Alita Kamila | 2

16.7K 1.4K 37
                                    

Sudah sepuluh menit Alita menatap nominal digit tagihan berobat Ayahnya. Dia menggigit bibir bawah cemas, sebab jumlah pembayarannya jauh dari perkiraan sebelumnya.

"Permisi, Mbak. Jadi bayar nggak? Antrian di belakang sudah panjang." tegur seorang staf administrasi membuyarkan lamunan Alita.

Alita bergerak mendekati meja administrasi, "Di sini ... bisa nyicil nggak, Mbak?"

Staf administrasi itu tersenyum sopan, "Tidak bisa, Mbak. Pembayaran harus dilakukan sebelum pasien dibawa pulang."

Alita kembali bimbang, dia menghembuskan napas berat, "Tapi nggak harus hari ini, kan?"

"Bisa, tapi pembayaran akan semakin bertambah per harinya."

Walau diiringi senyum, kalimat staf wanita itu masih tidak bisa diterima hati Alita. Dia risau, memikirkan cara agar tagihan biaya bisa dibayar sesegera mungkin. Sampai Alita lupa jika adik lelakinya yang sejak tadi menunggu di kursi tunggu, melihat raut cemasnya.

"Gimana, Kak? Berapa biaya pengobatan Bapak?" tanya Wisnu sembari menyamai langkah Kakaknya menuju ruang inap Bapak mereka.

"Nggak seberapa. Kakak masih bisa bayar pake tabungan Kakak."

Seketika air wajah Wisnu berubah, "Terus buat makan sehari-hari dari mana? Kita nggak bisa mengandalkan uang tabungan Kakak terus," Wisnu memegang tangan Alita hingga langkah mereka berhenti, "mending Kakak restuin aja aku kerja part-time, biar bisa bantu biayain Bapak berobat."

Alita melihat keseriusan di wajah adiknya, ini bukan kali pertama, jauh sebelumnya Wisnu memang sudah memohon agar diizinkan kerja part-time di sebuah café milik keluarga temannya. Namun Alita menolak, dan jawabannya masih sama.

"Kamu nggak usah mikirin hal-hal kayak gini. Tugas kamu cuma belajar yang rajin biar bisa dapat beasiswa kuliah di ITB, supaya cita-cita kamu jadi arsitek tercapai." Alita mengacak-acak rambut Wisnu, sedikit gemas karena adik kecilnya kini sudah ikut memikirkan kondisi ekonomi keluarga.

"Terus Bapak bisa pulang kapan? Galih sama Cantika udah nanyain Bapak terus."

Seketika Alita teringat kabar kedua adiknya yang sudah hampir seminggu jarang dia temui. Pasalnya sebagian besar waktunya dia habiskan untuk merawat sang Bapak di rumah sakit. Padahal belum ada dua minggu dia di Jakarta.

Jauh sebelum Bapaknya divonis mengidap penyakit TBC, Alita bekerja di sebuah perusahaan percetakan ternama yang berbasis di Yogyakarta. Dia menjabat sebagai asisten sekretaris CEO di sana, dengan titel cumlaude jurusan Management Business membuatnya betah kerja selama tiga tahun. Sesekali Alita pulang ke Jakarta saat hari-hari besar nasional seperti lebaran dan tahun baru, itulah yang membuat Alita sedikit asing dengan Jakarta dan anggota keluarga yang jarang dia temui.

Dan ketika Alita mendapat kabar tentang kesehatan sang Bapak, dia memutuskan langsung resign dan memilih tinggal di Jakarta untuk menjaga dan merawat adik-adiknya, bahkan Alita sudah apply ke beberapa perusahaan agar bisa menutupi beban hidup keluarganya serta membiayai pengobatan Bapaknya.

"Kakak bakal cari kerja besok biar bisa bawa Bapak pulang."

Wisnu makin memperkuat genggamannya sesekali dia mengelus punggung tangan Alita dengan tangan kirinya, "Aku senang Kakak di sini. Aku berasa lagi ngobrol sama Ibu."

Alita menarik senyum manisnya, "Kakak selalu siap jadi Ibu buat adik-adik Kakak."

*****


Rebahan dan main ponsel menjadi kegiatan favorit Cantika di akhir minggu, seperti yang sedang dia lakukan sekarang. Apalagi hari ini dia tidak mendapat gangguan dari siapapun, kedua Kakaknya sedang ada di rumah sakit, dan Galih sedang bermain di luar. Ditambah camilan tersedia di dapur. Hhh ... rasanya Cantika ada di surga sekarang, jika dia punya kekuatan, dia ingin menghentikan waktu supaya bisa menikmati saat-saat seperti ini lebih lama lagi. Setidaknya satu jam lebih lama sebelum suara Kakak tertuanya merusak ketenangannya.

"Cantika Ambarwati!" tegur Alita setelah melihat keadaan rumah begitu berantakan, bungkus makanan ada dimana-mana, membuat kepalanya pecah seketika.

"Aduh Kak, bisa nggak manggilnya biasa aja. Telinga aku masih normal kok." balas Cantika dengan mata yang masih terfokus pada ponsel di tangannya.

"Kamu tuh bukannya beresin rumah, malah main hape," Alita meletakan tas besar berisi pakaian kotor Bapaknya lalu memungut sampah bungkus makanan, "jadi cewek itu harus bisa beres-beres rumah. Kalo udah nikah, kamu harus jadi Ibu rumah tangga yang sigap."

"Zaman sekarang banyak yayasan penyalur pembantu, jadi aku bisa tetep santai-santai."

"Iya kalo kamu dapat suami kaya, kalo enggak?"

"Nah! Makanya dari sekarang aku udah cari banyak cowok kaya raya," Cantika berganti posisi jadi duduk, "bahkan aku udah dapat cowok yang bisa bantu bayarin biaya pengobatan Bapak."

Alita mendekat kemudian mengambil paksa ponsel Cantika, "Coba sini Kakak lihat."

"Ish! Kakak apa-apaan sih! Balikin hape aku." belum sempat Alita membaca percakapan itu, Cantika sudah lebih dulu merebut benda pipih itu dengan wajah kesal.

Alita tak terima, dia berkacak pinggang menatap wajah adiknya yang sudah memasuki masa pubertas itu, "Harusnya Kakak yang marah di sini. Kamu nggak bisa percaya orang asing begitu aja, siapa tau cowok itu cuma mau nipu kamu."

"Enggak! Dia baik kok pernah bayarin makanan aku, ganteng pula. Pokoknya tipe idaman aku banget."

Alita berdecih meremehkan, dia sudah akan membalas ucapan Cantika ketika tiba-tiba suara Galih terdengar.

"Kakak!" panggil Galih sembari berlari ke arah Alita.

"Kamu dari mana? Kok muncul dari pintu rumah?" tanya Alita saat Galih tiba di dekatnya.

"Aku habis main bola sama temen." jawab anak laki-laki berumur tujuh tahun itu.

"Udah bilang sama Kak Cantika?"

"Udah kok. Iya, kan, Kak Cantika?" Cantika berdeham membenarkan.

"Ya ampun, Cantika. Kakak, kan, bilang tolong jagain Galih. Masa Galih main, nggak kamu awasin sih?"

"Kakak kenapa sih? Tugas aku bukan cuma jagain Galih, aku juga butuh waktu me time."

Setelahnya Cantika pergi menuju kamar dan membanting pintu sekeras mungkin untuk melampiaskan kekesalannya.

Alita hanya bisa menghembuskan napas berat, dia sudah terlalu lelah mengurus Bapaknya di rumah sakit, dan sekarang dia juga harus menghadapi sikap labil Cantika di masa pubertasnya.

"Kak," Alita menundukkan kepala melirik Galih yang menarik bajunya, "Galih gapapa kok main sendiri. Galih, kan, udah gede jadi nggak perlu diawasin lagi."

Alita berjongkok lalu mengusap kedua pipi Galih, dia tersenyum melihat adik bungsu yang dulu masih sering dia gendong kini sudah bisa mengatakan kalimat menyentuh itu.

"Oh ya? Emang umur Galih sekarang berapa?"

Terlihat Galih menghitung menggunakan jemarinya, hingga anak itu menatap Alita sembari memperlihatkan ketujuh jarinya.

"Tujuh tahun, Kak."

"Oh iya ... kalo gitu kamu juga harus bisa makan dan mandi sendiri sekarang."

"Siap!" lalu Galih pamit ke kamar mandi setelah mengambil handuk dari tempatnya.

Alita kembali berdiri, dia mengambil sapu untuk membereskan rumah sebelum dia menyiapkan baju-baju bersih dan kembali ke rumah sakit.

*****

Jadi beginilah kisah hidup seorang Alita, cewek cantik yang menjadi tulang punggung keluarga.

Gimana? Apakah ada komentar dari kalian mengenai kehidupan Alita?

Maaf ya kalo part kali ini pendek, soalnya masih berusaha bangung mood menulis, semoga ceritanya gak aneh ya, semoga masih bisa kalian nikmati✌✌😁

I blue ya💙
Dari Mawar biru yg stuck tapi tetep maksa nulis🙈🙈

Tata dan Surya ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang