Bagian II (Keputusan Kim Jongin)

327 42 0
                                    

Kyungsoo membawa Jongin ke rumah pria itu. Mereka sedang menghempaskan diri untuk bersantai setelah melakukan perdebatan panjang di ruang introgasi kepolisian Seoul. Di ruang makan, Ibunya sedang memotong wortel, mereka bertemu dengan Minseok yang sedang mencermati buku besar akuntansinya. Kendati usianya baru menginjak tiga puluh tahun, dia cantic, dengan kulit seputih susu dan rambut yang sudah dicatnya kemerahan.

Dari balik kacamata bacanya, sepasang manik hitam kecoklatan itu mengamati Kyungsoo dan Jongin yang terlihat lemas. "Selamat pagi, Kyungsoo. Bagaimana kabarmu?"

Jongin angkat bicara mewakili Kyungsoo. "Lebih baik kita tidak membahas itu, Noona. Karena dia.. tahu kan, sedang tertekan." Jongin berbisik, agak keras.

Minseok merengut. "Tolong maafkan Jongin, Sayang. Sebagai bocah yang sangat pintar, kadang-kadang dia lumayan lancang."

"Tidak apa-apa, Eonnie," kata Kyungsoo mengagumi buku besar yang dipegang Minseok sambil berdiri. "Aku telah mengenalnya seumur hidupku."

Minseok tersenyum. "Ya, tapi agaknya yang tertekan sebenarnya adalah dia." Saat itulah Minseok menyadari Jongin yang kemudian berpaling muka. Penampilannya kumal seperti gelandangan, rambut berantakan dengan kaos berwarna putih yang kebesaran, ada noda tumpahan kopi yang menyebar di bagian dadanya. Dia mendesah pelan sambil mengatai Jongin sekali lagi, "Sekarang kau mirip orang gila dengan tampilanmu yang kacau itu."

Jongin menarik Kyungsoo ke koridor yang diapit oleh rak berisi beraneka ragam buku akuntansi dan beberapa disertasi milik para Profesornya, Kyungsoo mendesah karena kelelahan mengikuti Jongin.

"Kurasa aku akan meleleh," rengek Jongin dalam suara merdunya yang aneh. Setelah satu jam berlalu bermain kartu di teras belakang rumahnya tanpa mengganti pakaian. Kegerahan dan kelelahan, Jongin dan Kyungsoo merebahkan diri di bawah bayangan sulur-sulur anggur scuppernong, menikmati angin sejuk yang bertiup sepoi-sepoi. Mereka mengipasi diri dengan halaman teka-teki silang Jurnal Seoul, yang juga mereka garap beberapa hari yang lalu.

"Kenyataan membosankan! Seandainya aku berhasil menemukan perempuan penipu itu, aku pasti sudah bisa tidur dengan pulas. Bahkan bulan lalu setelah aku keluar dari rumah sakit, perempuan itu menghilang begitu saja. Aku bersumpah nanti jika bisa menemukannya, aku akan menjambak rambutnya."

"Yah, mungkin di sini kau merasa seperti itu, menjambak rambut bukanlah solusi yang tepat, Kim Jongin. Lupakan saja, mungkin dia sedang bersembunyi dari pacarnya yang mengerikan itu."

"Tempo hari, ada anak kulit hitam—si Edward—yang menarik perhatian semua orang di alun-alun. Dia melemparkan sepuluh petasan bersamaan dan membuat kegaduhan, kau tahu itu kan? Seoul menjadi seperti tempat perang saja akhir-akhir ini."

Kyungsoo tidak terkesan. "Menurutku sebainya kita pergi ke toko baruku, meminta bantuan beberapa pekerja bangunan, kau tahu, bagian terasnya hancur karena kemarin ada truk seenak jidatnya mundur."

"Tokomu di Gangnam, dan kita sekarang di Itaewon. Cukup membuatku muak untuk menyetir melewati mobil-mobil lain yang sukanya berhenti di jalanan."

Kyungsoo menghela napas. "Ayolah, kau bantu aku, yang dimaki-maki Penyidik tadi bukan kau saja; aku juga."

"Aku berharap di sekitar tokomu aka nada pembunuhan atau seseorang tiba-tiba menghilang."

Kyungsoo memandang Jongin seakan-akan pria itu sudah gila. "Memangnya apa yang kan kau lakukan kalau ada pembunuhan atau penculikan?"

"Aku bersumpah akan benar-benar menyegel toko mawar payahmu itu selamanya." Jongin menjetikkan jemarinya. "Aku bisa jadi Sherlock dan kau jadi Watson! Si Otak dan Si Otot, ya kan? Jadi nanti kita akan bertemu lagi dengan Penyidik Tua itu dengan makian dan siraman kopi panasnya di mukaku."

That Bloody Night - COMPLETEDWhere stories live. Discover now