Piece #12: Perempuan dari Masa Lalu

1.5K 109 4
                                    

Sebulan sebelum bulan madu, Barina dan Doni menyelesaikan pekerjaan dengan kecepatan ekstra agar saat bulan madu mereka tidak terbebani oleh pekerjaan. Pengurusan visa juga sudah diurus oleh orang kepercayaam keluarga Doni yang biasa mengurus perihal tersebut.

Barina membuat daftar bawaan untuk dibawa ke Swiss. Dia ahlinya membuat perencanaan. Mereka juga sudah membeli beberapa perlengkapan seperti baju, sepatu, jaket, syal dan lain-lain. Berdasarkan perkiraan cuaca yang mereka cari, cuaca di sana di bulan Maret masih dingin. Dalam mempersiapkan keberangkatan bulan madu ini membuat mereka lupa tentang pertikaian beberapa hari lalu.

Namun, nampaknya masalah itu harus berlanjut ketika seseorang melintas masuk ke dalam kantor di jam kerja. Saat itu Nura yang menyadari kedatangan orang itu. "Bar!" serunya agak berbisik. "Bar!" panggilnya lagi diselingi desisan dari mulutnya.

Barina yang tengah sibuk mengentri data mengangkat kepala dan menoleh ke arah Nura. "Apa?" tanyanya dengan wajah datar.

"Perempuan dari masa lalu datang," ujar Nura dengan suara agak berbisik. 

Bukan hanya Barina yang terkesiap mendengar ucapan Nura, Yuni pun ikut menoleh. Mereka bertiga saling tatap. Suara ketukan sepatu berhak tinggi memecah keheningan kantor. Barina melihat seorang wanita berjalan anggun dari meja resepsionis. Wanita itu berjalan tanpa menoleh kiri-kanan sama sekali. Senyuman merekah di wajahnya seolah akan bertemu dengan seorang yang spesial. Melihat wanita itu, Barina terdiam tanpa berkedip. Dia tidak tahu harus berkata apa. Otaknya belum mengolah dengan baik apa yang harus dilakukan. 

Melihat Barina hanya terdiam, Nura mendorong kursinya dan mendarat di depan meja Barina. "Yakin bakal diam aja?" Nura memastikan. 

Yuni menepuk punggung Nura dan matanya memberi kode untuk tidak ikut campur urusan rumah tangga orang. Melihat kode itu, Nura kembali menarik kursi dan kembali bekerja. 

Barina berusaha untuk seprofesional mungkin. Dia dan Doni sudah sepakat untuk tidak membawa masalah pribadi ke dalam pekerjaan. Dia berusaha berpikir positif. Barangkali wanita itu ada proyek dengan Kak Doni, pikirnya. Dia kembali bekerja, namun semakin dipaksa untuk fokus, semakin buyar dan pikiran tetap mengarah kepada apa yang mereka lakukan berdua di ruangan. Ada keinginan terlintas untuk berdiri di depan ruangan Doni atau berpura-pura masuk ke ruangan sekedar meminta tanda tangan, tetapi rasanya terlalu berlebihan. Barina memang bukan tipikal wanita pencemburu, tetapi dia tidak rela jika masa lalu suaminya terusik kembali. Mereka sudah bahagia. 

Di saat Barina sedang memikirkan cara untuk mencari tahu apa yang terjadi dengan Doni dan wanita masa lalunya, telepon di meja berdering, sebuah telepon interkom dari ruangan Doni. Dia mengangkatnya tanpa berkata. Dari sambungan telepon itu, terdengar suara Doni dan wanita tadi. 

"Ada apa ke sini?" tanya Doni dengan nada datar.

"Ketemu kamu, dong. Nggak boleh?" jawab wanita itu dengan nada sedikit manja. Mendengar suara wanita itu membuat Barina berdecak kesal. 

"Urusan kita sudah selesai. Mau apa lagi?" Doni mendelik telepon yang disimpan terlentang, di balik meja panjangnya. 

"Aku mau kita balikan, Don. Aku masih ...." ucapan wanita itu dipotong oleh Doni.

"Nggak bisa, Maya. Aku sudah menikah dan aku sudah bahagia dengan istriku," ujar Doni dengan muka datar. Mendengar ucapan lelaki itu, ujung bibir Barina tertarik sedikit. Dia senang mendengarnya. 

"Aku tahu kamu udah menikah. Wanita itu, kan, yang rebut kamu dari aku. Perebut pacar orang," kesal Maya. Barina tertunduk mendengar ucapan Maya. 

"Dengar, ya, Maya. Selama kita berhubungan, aku setia sama kamu. Nggak ada sedikit pun aku mendua dari kamu. Tapi apa balasannya? Usaha aku meyakinkan orangtua kamu malah berbalas sakit hati. Aku berusaha dengan hubungan kita, tetapi kamu enggak. Percuma kalau berusaha sendiri. Kamu juga yang mengakhiri hubungan kita, bukan aku," jelas Doni. 

