Privilege || 04

84 69 156
                                    

Hak Istimewa | Chapter 04
Jumlah kata: 1867 kata

♠️▫️♠️▫️♠️▫️♠️▫️♠️

Sorot matahari terik kian memperparah polusi di jalanan padat. Bahkan, sekarang di depan gerbang SMA Orchid terjadi kemacetan parah akibat driver yang berhenti di sembarang jalan untuk menaikkan penumpang. Sudah beberapa kali para pengemudi itu ditegur oleh satpam, tapi sebatas masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Akhirnya, laju lalu lintas terganggu.

Tangan Raquel menutup mulutnya yang terbatuk, lalu beralih melingkarkan sweater di pinggang. Tak ada jas abu tak masalah, masih ada privilege asal SMA Orchid sebagai sekolah swasta terbaik di daerahnya. Rute rumah Raquel dari sekolah tak begitu jauh, tapi sialnya mentang-mentang dekat malah tak ada angkutan yang ke rumahnya langsung.

Antara Raquel naik angkutan dua kali atau jalan, dan karena ia baru saja membenarkan earphone, gadis itu memilih jalan. Jari-jari Raquel bergerak membenarkan kabel kusut. Sambil menikmati jalannya, Raquel memutar lagu. Tanpa ia sadari, sorot matanya mendarat asal pada kumpulan orang berseragam sama seperti dirinya. Seperti biasa, Raquel sering menemukan anak-anak SMA nongkrong di warung belakang tiap pulang sekolah.

Namun, setelah ditilik, mereka tidak menggunakan pin SMA Orchid, atribut yang mereka gunakan berbeda dengan sekolahnya. Langkah gadis itu terangkat kembali, kepalanya menunduk dengan bola mata menatap layar ponsel ditengah terik matahari yang menyilaukan.

Now playing : Harleys in Hawaii - Katy Perry

BUGH!

Meski gadis itu mengenakan earphone dengan volume tinggi, telinganya masih bisa menangkap suara bogeman jernih. Otomatis perhatian Raquel teralihkan dari ponsel, kedua bola matanya terbuka lebar sambil mengambil langkah mundur. Gadis itu terkejut, apalagi ketika satu dari anak SMA/K itu terhuyung jatuh ke arahnya. Tiga orang yang terlibat nampak asing, tapi satu orang yang menghadapi tiga lawan itu Raquel kenali dengan mudah.

Zaviero Raven, si murid blazer di angkatannya.

Raven menangkis bogeman yang mengarah pada wajahnya dengan tangan terbuka, satu tangannya yang bebas mulai mengepal dan melayangkan tinju ke rahang lelaki itu sehingga ia bernasib sama dengan yang sebelumnya. Setelah itu, Raven menarik lawan yang satu lagi mendekat, lututnya secara spontan terangkat menendang lelaki itu di perut, rintihnya terdengar.

Menyadari lawannya melemas, Raven melepas cengkraman, membiarkan lelaki itu terbaring. Ketiga orang tadi—setelah menyadari bahwa adik kelas yang tadinya mau dipalak itu kuat bukan main, mereka langsung bangkit dan lari terbirit-birit, tidak memedulikan rasa sakit akibat bekas hantaman.

Raquel tahu bahwa Raven suka mencari masalah, tetapi gadis itu tidak menyangka kalau Raven sebermasalah ini. Lama-lama bukan ia yang mencari masalah, tapi masalah yang datang padanya. Jangankan di dalam, di luar pun lelaki itu memiliki teman beradu jotos. Apa lelaki itu bisa tenang dengan hidup seperti ini? Melihat smirk itu, Raquel langsung tahu jawabannya.

"Oy, penonton!"

Mata ocean Raquel terangkat bertemu dengannya.

"Orang lemah macam apa yang berani datang ke sini?" Raven mengangkat sebelah alis, mengedikkan bahu menemukan sosok tak dikenal berdiri diam. "Lo pikir kalau lo ada di posisi gue, lo bakal bisa ngelawan mereka?" tanya lelaki itu dengan smirk yang sama. Sepertinya perempuan itu tak tahu apa yang baru ia lewati. "Lain kali, gak usah ngelewatin tempat ini lagi, udah jadi sarang yang gak bener." Raven berdecih. 'Gara-gara tawuran kemarin keknya.'

Sekarang giliran Raquel yang mengangkat alis. Raquel biasanya melewati gang ini untuk pulang, tak ada yang menjadi masalah dan kejadian itu baru sekali Raquel lihat seumur-umur pulang lewat gang ini. Niatnya membantah Raven tergantikan pertanyaan lain, "Gak bener? Contohnya lo sendiri? Dari tiga orang tadi, lo lebih pantas disebut yang gak bener. Gue bener, kan?"

PRIVILEGE [On-going]Where stories live. Discover now