30

225 25 1
                                    

"Gadis ini akan membahayakan kita,  bagaimana kalau kita singkirkan saja, Bos?"

"Jangan gegabah! Dia bukan gadis sembarangan. Kita harus menunggu waktu yang tepat agar dia bisa bernasib sama seperti kakaknya."

Sementara itu, di mobil Vano.

"Kayaknya Ayah Alan tahu soal penyelidikan kita, cukup bahaya kalau kita semakin menyelidikanya lebih lanjut, " kata Vano saat mereka sudah ada di mobil.

Reina duduk di kursi depan di sebelah Vano. Gadis itu mencengkeram erat kedua rok pendeknya sambil tertunduk. 

"Apa kalian akan menyerah?" suara terucap dari bibirnya.

Vano menoleh, begitu juga Ana yang duduk di jok belakang.

"Kita hampir berhasil menangkap pembunuh Kak Reihan, penyelidikan ini harus dilanjutkan dengan atau tanpa kalian," ucap Reina penuh percaya diri, menatap langsung netra Vano.

"Rein,  kamu nggak lihat,  Alan tertangkap, mungkin ini merupakan ancaman buat kita."

"Aku sudah pernah bilang, kalau ini akan berbahaya, tapi kalian tetap setuju melanjutkan. Setelah bukti di depan mata, kalian akan menyerah?" Reina bersikukuh.

Vano bukannya ingin menyerah, tapi mengkhawatirkan Reina. Di antara yang lain, gadis berkacamata inilah yang berpotensi besar dalam bahaya. Ia hanya ingin Reina mengerti kekhawatirannya, namun gadis itu malah salah paham dengan menganggap Vano pengecut dan akan menyerah.

"Cukup debatnya. Rein, kamu lagi capek, aku perhatikan dari tadi emosi kamu nggak stabil. Jadi aku mohon," Vano memegang kedua bahu Reina, menatap penuh permohonan, "kita hentikan di sini untuk sementara. Besok kita lanjutkan lagi. Oke?"

Reina mengangguk, matanya berkedip-kedip gelisah, lalu menunduk. Seolah baru tersadar, Vano segera menarik kedua tangannya. Ana dari kursi belakang hanya menatap keduanya, ia yakin telah terjadi sesuatu di rumah pak Ozai yang meningkatkan intensitas hubungan temannya itu.

***

Setelah mengantar Ana ke rumah,  kini giliran Vano yang terakhir mengantar Reina. Saat di jalan hanya ada kebisuan di antara mereka. Reina terus saja menatap jendela mobil tanpa berkata sepatah kata pun. Tatapannya kosong.  Bahkan Vano enggan untuk memulai pembicaraan, dan lebih fokus menyetir. 

"Devan," panggil Reina tiba-tiba.

Vano menoleh saat namanya dipanggil. Ia masih saja tersenyum kecil ketika Reina lebih suka memanggilnya Devan daripada Vano. Itu mengindikasikan panggilan khusus, dan lelaki itu merasa spesial karenanya.

"Kenapa, Rein?"

"Kamu akan membantuku, kan?" tanyanya tanpa menoleh ke Vano. 

"Kamu bicara apa sih,  ya pasti aku akan selalu membantumu, Rein. Tadi itu maksudku--"

"Apa kita bisa menemukan pembunuh Kak Reihan?"

Vano tersenyum getir, ia mengerti sekarang. Bukan hanya dirinya yang khawatir, Reina juga, tapi demi kakaknya, gadis itu menekan rasa takutnya. "Pasti. Kita akan menangkap pembunuh Reihan."

"Devan," panggil Reina, kini menoleh ke Vano, tatapannya lebih serius dari biasanya. "Aku pikir, aku tahu pembunuh Kak Reihan."

DEG...

"Kamu tahu?" Vano menghentikan mobil tepat di depan gerbang rumah Reina. Kini tatapannya lebih tajam.

Reina mengangguk yakin, “Aku pikir Pak Ozai pelakunya, dia kaki tangan kepsek dan slip uang yang kita temukan di rumahnya itu bisa jadi bukti kalau pak Ozai pelakunya, dan kamu ingat, kan, wartawan yang semula mendukung pak Guntoro malah balik menyerang, ini pasti ulah pak Ozai. Bisa saja, kan, dia sudah bekerjasama dengan kepsek dan menjebak pak Guntoro. Aku benar, kan Devan?”

Secret Clover [COMPLETED]Where stories live. Discover now