayar dengan apa? Dengan menginap di apartemenku setiap malam?" Amaya tertawa.

"Iya. Aku tidak masalah mendengar ocehan anehmu tentang Harry Potter, Disney princess, atau Grey's Anatomy, selama setelahnya aku diizinkan untuk tidur sambil memelukmu," ujar Petra sambil mengeratkan pelukannya.

"Terlalu gombal, Tuan!" ledek Amaya.

"Tidak gombal, cantik. Aku memang suka mendengarmu membahas hal-hal aneh di waktu-waktu tidur begini."

Kali ini Petra menutup kalimatnya dengan sebuah kuap besar.

"Aku tahu, aku memang sangat membosankan."

"Tidak. Kamu terlalu mempesona. Cerita pengantar tidurmu itu adalah salah satu pesonamu yang sering kurindukan," ujar Petra.

Amaya tersenyum dan menggosokkan hidungnya pada hidung Petra.

"Selamat malam, Tukang Tidur," bisiknya.

"Selamat malam, Cantik."

Petra mendaratkan sebuah kecupan ringan pada bibir Amaya sebelum menutup mata.

Truth or Date [Terbit]Where stories live. Discover now