Ada yang menyebutnya bodoh, tapi Xeevara menamainya perjuangan.

Iya, setidaknya itulah yang Xeevara kira. Kenyataannya, hati memiliki batasan dan hanya pemilik bodoh yang membiarkannya terus hancur pada hal yang sama. Jika Xeevara tidak bisa bertahan pada Saga yang selalu mencoba membuatnya tersenyum, lalu kenapa Xeevara masih bertahan pada lelaki lain yang terus menghilangkan senyum yang susah dibuat itu?

Bodoh? Oh iya jelas.

"Hey, Arthur," panggil Xeevara. Pasangan mata gadis itu mana berani menatap mata tajam Arthur, lebih baik Xeevara mengikuti sorot mata aula daripada harus menatap sorot mata Arthur. "Gue ... kali ini serius, emangnya menurut lo, apa yang kurang dari gue? Lo tahu sendiri, kan?" Xeevara tak tahu bagaimana merangkai kalimat yang pas untuk mewakilkan. Kemampuan public speaking yang ia banggakan tak berfungsi.

Lewat ekor matanya, Arthur melirik.

"Uh maaf," Gadis itu meralat, "Gue mau lebih—"

BRAK!

Arthur melempar beberapa lembaran kertas yang dipegang, menyerahkan lembaran yang berisi nama-nama pengurus OSIS di angkatannya. "Tolong cariin orang-orang yang sekiranya bisa berkontribusi dengan baik di kepemimpinan OSIS kita," suruhnya tanpa menoleh. Arthur tahu Xeevara memberinya pertanyaan detik yang lalu, tapi lelaki itu mengalihkan topik ketika tahu dibawa ke mana percakapan mereka. Arthur tak masalah membicarakan perkara tersebut, but not now.

"Buat apa?" tanya Xeevara agak keras. "Pemilihan ketua OSIS aja masih belum selesai, terus ngapain kita mendahului kegiatan dengan lakukan hal seperti ini?" tanya Xeevara tak habis pikir, sejenak ia sadar bahwa Arthur hanya mencoba mengalihkan topik.

"Kita pasti menang."

"Darimana lo tahu?"

Menanyakan sesuatu yang jelas, kemampuan Xeevara lihat situasi perlu dipertanyakan. Arthur tertawa. "Harusnya lo pintar lihat situasi. Sekarang ini, satu-satunya calon yang punya peluang besar ngalahin gue, yaitu Gilbert dan Renata. Mereka gue akui berpotensi, tapi belum cukup ngalahin dua murid teladan." Satu alis Arthur terangkat, menyadari Gilbert pasti tahu diri untuk mundur. "Thanks buat status dan kepercayaan orang-orang pada lo, tempat lo di sisi gue cukup membantu kita sampai sejauh ini."

DEG!

Meski terlihat menyedihkan, Xeevara menyentuh dada. Rasanya sesak. Dulu, Arthur menatapnya rendah karena nilai Xeevara kurang memuaskan. Sekarang saat Xeevara menjadi lebih baik deminya, lelaki itu memanfaatkan posisinya. Ironisnya, hati Xeevara jatuh pada lelaki semacam itu. "Selain status dan kepercayaan, apa lo enggak ngerasain sesuatu yang lebih dari itu? Ada hal yang lebih besar dari itu, lo aja yang terlalu buta untuk menyadari."

Nada yang dipakai tidak salah lagi, Arthur kenal semua ini. "Xeevara Adistia, dari sekian waktu gue yang terbuang-buang buat ngurusin topik itu, kenapa harus sekarang?" Arthur mendesis. Lelaki itu menatap tajam perempuan di sampingnya. Meski Xeevara tidak menatap Arthur langsung, tapi gadis itu bisa merasakan aura tajamnya. "Lihat muka gue, Xeevara."

"Yaa, kenapa harus ditunda-tunda? Kenapa lo terus lari dari pertanyaan yang terus gue ulang?" Xeevara membalas, nadanya naik. "Takut kehilangan yang namanya status itu, ya? Makanya lo gak berani macam-macam ke gue, kan?" Sejujurnya, gadis itu sempat terkejut dengan kenekatan ucapannya. Biasanya ia diam ketika Arthur sudah melirik tajam ke arahnya.

DEG!

Perhatian Arthur teralih, memusatkan pikiran pada kata yang terdengar seperti ancaman. Lelaki itu merasa terhakimi sekaligus tertantang dengan ucapan Xeevara, dan ini pertama kalinya ia tersinggung oleh gadis yang biasa berlaku manis padanya. Arthur tak mau berlaku kasar, tapi di sisi lain, cara itu yang paling ampuh untuk menutup mulut Xeevara. "Xeevara, jangan berlagak seakan derajat lo lebih tinggi dari gue. Kalau gue bilang jangan bahas hal yang enggak penting, lakuin sesuai yang gue bilang."

'Derajat ....' Bertambah lagi kosakata yang Xeevara cerna mengenai sudut pandang lelaki itu terhadap dirinya. Tapi, telinganya menangkap sesuatu lain yang berhasil mendominasi pemikirannya saat ini. "Gak penting, ya?" Memangnya Arthur pikir segala hal yang Xeevara lakukan dan bicarakan hanya untuk membunuh waktu di saat lenggang seperti ini? Memangnya mengutarakan isi hati merupakan hal yang konyol? Enggak penting katanya?

"Seberapa rendah lo natap gue? Setelah gue udah bersusah payah bangkit dan ngejar lo, masih serendah itu lo natap gue? Apa salahnya gue nanya, apa peran gue di mata lo? Seberapa besar kehadiran gue berpengaruh buat lo? Tapi, dilihat dari cara lo nganggap pembicaraan ini gak penting, kayaknya lo cuman ngejadiin gue sebagai batu loncatan, iya, kan?!" Gadis itu menaikkan suara, memastikan Arthur tak perlu memintanya untuk mengulang.

Kenaikan emosi ini pun sudah Arthur prediksi. Beruntung aula berisik, akan jadi masalah besar jika sepasang pemimpin itu terlihat adu argumen. "Meski gue jawab pertanyaannya, lo ga nerima semudah itu dan ngulang pertanyaan itu nanti. Just like every single times, jangan bikin gue malu dengan sikap lo di acara OSIS tahun ini." Demi apapun, lelaki itu tidak membentak. Nadanya rendah, seakan menegur tetapi menyimpan kecaman di baliknya.

JLEB

Kening Xeevara bertaut, bersamaan dengan gemuruh dadanya yang naik-turun. Entah kenapa tenggorokannya terasa tercekat, dan pasokan udaranya menipis setelah mendapat bentakan dari lelaki berjulukan murid teladan itu. "OSIS lagi, OSIS aja terus! Engga pernah lo untuk sebentar aja mikirin perasaan gue?" Xeevara masih setia menuntut jawaban.

"Lo pikir gue rela menghabiskan waktu berharga gue buat mikirin hidup cewek kayak lo? Dari kalimat ini, lo langsung paham?" Lelaki berjas abu itu mengangkat dagu Xeevara. "Ayo nangis, kita ulang skenario yang sama."

JLEB.

"Egois!" hardik Xeevara.

"Berhenti bicara seakan lo ada bedanya!"

"Lo bilang gue yang selalu ngerelain semuanya demi lo itu egois? Gue yang selalu berharap demi lo itu egois?" Xeevara menunjuk dirinya sendiri, menegaskan ucapannya. Desiran air mata hangat mulai memenuhi pelupuk mata gadis itu, perlahan mulai menuruni pipi mulusnya. "Gue tahu gimana diri lo yang sebenarnya." Xeevara menghapus air matanya. "Dan gue benci!"

Sambil mencoba menguatkan hatinya yang teriris, Xeevara beranjak pergi meninggalkan aula, ia tidak lagi peduli bila posisinya diturunkan oleh sang ketua OSIS yang baru ataupun harga dirinya yang turun karena sudah melewatkan kegiatan. 'Cewek yang dulu lo sebut bodoh karena nilai UN-nya kecil, kini sudah berubah sebagai peraih peringkat dua di angkatannya. Meski perjuangan gue untuk merubah diri begitu berliku-liku, tapi lo sepertinya pantas diberikan kata 'terima kasih' karena berkat lo, gue berhasil sampai sejauh ini.'

'Berkat lo, gue sampai pada keterpurukan sedalam ini. Terima kasih, kado terbaik.'

♠️▫️♠️▫️♠️▫️♠️▫️♠️

Author's note:

Pengen cepet-cepet namatin ini huhuhu T_T cuman kalau update tiap hari takutnya memaksakan. Aku lagi 'belok' ke fanfiction hahah~ soalnya rame ternyata >_< padahal sebenarnya kondisi di rumah lagi berabe persiapan pindahan buat kuliah wkwkwk tapi si aku malah fokus bikin cerita T_T ini waktu-waktu terakhir menikmati makanan dimasakin, baju dicuciin, dan segala dilakuin sama ortu sebelum harus lepas dan mandiri di minggu depan :")

Alay amat sih ... kek yang mau gimana aja padahal masih satu provinsi. Cuman kalau engga diresapi dan gak alay, gak afdol rasanya T_T

Kalian juga pasti sedang mengalami sesuatu, apapun yang kalian hadapi saat ini semoga dipermudah yaa~ ^_^ makasih udah baca sampai sini hehehe ^3^

See you in the next chapter~!

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 22, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

PRIVILEGE [On-going]Where stories live. Discover now