Privilege || 05

87 62 125
                                    

Hak Istimewa | Chapter 05
Jumlah kata: 1825 kata

♠️▫️♠️▫️♠️▫️♠️▫️♠️

Seorang gadis berabut hitam terurai mengacungkan tangannya di tengah kegiatan rapat. "Maaf menginterupsi, saya ingin mencalonkan diri menjadi sekretaris OSIS tahun ini." Serentak pandangan anggota OSIS mengarah padanya. Sang moderator ikut terhenti hanya untuk melirik pemilik suara.

Austin—senior SMA Orchid sekaligus ketua OSIS yang sekarang sedang dalam masa pengunduran diri, lelaki itu bangkit dari duduknya. "Tunggu, ya. Setelah ini, kita akan membuat pengumuman di mading sekolah mengenai pengajuan calon pemegang OSIS selanjutnya, dari sekretaris dan ketua."

Ulasan senyum tertampang di wajahnya mengingat sekarang ia memiliki kesempatan untuk menjadi sekretaris OSIS, jabatan yang ia tekadkan sejak kelas sepuluh. Sebelum kembali ke tempat duduknya, Valeria mendengar decihan dari kakak kelas, khususnya yang cewek. Sayang sekali usaha mereka tak Valeria hiraukan, banyak yang lebih penting dari mereka.

"Valeria," panggil Austin. "Sepulang sekolah nanti, tunggu gue di ruangan OSIS, gue butuh bantuan lo terkait beberapa hal." Dengan begitu, mereka melanjutkan rapat mengenai pemilihan ketua OSIS baru. Jelaslah akan ada persaingan ketat untuk dapat jabatan ini. Namun, dari generasi ke generasi, jabatan ketua OSIS selalu diraih oleh murid terbaik—Sang murid teladan.

Arthur menyimpan kedua lengannya di dagu, kedua matanya terpejam. Jangan salah, ia bukannya tidak memperhatikan, Arthur adalah salah satu murid yang belajar dengan konsep audio, sehingga akan lebih mudah baginya untuk memahami sesuatu cukup dengan mendengarkan.

"Kita tetapkan syarat utama mencalonkan diri sebagai ketua OSIS adalah memiliki wakil, perlu berpasangan. Bagi yang tidak memiliki wakil, maka ia dianggap tidak sah mengikuti pemilihan." Austin membacakan persyaratan tersebut di hadapan ruang rapat, matanya menyelidik murid yang sekiranya menyalonkan diri sebagai calon ketua OSIS. Hingga sampailah pandangan tersebut pada Arthur. 'Gue harap lo nemuin wakil yang tepat. Seseorang yang memiliki reputasi. Karena tahun ini, modal sebagai murid teladan saja engga cukup.'

Arthur membalas tatapan tersebut dengan anggukan singkat.

'Oh ya? Jangan ngerasa paling unggul, gue pun bisa menang selayaknya lo tahun lalu.'

♠️▫️♠️▫️♠️▫️♠️▫️♠️

Riuh kantin setelah bel berbunyi beberapa menit yang lalu bukanlah hal aneh bagi siswa-siswi. Banyaknya murid berdiam diri di kelas tak sebanding dengan jumlah murid yang berkeliaran di kantin sekolah yang terbilang luas. "Arthur?" panggil Xeevara, keningnya bertaut mendapati Arthur diam tak berkutip. Arthur memang pendiam, tapi diamnya kali ini seperti lesu. "Belum sarapan lagi?" tanya Xeevara.

"Gak apa-apa," Arthur menjawab, formal. Lelaki itu menunduk dengan kedua tangan yang disimpan di kening seakan menopang kepalanya yang berdenyut agar tidak terjatuh membentur meja. Menyadari teman bicaranya tak mempercayai basa-basi Arthur, ia menambahkan, "Gue agak lemes aja."

Xeevara mengernyitkan dahi, tangannya terangkat menyentuh pundak Arthur. "Gue beliin makanan, ya? Kan engga enak kalau lo sakit, bisa-bisa lo engga fokus di pelajaran selanjutnya," tegur Xeevara, tepat sasaran. Gadis itu memang mengenalnya. Lagipula, Arthur tak akan mendengarkan komen kecuali yang berhubungan dengan proses belajarnya.

'Gue engga belajar semalam.' Sedari tadi, pikiran dan hatinya menghina hanya karena Arthur terlalu lemah sampai berpikir untuk melewati les kemarin. Bukan malas, rasanya jika ia datang ke tempat les pun akan melelahkan. Tapi, sialnya hal itu diketahui sang ayah dan malam ini ia kena ceramahnya.

PRIVILEGE [On-going]Where stories live. Discover now