Piece #32: Kepingan yang Sulit Hilang

1K 88 8
                                    

Semenjak pertemuan yang tidak diduga itu, Doni menjadi banyak melamun. Perubahan itu membuat Barina bingung. Beberapa kali pria itu tidak merespon setiap diajak ngobrol oleh Barina. Sikap itu membuat Barina menjadi tidak nyaman. Awalnya, dia memahami perubahan itu dan mencoba memahami masa lalu suaminya meskipun sulit. Namun, lama-kelamaan dia pun mulai tidak sanggup karena setiap Doni terjebak dengan kenangan masa lalu, Barina merasa terlupakan.

Barina pernah membaca dari sebuah buku bahwa kepingan masa lalu sangat sulit untuk dihilangkan. Apalagi kenangan itu sangat berarti, bermakna atau bahkan mempengaruhi kehidupan seseorang. Meskipun suaminya pernah mengatakan bahwa dia tidak peduli dengan masa lalunya dan lebih memedulikan masa depan bersama istrinya saat ini, Barina tetap merasa ada yang menjanggal di dalam batin suaminya. Entah apa itu. Dan, kini Barina tahu. Kebencian yang mendalam.

Orang pernah bilang bahwa perbedaan benci dan cinta itu tipis. Sangat tipis. Orang yang membenci, dulu pernah saling mencintai, begitupun sebaliknya. Ironi memang, namun kenyataan itu tidak dapat dielakkan begitu saja. Bukti nyatanya sudah ada di depan matanya. Barina yakin, suaminya kini tengah mengingat kepingan-kepingan yang tersisa di ingatan bawah sadarnya.

Barina jadi serba salah dengan situasi ini. Meskipun mereka duduk berdua, ngobrol, tertawa, dia merasa saat itu pula kesadaran dan ingatan Doni tidak bersamanya, melainkan dengan masa lalunya. Sulit dipahami memang, tetapi begitulah yang dirasakan Barina. Kini, dia berada di situasi sulit. Setegar apapun karang jika terus diterjang ombak akan pecah juga. Begitupun perasaan. Barina tidak mau menjadi karang yang terpecah belah jika ingin bertahan dengan rumah tangga ini. Apalagi kelak ada buah hati yang akan membantunya untuk memulihkan perasaan dan ingatan suaminya. Tentunya, membungkus masa lalu pahit itu dengan kebahagiaan mereka.

"Semenjak pulang dari toko bayi, Kak Doni jadi beda." Barina membuka obrolan yang menyinggung hal tersebut saat tengah menonton televisi di ruang tengah.

Doni menoleh ke arahnya. "Beda gimana?"

Barina mengedikkan bahu. "Aku merasa begitu tapi nggak tau apa," jawab Barina tanpa menoleh.

Doni kembali menatapa televisi. Dia diam sebentar lalu berkata, "Perasaan kamu aja."

Barina tidak langsung merespon. Dia menyunggingkan senyum. "Mungkin." Dia beranjak dari sofa.

"Mau ke mana?" tanya Doni mendongak.

"Tidur." Barina memegang perutnya yang mulai terasa berat. Dalam langkah ke kamar dia berpikir kenapa masalah ini hadir di saat dirinya tengah hamil? Dia tidak ingin pikirannya mempengaruhi janin. Dia ingin menjalani kehamilan dengan bahagia. Barina bersandar di ranjang. Kakinya dimasukkan ke dalam selimut. Biasanya, Doni menyusulnya dan menyelimuti, mengecupnya sebelum tidur, namun malam ini tidak. "Wanita itu kenapa harus hadir lagi?" Barina menahan kesal. "Andaikan aku juga punya masa lalu dengan pria lain, mungkin kita akan impas. Sayangnya, aku nggak punya." Barina menggumam sendiri. Dia merebahkan tubuhnya lalu mengubah posisi tidur miring ke kanan dan berusaha tertidur agar pikirannya tenang. Setidaknya, melupakan masalah itu untuk sesaat.

Keesokan hari—saat hari masih gelap—matahari belum terbit, Barina terdiam saat membuka mata. Sang suami tengah memandangnya dengan datar. Barina mengedip dua kali. Doni mendekatkan tubuhnya lalu mengecup kening istrinya. "Maaf, ya." Dia memeluk istrinya meskipun tidak terlalu rekat karena terhalang perut besar Barina.

"Iya."

"Aku nggak tau harus gimana kemarin. Aku benci situasi kemarin."

Barina terdiam menunggu lanjutan ucapan Doni.

"Wanita itu mantan istri aku. Aku pernah bilang, kan, pernah nikah sebelumnya?"

Barina mengangguk.

"Di saat aku udah lupa, dia hadir lagi. Aku marah, kesal." Suara Doni terdengar parau.

"Kak Doni masih ada rasa sama dia?" Sebenarnya, Barina ragu untuk menanyakan ini tetapi entah kenapa lidahnya mengalir begitu saja.

"Nggak mungkin, lah. Aku malah benci sama dia."

"Jangan berlebihan membenci orang, Kak, nanti malah berbalik."

"Maksudnya?" Doni memberi jarak sehingga dia dapat melihat wajah istrinya.

"Aku takut kebencian itu malah berbalik. Kak Doni jadi ada perasaan lagi sama dia." Barina mengatakan dengan rasa takut. Dia takut suasana hati Doni tiba-tiba tidak membaik.

Doni melepaskan rangkulannya. Hal ini membuat Barina bingung. Dia mengira pertanyaanya salah. Atau, Doni menjadi tersinggung. Namun, Barina berpikir lagi, bukankah sudah sewajarnya seorang istri menanyakan hal itu?

"Maafin aku, Sayang. Gimana, ya, rasanya ...." Doni memilih cara menjelaskan yang sesuai agar tidak ada salah paham. Sekian menit dia terdiam. Barina menunggu dengan sabar sambil mengelus perutnya. "Begini, kamu bisa bayangin nggak? Kamu udah lupain seseorang yang benar-benar menyakiti kamu lahir batin sampai kamu sempat berpikir hidup kamu sampah, terus saat kamu berjuang untuk bangkit lagi dan bahagia, tiba-tiba orang sialan itu datang dan berdiri di depan muka kamu dengan muka seolah semua baik-baik aja. Bisa nggak kamu bayangin rasanya seperti apa?" Nada bicara Doni meninggi seakan tengah menekan istrinya untuk berpikir.

Barina mengikuti ucapan Doni. Dia memiringkan wajahnya sedikit memandang langit langit kamar. Saat Barina tengah berpikir, Doni meraih tangan istrinya yang tengah mengusap perut besarnya. "Maafin aku. Nada aku tinggi." Doni mengecup jemari Barina satu persatu.

"Aku paham perasaan Kak Doni." Barina mengelus pipi suaminya. "Tapi, anak yang dibawa itu bukan anak Kak Doni, kan?" Barina teringat anak laki-laki yang bersama wanita itu.

"Semoga bukan. Setahu aku, kita cerai wanita sialan itu lagi nggak hamil."

"Dari mana Kak Doni tau dia lagi nggak hamil?"

"Dia lagi datang bulan."

"Kok Kak Doni tau dia lagi datang bulan? Mau cerai kalian masih tidur bersama?" Entah kerasuka makhluk apa. Barina melontarkan pertanyaan dengam begitu ringan.

Doni memandang istrinya sesaat lalu membelai rambutnya. Wajahnya didekatkan ke telinga istrinya. Hari itu dia lagi ke toilet mau ganti pembalut.

"Kak ...."

"Hush." Barina hendak melontarkan pertanyaan lagi namun dihentikan oleh Doni dengan segera. "Jangan tanya dari mana aku tau dia mau ganti pembalut."

Barina menyeringai dan Doni menarik kedua ujung bibirnya. Dia tersenyum.

"Syukurlah, Kak Doni senyum lagi. Sekarang mandi, gih!"

Doni membangkitkan tubuhnya. "Temani, yuk!" godanya.

"Macam-macam aja Kak Doni. Perut lagi besar begini." Barina merengut.

"Dede, boleh nggak?" Doni bertanya di depan perut Barina seakan tengah meminta izin ke calon anaknya.

Barina tertawa geli. "Apa, sih? Sana mandi!"

Tanpa komentar, Doni beranjak dari ranjang dan menuju ke kamar mandi. Di depan pintu Barina memanggil namanya.

"Nanti aku ke rumah mama, ya." Barina meminta izin.

Ini pertama kalinya Barina ke rumah mertua sendiri. Doni agak kaget. "Sendiri?"

Barina mengangguk.

"Ya, udah. Nanti diantar Bono." Doni masuk ke kamar mandi setelah mengatakan itu. Sedangkan, Barina ikut beranjak dari ranjang dan menyiapkan pakaian kerja suaminya lalu keluar kamar, menyiapkan sarapan.

----
Kalau kalian jadi Doni, apa yang akan kalian rasakan? (Pertanyaan yang sama seperti dilontarkan ke Barina)

Terima kasih sudah membaca.

The Pieces of Newlywed Life (Sekuel Thirty Sucks)Where stories live. Discover now