Piece #36: Maafkan Aku

1.1K 91 5
                                    

Barina tersadar. Bius perlahan mulai hilang. Saat membuka mata, matanya menangkap sosok keenam sahabatnya. Mereka semua memasang wajah sedih. Barina berkerut kening dan menatapi wajah mereka satu persatu dan berakhir di wajah seseorang yang berdiri di depan pintu. Dia terheran. Tidak ada satupun dari mereka yang mengekspresikan kebahagiaan. "Kalian semua kenapa nangis?" Pertanyaan itu menyadarkan mereka dan segera menyeka air mata masing-masing.

"Lo udah sadar, Bar." Alexa menghampir wanita itu lalu menoleh ke arah pria yang berdiri di depan pintu yang juga tengah menyeka air mata. Alexa menekan tombol panggilan ke bagian perawat.

Tidak lama seorang perawat dan dr. Stephanie datang, memeriksakan kembali kondisi Barina. Mereka yang duduk di sekitarnya menjauhkan diri dari ranjang Barina. Darma, Nita, Arti, Marina dan Barata ikut masuk ke dalam kamar, memastikan kondisi Barina baik-baik saja.

"Anak saya mana, Dok?" tanya Barina kepada dr. Stephanie.

Dokter itu hanya tersenyum sambil memeriksakan kondisi pasiennya. Di sisi lain Doni menghela napas panjang dan menyiapkan diri untuk menghadapi respon istrinya. Dokter itu menoleh ke arahnya lalu menyapu pandangan ke masing-masing orang yang ada di sana. Doni segera menghampiri istrinya lalu menggenggam tangannya.

Dokter itu melihat ketidaksiapan Doni untuk menyampaikan berita menyakitkan ini ke Barina. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk menyampaikannya. Kemungkinan jika dirinya yang menyampaikan, pasien dapat memehami meskipun berat. Dengan sangat hati-hati dia menyampaikan kepada Barina. Duagaannya benar, Barina merespon dengan ketidakterimaannya. Wanita itu histeris dan tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Dokter itu memerintahkan perawat untuk membawa bayinya untuk dipertemukan dengan ibunya untuk terakhir kali.

Ketika perawat kembali dengan bayi yang sudah terkujur kaku, Barina berhenti histeris. Dengan tangan gemetar, wanita itu menerima anaknya yang sudah tidak bernapas lagi. Saat bayi itu berada di pelukannya, tangisnya kembali pecah. "Maafin Mama, Nak. Mama nggak bisa jaga kamu. Mama nggak bisa merawat kamu dengan baik. Mama nggak mau kehilangan kamu. Ratu dengar Mama, kan? Mama sayang sama Ratu." Barina mencium setiap bagian wajah bayi itu. Air matanya membasahi wajah anaknya. Melihat ini, Doni sungguh tidak sanggup. Rasanya dia ingin melepaskan kesedihannya juga. Nita kembali menenggelamkan wajah ke pelukan Darma. Keenam sahabatnya tak kuasa menahan air mata. Kini Alexa ikut menangis. Dia tidak tega melihat sahabatnya menjadi serapuh ini. Marina dan Barata mendekati anaknya, mencoba menenangkan.

Perawat mengambil jasad bayi itu dengan berat hati lalu meninggalkan ruang inap itu. Tangis Barina semakin pecah. Jiwanya kosong. Histeris. Marina memeluk anak perempuannya dan mencoba menenangkan. Dia sangat memahami apa yang Barina rasakan.

Doni benar-benar tidak kuasa lagi bersikap sok tegar. Dia keluar dari kamar itu dan menangis sejadinya di luar kamar. Dia tidak mau istrinya melihatnya rapuh. Doni menjatuhkan diri di kursi tunggu yang ada di lorong kamar itu. Dia membungkukkan badan. Menenggelamkan wajah di kedua telapak tangan. Menahan agar suara isaknya tidak mengangganggu orang lain. "Kenapa aku harus rasain ini lagi, Tuhan? Apa masa laluku nggak cukup untuk mengujiku?" isaknya.

Tidak lama Nita dan Darma keluar dari kamar dan duduk di sampingnya. Mereka berusaha menguatkan anaknya. "Ikhlasin, ya, Nak." Nita membelai rambut anak laki-lakinya.

"Maaf, Ma. Aku nggak bisa jaga cucu Mama."

Nita tidak menjawab. Dia menarik anaknya ke dalam pelukannya. Terselip doa untuk ketabahan pria ini. Dia tidak mau Doni jatuh seperti beberapa tahun lalu. "Masuk sana! Tenangkan istri kamu!" Nita melepaskan pelukannya lalu menyeka air mata yang tersisa di wajah anaknya. "Saat ini, kalian harus tetap bersama. Kuatkan dia!"

Doni menurutinya. Dia beranjak dari kursi dan kembali ke kamar dengan langkah lunglai. Di dalam kamar, Barina memandangnya yang masih berdiri di depan pintu. Tatapannya itu menyayat hati Doni. Dengan langkah perlahan, dia mendekati istrinya lalu memeluknya.

Barina sedikit tenang dalam pelukan Doni. "Maafin aku," isaknya.

Air mata Doni nyaris jatuh. Dia mendongak agar air mata itu tidak jatuh.

"Proses pemakamannya kapan?" tanya Barata.

Marina langsung melempar pandangan sinis ke suaminya.

"Maksud Bapak, bersedih boleh tapi jangan berlebihan. Anak dan harta adalah milik Allah. Sudah sepatutnya kembali. Kita hanya bisa sabar menghadapi setiap ujian. Jangan sedih berkepanjangan. Selain tidak baik untuk kesehatan, menangisi berkepanjangan kepergian yang sudah tiada membuat kita menjadi tidak ikhlas." Barata berusaha menjelaskan agar tidak salah paham. Dia berdeham. "Bapak dan ibumu juga pernah merasakannya. Bukan sekali. Apalagi kami menginginkan anak sudah lama. Ketika diambil rasanya dunia ini runtuh. Kami bersedih dan saling menyalahkan tapi bukan berarti kami harus bersedih berkepanjangan. Kami harus bangkit dan memperbaiki kesalahan. Apa yang salah dengan kami. Kami periksakan dengan baik." Barata mengusap punggung anaknya.

"Besok pagi, Pak. Secepatnya lebih baik." Doni menjawabnya.

"Tapi Barina belum boleh pulang," sanggah Marina.

"Nggak apa-apa, Bu. Dimakamkan secepatnya lebih baik," sahut Barina dengan suara parau. Salah satu tangannya melingkar di pinggang suaminya.

"Ya, sudah. Kami persiapkan tahlilannya, ya." Barata mengajak Marina untuk keluar. Sesampainya di luar ruangan, mereka mendiskusikan hal tersebut dengan orang tua Doni. Nita menyarankan agar tahlilan diadakan di rumahnya karena ada yang mengurus yaitu asisten rumah tangga, termasuk soal tempat pemakaman. Nita meminta Marina dan Barata untuk tidak perlu memikirkan hal itu.

Saat mereka tengah membicarakan hal tersebut, Bono, Nura, Yuni dan beberapa karyawan tiba di sana. Mereka dapat kabar dari Bono. Kabar ini juga mengejutkan seisi kantor. Mereka meyilakan karyawan Doni untuk masuk ke dalam. Barangkali kedatangan mereka dapat menghibur Barina.

Anak Noisy menoleh saat pintu terbuka. Enam orang masuk dengan masih berpakaian kerja. Noisy menebak bahwa mereka ini adalah karyawan Doni. Mereka memberi ucapan bela sungkawa. Barina dan Doni saling melepaskan pelukan dan Nura menyambar memeluk mantan rekan kerjanya dan disusul Yuni sambil mengelus punggung dan bahunya. Tak disangka, Nura ikut menangis.

"Semua yang ada di dunia ini milik Tuhan. Lo yang ikhlas, ya," ujar Nura di dekat telinga Barina.

Barina mengangguk. "Insya Allah."

Mereka menyudahi pelukan itu lalu Nura menoleh ke atasannya. "Pak Doni juga, ya." Baru kali ini Nura merasa berani menasehati atasannya. Biasanya, dia merasa segan jika bertatapan Doni. Entah kenapa kali ini dia mampu berbicara layaknya ke teman dekat. "Maaf, Pak." Nura tersadar. Dia menunduk. "Maaf, Pak, saya udah sok nasehatin."

Doni menarik ujung bibirnya sedikit. "Tidak masalah, Nura. Terima kasih, ya."

"Nanti tahlilan di rumah, Pak?" sambar Bono.

Doni mengangguk.

"Boleh kami datang?" tanya Yuni.

Doni mengangguk sedikit. "Datanglah! Doakan Ratu."

Nura mengernyit. "Ratu?"

"Anak kami dinamakan Ratu." Barina menjawab.

"Kami pasti datang dengan yang lain. Bapak dan Ibu jangan sedih berlarut, ya. Semua rumah tangga ada ujiannya. Ujian untuk rumah tangga Pak Doni dan Ibu adalah kehilangan buah hati. Yang penting kalian saling mendukung." Bono sudah biasa memberi nasehat dan petuah kepada Doni.

"Terima kasih. Doakan kami, ya, bisa melalui ini semua." Suara Doni mulai merendah.

-----
Terima kasih sudah membaca.

The Pieces of Newlywed Life (Sekuel Thirty Sucks)Kde žijí příběhy. Začni objevovat