"Aku bicara seperti itu karena lagi emosi. Aku menyesal. Aku nggak mau menikah dengan dia," ucap Maya dengan suara parau. Dia menangis.

Mendengar Maya menangis membuat Barina kesal. "Cari perhatian," lirih Barina dan membuat Nura dan Yuni menoleh serta saling berpandangan. 

"Dengar Maya, sampai kapanpun urusan kita sudah selesai. Aku mencintai istriku. Aku menyayangi dia. Dia wanita yang sangat terhormat. Aku nggak akan pernah mengkhianati dia. Jadi, tolong jangan pernah lagi datang ke sini atau ke keluargaku. Keluargaku juga sudah kecewa dengan kamu." Terdengar napas berat Doni. "Pintunya di sana." Dia menunjuk pintu untuk meminta wanita itu pergi.

Barina tersenyum mendengar ucapan suaminya yang terus memuji dirinya. Memang tidak sepatutnya dia mencurigai Doni. Lelaki itu memang lelaki setia. Barina harus mulai kembali memberi kepercayaan. Mendengar derit pintu, Nura, Yuni dan Barina menoleh bersamaan. Mereka melihat wanita itu berjalan gontai dengan suara ketukan sepatu yang melambat. Barina terpikirkan sesuatu. Dia menutup teleponnya dan beranjak dari kursi. "Tunggu!" Dia berdiri beberapa langkah di belakang Maya. 

Maya membalikkan badan. 

Barina menelan ludah dan mengumpulkan keberanian. "Saya tau kalau Mbak Maya nggak bisa dihapus dari masa lalu suami saya. Tapi, sekarang Kak Doni adalah suami saya. Saya berkewajiban untuk melindungi dia dari masa lalunya yang pahit. Saya nggak mau dia terpuruk lagi."

"Lo nggak tau apa-apa tentang masa lalu dia dan gue," ujar Maya dengan sinis. 

Barina tersenyum. "Benar. Saya nggak tau apa-apa tentang masa lalu kalian, yang saya tau Kak Doni sempat frustasi di masa-masa itu. Saya nggak mau dia merasakan itu lagi. Lagi pula apa kata orang kalau Mbak Maya mendekati pria yang sudah beristri. Jadi, tolong jangan dekati Kak Doni lagi. Sedikitpun saya nggak akan membiarkan siapapun merusak kebahagiaan kami." Barina terdiam sejenak.

Doni berdiri di balik pintu yang sedikit terbuka setelah menutup telepon. Dia melipat kedua tangannya di depan perut sambil tersenyum mendengar perkataan Barina.

"Kalau Mbak Maya punya harga diri, tolong jauhi suami saya. Saya meminta dengan sangat," lanjutnya.

Tanpa bicara dengan wajah kesal, Maya membalikkan badan lalu pergi begitu saja dengan langkah cepat. Ada rasa penyesalan sudah datang menemui Doni, hanya mendapatkan malu. 

Seperginya Maya, Barina menghela napas panjang. Tangannya terasa dingin, degup jantungnya terasa cepat. Dia tertunduk, mengatur napas. Seluruh karyawan menjadi terdiam melihat kejadian ini. Mereka seperti sedang menonton sebuah konflik drama percintaan. Namun, mereka setuju dengan sikap yang diambil Barina. Bagaimanapun juga mereka tahu betul bagaimana sikap Maya selama menjadi kekasih atasannya. Menurut mereka, Barina masih lebih normal dan menghargai orang lain meskipun sudah menjadi istri seorang bos. Berbeda dengan sikap Maya yang kerap melempar pandangan merendahkan kepada mereka. 

Doni kagum dengan Barina. Dia berani untuk speak up. Melihat istrinya mematung, ingin rasanya mendekati dan menggengam tangannya agar dapat memberi ketenangan, namun tidak mungkin melakukan itu di kantor. Sewaktu dia membalikkan tubuh, hendak kembali ke kursi, pikirannya berubah. Lelaki itu menghambur keluar dan menggenggam tangan Barina lalu menariknya ke ruangan. Doni tidak tahan untuk tidak segera memeluk istrinya. 

Mendapat perlakuan mendadak dari suaminya, Barina hanya terdiam saat lelaki itu memeluknya. "Maaf, aku nggak ...."

"Terima kasih, ya," potongnya. "Apa yang kamu lakukan tadi, makasih. Aku bangga sama kamu. I love you." Doni mengeratkan pelukannya. 

Barina tersenyum. Dia melingkarkan tangannya di pinggang Doni. "I love you more."

-------

Keren Barina berani speak up demi rumah tangganya.

Terima kasih sudah membaca.

The Pieces of Newlywed Life (Sekuel Thirty Sucks)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora