Bab 1

59K 4.2K 60
                                    

Selamat Membaca












Aku masih duduk dengan jantung berdebar. Aku harap-harap cemas dengan kedatangan orang yang akan dijodohkan denganku itu. Aku sudah meminta Bunda untuk memberiku kode seperti apa nantinya dia. Tapi, Bunda menolak memberitahu. Katanya biar jadi kejutan.

“Bun, mana, sih, orangnya? Katanya jam tujuh. Ini sekarang udah setengah delapan. Ngaret banget jadi orang,” ujarku kesal karena menunggu terlalu lama.

“Hush! Kamu, tuh. Calon besan Bunda ini, orang sibuk. Jadi, wajar aja.” Bunda memelototiku.

Aku hanya cemberut, dan menghabiskan air putih milikku. Aku menatap Abi dengan pandangan melas. “Bi, boleh pesan makan dulu? Kayla lapar.”

“Boleh, pesan aja.”

Aku tersenyum lebar, dan hendak memanggil pelayan. Tapi, Bunda memukul pahaku dengan keras, yang membuatku mengaduh.

“Sakit, Bunda!”

“Kamu diam aja, Kay. Jangan berisik dan jangan banyak tingkah. Sebentar lagi mereka datang. Udah di tempat parkir, kok.”

Aku cemberut, dan beranjak berdiri.

“Mau ke mana kamu?” tanya Bunda dengan waspada.

“Kabur.”

“Kayla!”

Aku menatap Bunda dengan cemberut. “Ke kamar mandi, Bun.”

“Awas ya, kalau beneran kabur. Bunda usir kamu dari rumah. Sana ke kamar mandi.”

Aku berdecak. Bundaku memang galak dan tegas. Tidak seperti Abi yang lemah lembut dan selalu pengertian kepada dua putrinya. Meski begitu, aku tetap menyayangi kedua orangtuaku itu.

Aku berjalan menuruni tangga menuju kamar mandi restoran yang berada di lantai satu. Namun, saat hendak menuruni tangga, aku dibuat heran dengan beberapa orang berpakaian batik dan berbadan tegap, tengah berdiri di tangga, seolah tengah menunggu kedatangan seseorang.

Siapa? Aku? Atau, ada tamu penting?

Aku hendak terus turun, tapi salah satu dari mereka menghentikanku.

“Maaf, Mbak. Mohon tunggu sebentar. Bapak Tama dengan keluarga akan naik lebih dulu.”

“Bapak Tama? Bapak Gubernur kita, Pak?”

“Benar, Mbak.”

Aku manggut-manggut mengerti, dan memilih diam di ujung tangga. Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat rombongan Bapak Gubernur itu dengan istrinya tengah berjalan menaiki tangga. Tidak lama kemudian, seorang lelaki dengan kemeja berwarna navy, dengan rambut diikat di belakang, menyusul di belakang mereka.

Aku termenung. Jantungku berdebar begitu cepat. Mataku memanas tanpa kusadari. Dia, dia orangnya. Dia adalah Nareswara Adiatama. Lelaki yang sampai sekarang masih menguasai semua tempat di hatiku.

Hampir empat tahun tidak bertemu, membuatku seemosional ini melihatnya kembali. Dia terlihat berbeda dengan rambut panjang yang diikat itu. Dia terlihat baik-baik saja.

Aku segera membalikkan badan ketika Nares melewatiku. Setelahnya, aku kembali menoleh, menatap punggungnya yang terlihat kokoh itu berjalan menjauh.

Tak mau menangis di tempat umum. Aku segera berlari kecil menuruni tangga menuju kamar mandi. Hatiku penuh. Dengan rasa rindu. Dengan rasa benci. Dengan aku yang menyalahkan diriku sendiri.

Sepuluh tahun. Sudah hampir sepuluh tahun. Dan, sialnya rasa ini tidak pernah berubah sedikit pun untuk Nares. Entah aku yang terlalu bodoh, atau memang Tuhan yang sengaja membuatnya seperti ini?

***

Entah berapa lama aku berada di kamar mandi. Aku tidak peduli dengan orang yang akan dijodohkan denganku itu. Aku harus menenangkan diri, dan bersikap biasa. Aku tidak boleh membiarkan diriku dipengaruhi oleh Nares sebesar ini.

“Lama banget.”

Aku terkejut ketika melihat Nares berdiri di depanku, dan berkata demikian. Dilihat dari dekat, dia semakin terlihat tampan. Astaga. Aku menggeleng pelan. Apa yang barusan aku pikirkan?

Aku hendak melewatinya, tapi dia menghalangi jalanku. Matanya menyorotku tajam. Masih sama seperti dulu.

“Kamu nggak dengar aku?”

Aku masih melongo di depannya, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Apa barusan Nares berbicara denganku? Aku menoleh ke belakang. Tidak ada orang selain aku. Jadi, benar?

“Iya, aku ngomong sama kamu.”

“A-aku?” tanyaku sedikit gagap.

Nares berdecak. “Iya.”

Aku masih memandangnya tidak mengerti. Tiba-tiba muncul kembali, dan berkata seperti itu denganku. Sebenarnya, di sini siapa yang tidak waras? Aku atau Nares?

Dia kembali berdecak. Tanpa ba-bi-bu lagi, dia meraih tangaku, dan menarikku menaiki tangga. Aku melotot terkejut. Tapi, dengan pasrahnya mengikuti dia.

Aku menatap ke arah genggaman tangan kami berdua. Ini, pertama kalinya dia memegang tangaku selama hampir sepuluh tahun kami saling mengenal.

Tanganku memegang dadaku. Aku mengumpat pelan. Semoga saja Nares tidak mendengar detak jantungku yang menggila ini.

“Maaf, lama.”

Begitu dia berucap, aku kembali sadar. Nares membawaku ke meja di mana kedua orangtuaku berada.

“Aduh, maaf ya, Nares. Jadi merepotkan,” ujar Bunda sambil menatap Nares dengan pandangan menyesal.

Nares menggeleng dan tersenyum. Dia melepaskan tangannya dari tanganku, dan mendorong pelan punggungku untuk maju, yang semakin membuat detak jantungku menggila.

“Tidak apa-apa, Tante. Saya senang bertemu dengan Kayla lagi.”

Aku hanya bisa diam. Bahkan ketika Bunda menarikku untuk duduk di kursiku tadi. Aku syok. Namun, keterkejutanku tidak sampai di situ. Di depanku, Bapak Tama dan istrinya tengah duduk, dan tersenyum menatapku.

Aku menatap keduanya horor. Ada apa ini? Seseorang, tolong jelaskan sesuatu kepadaku.

Aku menoleh ke arah Abi, dan mendekatkan bibirku di telinganya. “Abi, itu Gubernur kita sama istrinya, ngapain di sini?” Aku berbisik pelan dengan mata yang masih memandang ke arah mereka.

Belum sempat Abiku menjawab, sikap Nares yang tiba-tiba saja duduk di samping istri Gubernur itu, membuatku membulatkan mata karena terkejut. Kenapa dia berani sekali?

“Boleh saya yang menjelaskan, Om?” Dia bertanya sambil menatap ke arah Abi, dan langsung dijawab anggukan oleh Abi.

Nares mengangguk, dan tersenyum. Dia menoleh ke arahku, dengan ekspresi menyebalkan yang selalu membuatku candu dan rindu.

“Lama nggak ketemu, Ay.”

Aku termenung. Dia baru mengucapkan satu kalimat. Tapi, tembok yang sudah kubangun selama ini mendadak runtuh. Dia memanggilku dengan sebutan ‘Ay’. Panggilan yang hanya boleh dia yang menggunakannya. Yang dulu selalu membuatku terbang menuju langit tertinggi, sebelum kemudian Nares juga yang menjatuhkanku dengan sakitnya.

“Aku datang bersama kedua orangtuaku-” Aku melotot mendengarnya. Bagaimana bisa Bapak Gubernur dan istirnya, adalah orangtua Nares? “Untuk melamar kamu,” lanjutnya yang membuatku hanya mampu berkedip dengan pikiran kosong. Aku terkejut. Benar-benar terkejut.

Mimpi macam apa ini? Aku harus segera bangun! Ini mengerikan! Sungguh.











26 Agustus 2020.

Follow ig : Rizcaca21

Terima kasih.

Kayla Dan NaresWhere stories live. Discover now