Bab 2

51.6K 4K 38
                                    

Selamat Membaca










Oke, aku memang tahu jika orangtua Nares adalah seorang politikus. Tapi, sungguh aku tidak menyangka, jika Bapak Tama yang sudah dua tahun ini menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, adalah Ayah kandung Nares.

Aku mengenal Nares saat kami memasuki SMP yang sama. Tahun pertama, kami sekelas. Dari situ juga awal perasaanku dimulai. Nares dulu jahil sekali. Dia selalu suka menggodaku. Hal yang akhirnya kusimpulkan kalau dia menyukaiku.

Namun, kenyataannya salah besar. Tahun kedua SMP, Nares punya pacar. Dia mulai menjaga jarak denganku. Masih sering menggodaku, tapi tidak sesering dulu. Sampai kemudian, dia tahu jika aku diam-diam suka dengannya. Dan, menyakitkannnya, dia mengatakan kepada temanku, kalau dia hanya menganggapku teman, dan saudara perempuan.

Apa-apaan itu? Hal yang menjengkelkan, bukan?

Sudah tahu perempuan itu selalu mengedepankan hati, daripada pikiran mereka. Malah memberikan harapan seolah-olah dia menyukaiku, dan memberi perhatian lebih dari lainnya. Pantas saja jika Poppy dan Clara menyebutnya bangsat.

Aku tengah makan dalam diam. Mengunyah makananku dengan pelan, sambil sesekali melirik ke arah Nares yang tampak makan dengan nyaman.

Aku masih asyik memerhatikan Nares, sebelum dia akhirnya ikut menoleh ke arahku. Kami bertatapan untuk beberapa detik, sebelum aku mulai mengalihkan pandanganku. Aku takut tidak bisa mengontrol perasaanku.

Makan malam kali ini hanya diisi oleh pembicaraan para orangtua. Aku dan Nares lebih banyak diam, dan mendengarkan. Sampai acara berakhir pun, aku dan Nares tidak berbicara sama sekali. Hanya tadi, saat lelaki itu menyapaku. Hanya itu. Selebihnya kami benar-benar diam.

“Kapan-kapan, Kayla main ke rumah Tante, ya,” ujar Mama Nares ketika kami sudah berada di tempat parkir.

Aku menoleh ke arah Bunda yang mengangguk sembari tersenyum. Aku akhirnya ikut mengangguk, dan tersenyum. “Insyaallah, Tante. Kalau ada waktu.”

“Ditunggu banget. Nanti kita ketemu sama dua kakaknya Aa.” Beliau terlihat antusias denganku.

Aku kembali mengangguk dan tersenyum. Orangtua Nares mulai memasuki mobil, disusul kedua orangtuaku. Aku pun hendak memasuki mobil yang dikemudikan Abi, namun seseorang lebih dulu menahan lenganku. Aku menoleh, dan melihat Nareslah pelakunya.

Dia menatapku dalam untuk beberapa saat, sebelum kemudian mulai berbicara, “Kamu tumbuh dengan baik, Ay.”

Aku menatapnya datar. Tentu saja aku tumbuh dengan baik. Abi dan Bundaku selalu memberiku makan yang bergizi. Selalu memastikan aku bahagia. Tidak seperti dia, yang selalu menjadi orang nomor satu jika menyangkut lukaku.

“Aku senang kamu baik-baik aja.”

Aku mendengus mendengarnya. “Memangnya kamu harap aku harus bagaimana? Terluka dan menderita karena kamu yang meninggalkan aku?” tanyaku sinis.

Namun, bukannya tersinggung. Nares malah tertawa. Tawa yang selalu menjadi semangatku dulu. Dan, mungkin hal itu masih belum berubah. Buktinya, aku benar-benar matian untuk menekan rasa haru yang ingin meluap di dalam hatiku.

“Tentu aja enggak. Aku selalu berharap kamu bahagia. Dan, melihat kamu yang tumbuh dengan baik, membuatku bersyukur. Sana masuk, udah ditunggu Om sama Tante,” ujarnya sambil mengusap pelan rambutku.

Aku kembali dibuat termenung dengan sentuhannya yang tidak seberapa itu. Sialan Nares! Lelaki itu masih berbahaya. Pengaruhnya masih sangat besar untukku.

Tidak ingin berlama-lama dengan dirinya. Aku segera membuka pintu mobil bagian belakang, dan masuk ke dalam. Tidak lama kemudian, Abi mulai menjalankan mobil keluar halaman restoran, setelah membunyikan klakson beberapa kali.

Aku menatap ke belakang. Di mana Nares masih berdiri di tempatnya tadi. Aku mengepalkan kedua tanganku erat, begitu mataku kembali memanas, dan tidak lama kemudian air mata kembali membasahi pipiku.

Andai saja dulu dia tidak bertindak sesukanya. Andai saja dia dulu menjelaskan bagaimana perasaannya kepadaku. Andai saja dia tidak mendiamkanku, dan menjauhiku. Andai saja semua itu tidak terjadi, aku mungkin akan menjadi orang yang paling bahagia malam ini, karena hendak dijodohkan dengannya.

Tapi, semua yang terjadi di masa lalu, tidak pernah bisa diubah. Menyesalinya pun, akan percuma. Aku menyayanginya. Sangat menyayanginya. Namun, dari dulu aku tidak pernah memaksakan apa pun. Aku hanya mengikuti alur yang dia ciptakan.

Aku iklas ketika melihat dia mendekati teman sekelasku. Aku rela ketika melihat dia berpacaran dengan gadis lain di sekolah. Aku bahkan memilih diam, ketika dia dengan jahatnya, menjauhiku layaknya hama, hanya karena dia tahu aku menyukainya.

Kayla Dan NaresTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang