Privilege || 08

9 8 10
                                    

Hak Istimewa | Chapter 08
Jumlah kata: 1725 kata

♠️▫️♠️▫️♠️▫️♠️▫️♠️

Seorang lelaki berjaket jeans menyandarkan bahu di koridor sekolah yang kian menyepi. Tentu saja, karena bel pulang sekolah sudah berdering sekitar satu jam yang lalu. "See? Lo engga dikaruniai pilihan lain, harapan lo saat ini hanya Xeevara," tegasnya pada lelaki berjas abu yang tengah sibuk membolak-balikkan kertas berisi daftar murid berprestasi dengan jas abu.

Arthur mengernyitkan dahi. "Everyone but her."

Saga berdecak, "Apalagi yang tepat buat lo kalau bukan Xeevara? Jangan sok jadi jagoan!" Ia tak habis pikir mengapa Arthur begitu ingin menggantikan Xeevara, bahkan bila Saga mencoba mencari celah atas kesalahan gadis itu, rasanya tidak ada. Xeevara terlalu baik untuk melakukan kesalahan, ia sudah sempurna.

Menyadari temannya itu berbicara dengan nada tinggi, Arthur pun ikut terpancing emosi. "Lo pikir gue baik-baik aja dengan keberadaan dia? Engga. Kalau bisa, lo bawa jauh cewek itu." Arthur membalas tanpa menyaring kata-katanya, ia sudah tak peduli bila ucapannya di cap keterlaluan. Toh! Hanya ada Saga di sini yang mendengar ucapannya. Arthur yakin, lelaki itu tidak mungkin membeberkan masalah kecil ini ke seisi sekolah.

Seketika Saga menatap tajam lelaki yang sudah merendahkan Xeevara, ia langsung bangkit dari sandarannya, menatap intens lawan bicara. "Hooh. Lo mau gue embat cewek lo?"

"Cewek gue?" Perhatian Arthur sepenuhnya hilang dari berkas-berkas di tangannya. Ada detik yang terpakai untuk tertawa. "Sejak kapan? Bukannya dia cewek lo, yang masih ngejar gue?"

JLEB!

Tanpa menghitung detik, lelaki berjaket itu menyambar kerah Arthur. Absen berbentuk lembaran kertas itu jatuh berserakan di lantai. "Berapa kali harus gue peringatkan? Kalau lo berani nyakitin hati Ara, sekecil apapun itu, gue janji balas berkali-kali lipat!" ancamnya. Saga tak peduli kalau ia sedang menyerang sang murid teladan, terlebih lagi, sahabatnya sendiri.

Hembusan napas keluar dari mulut Arthur, tangan lelaki itu bergerak menahan pergelangan Saga dengan satu tangannya. "Saga, kalau lo emang bener-bener serius sama Ara, lo tinggal kejar dia, apapun situasinya." Arthur meletakkan tangannya yang satu lagi di bahu Saga.

"Engga semudah itu, Xavianno!" bantah Saga. "Ara cinta lo, dan gue udah susah payah ngerelain cewek itu! Setidaknya lo hargai perjuangan gue!"

"Terus lo pikir menerima semudah itu?!"

Cengkraman Saga di kerah Arthur mulai melemah kala telinganya menangkap jelas semua ucapan Arthur, kata-kata itu sukses membungkam mulutnya. 'Sesusah apa menerima cewek sesempurna Xeevara?'

Arthur memanfaatkan kesempatan ini untuk melepas cengkraman Saga, lelaki dengan jas abu itu membenarkan kerah seragamnya. "Kalau lo engga bisa merelakan, seharusnya dari awal jangan paksakan diri buat menyerah. Percuma lo belajar tinggi-tinggi, ketemu hal beginian aja langsung jadi bego." Setelah memunguti berkas yang berserakan, Arthur meninggalkan lelaki itu.

"Sesusah apa lo nerima cewek sesempurna dia?!"

"Gak ada yang sempurna!" tolak Arthur tegas. "Lo belum move on dari Ara. Makanya, gue kasih lo kesempatan berjuang. Kalau lo engga mau gue terus nyakitin dia, ambil kesempatan ini buat lindungi dia, jangan nyerahin semua ke gue." Arthur menoleh sekilas. "Gue engga sebaik itu ngabulin permintaan lo. Gue akui, keberadaan Xeevara emang menguntungkan buat gue, tapi itu percuma, kalau gue sendiri engga nyaman."

Sosok pembela itu terpaku di tempat. Seandainya ia berjuang, bukankah secara tak langsung dirinya menyakiti perasaan Xeevara? Saga tahu Xeevara menyukai Arthur, harusnya Saga mendukung hal yang membuat Xeevara bahagia, kan? Saga tidak mau memaksakan perasaannya pada gadis itu.

PRIVILEGE [On-going]Where stories live. Discover now