Piece #2: Menunggu Suami

3.2K 171 8
                                    

Sore itu Barina sudah selesai mengerjakan pekerjaan. Satu persatu karyawan pulang hingga tinggal Barina sendiri. Sewaktu masih sendiri, tanpa pikir panjang, langsung menghambur pulang. Kali ini sudah bersuami. Tadi siang Doni pesan untuk menunggunya kembali dan pulang bersama. Karena itulah dia masih di kantor sendiri tanpa melakukan apapun, menunggu suaminya pulang rapat. 

Satu jam pertama mencoba isi dengan menonton drama Korea yang ada di komputer Nura. Sebelum pulang, Nura sudah memberi izin untuk bebas membuka komputernya dan menonton drama Korea sepuasnya sambil menunggu Doni. Setelah satu jam, Barina diserang rasa bosan. Berulangkali melihat jam dinding.

Barina mematikan komputer lalu turun ke bawah untuk membeli makan dan minuman di kafe lalu kembali ke kantor. Sebenarnya ingin duduk di kafe saja sambil melihat orang lalu lalang, tetapi dia takut Doni nanti mencarinya.

Barina menyambar tas dan mematikan lampu, kemudian masuk ke dalam ruangan Doni. Di sana dia duduk di kursi yang selama ini hanya atasannya yang boleh duduk di sana. "Baru beberapa hari menikah, baru kali ini gue duduk di kursi ini. Nyaman juga. Beda sama kursi gue." Barina meringis geli sambil memutar-mutar kursi itu. Dia menyapu pandangan, masih tidak percaya bisa dinikahi oleh atasannya sendiri. Dia tersenyum setiap mengingat momen romantis dengan Doni.

Barina melirik laci. Sudah lama penasaran isi laci seorang bos. Kalau laci seorang karyawan sudah paham betul, tidak jauh-jauh dari kopi saset, permen, tisu, dan cemilan lainnya. Kalau laci karyawan laki-laki biasanya ada rokok. Barina pernah melihat laci salah satu drafter ketika mencari flashdisk. "Rasanya nggak mungkin Kak Doni merokok," ucapnya saat terbayang rokok di dalam laci drafter. Keinginannya sempat maju mundur. Masih ada rasa takut untuk membukanya. Dia takut, Doni tipikal orang yang tidak suka diusik urusan pribadinya. Barina teringat ucapan Alexa yang mengatakan meskipun sudah suami istri tetap harus menghargai ruang pribadi masing-masing. Akhirnya, dia mengurungkan niat. Wanita itu bangkit dari kursi lalu beralih ke meja panjang setelah merapikan kembali kursi Doni.

Hampir setengah jam menunggu di ruangan itu tanpa melakukan apapun yang berarti, selain bermain ponsel, ngobrol dengan anak Noisy di grup, balas pesan Mega dan membuka sosial media yang sedang membuatnya gerah. Ada niat untuk mengirimkan pesan ke Doni sekedar menanyakan jam berapa tiba di kantor, tetapi dia ragu, takut pertanyaannya membuat Doni merasa diburu-buru dan menganggap dirinya istri yang tidak sabaran.

Barina melipat kedua tangan di atas meja lalu merebahkan kepala di atasnya. Perlahan semilir angin dingin dari AC memejamkan mata wanita itu. Apalagi aroma pengharum ruang membuatnya nyaman. Dia pun tertidur.

Lima belas menit terlelap, dia tidak sadar siapa yang datang. Doni tersenyum ketika mendapati istrinya terlelap di meja rapat. Dia mendekati Barina lalu mengecup kepalanya cukup lama sambil memejamkan mata, menghayati setiap perasaan. Dia menciuminya beberapa kali kemudian berkata lirih di telinga istrinya. "Aku pulang, Sayang."

Barina terbangun ketika mendengar lirihan yang dekat dengan telinga. Saat matanya terbuka, wajah Doni menyambut dengan senyuman. Cukup lama wanita itu terdiam, hanya kelopak mata saja yang bergerak.

"Kamu capek, ya, nunggu aku? Sampai ketiduran. Maaf, ya." Doni membelai pipi Barina.

Barina berdeham. Nyawanya belum terkumpul penuh. "Udah makan?"

Doni menggeleng. "Belum."

Barina menegapkan tulang punggung dan merenggangkan badan. "Aku ketiduran berapa lama?" tanyanya tanpa membutuhkan jawaban sambil melirik jam dinding.

Doni meraih dagu Barina lalu memutar wajah wanita itu ke arahnya. "Aku kangen kamu," ucapnya sambil memandang istrinya lebih dalam.

Barina tertegun mendengar kalimat mesra itu. Meskipun sering dia dengar selama menikah, entah kenapa kali ini masih diserang debar jantung yang kencang. Dia pun memandang lelaki itu. "Iyalah, Kak Doni, kan, nggak bisa jauh dari aku." Barina berusaha mengurangi debar di dada dengan menanggapi santai. "Aku tadi beli ini," dia menunjuk gelas kertas bekas kopi yang sudah kosong dan sekotak muffin, "sampai habis, tapi Kak Doni belum ...." Belum selesai Barina bicara, ucapannya dihentikan oleh Doni.

Doni mengecup bibir istrinya tanpa permisi. Bukan untuk menghentikan ocehannya melainkan menyalurkan rasa rindu agar tidak begitu menyesakkan dada.

Barina menyambut rindu itu. Dia terpejam menghayati setiap rasa yang merambat di dalam darah sehingga menenangkan jantung agar tidak terlalu berdebar. Dia ingin membagi sesak dada ini bersama suaminya. Barina melingkarkan kedua tangan di leher Doni. Tengkuk leher lelaki itu terasa hangat di tangan Barina. Tangan Doni membelai pipinya dan melingkar di pinggangnya. Ini pertama kali mereka menyampaikan rasa rindu semesra ini di kantor.

Doni memberikan jarak beberapa senti dengan wajah Barina. Dia memandang wanita itu lekat. "Terima kasih udah tunggu aku pulang. Terima kasih udah jadi istri yang sabar." Dia tersenyum lalu mengecupnya lagi dan diakhiri dengan kecupan di kening. "Pulang, yuk! Aku lapar. Kamu lapar, nggak?"

Barina mengangguk. Dia belum seratus persen kembali ke dunia nyata. Sebagian nyawanya masih terbawa suasana mesra tadi. Dia ikut bangkit dari kursi dengan tangan digenggam Doni. Dia menyambar tas. Mereka keluar kantor setelah memastikan terkunci dengan benar.

Di dalam lift, sikap manis Doni belum berhenti. Dia membenarkan rambut Barina yang agak berantakan efek tidur di meja dan tangan lainnya masih menggenggam tangan istrinya seakan tidak ingin jauh darinya. Barina tidak bisa berkata apa-apa. Dia menikmati kemesraan ini.

"Kamu mau makan apa?" tanya Doni sesaat menjalankan mobil meninggalkan gedung pencakar langit.

"Makan seafood kayaknya enak, deh." Wanita itu sudah seratus persen kembali ke dunia sebenarnya. "Dari kemarin mau makan seafood, nggak jadi terus," lanjutnya.

Doni menoleh sekejap. "Kok, kemarin nggak bilang mau makan seafood?"

"Lupa. Maunya cuma sekelebat gitu aja."

Doni mengangguk. Mobilnya terhenti di lampu merah. Matanya terbelalak. "Jangan-jangan kamu ngidam, Sayang." Dia menebak sembarang.

Barina berdesis sambil mendorong bahu suaminya pelan. "Ih, apaan, sih."

"Bukannya kalau kepengin sesuatu berhari-hari itu ngidam, ya? Jadi harus dituruti?"

"Informasi dari mana itu?" Kening Barina berkerut.

Doni berpikir. "Dari mana, ya?" Lama lelaki itu berpikir namun tidak ditemukan juga jawabannya.

"Dari mana?" Barina mengulang pertanyaan.

"Kalau benar, juga nggak apa-apa, kok, Sayang." Doni mengalihkan pertanyaan Barina. "Kalau bukan, kamu mau aku buat ngidam, nggak?" Dia terkekeh nakal sambil mengangkat kedua alisnya ke arah istrinya.

Sebenarnya Barina ingin sekali tertawa. Wajah nakal Doni terlihat menggelikan. "Kalau aku ngidam mau beli perhiasan, mobil, jalan-jalan ke luar negeri setiap minggu, bisa Kak Doni penuhi?" Kini Barina yang berbalik menggoda suaminya.

"Ngidamnya jangan yang susah-susah. Misalnya, kepengin diciumin aku, dipeluk aku, dimanja sama aku."

"Kalau itu, tanpa ngidam juga udah sering, Kak." Barina tertawa. "Ngidam itu yang aneh-aneh biasanya. Nah, permintaan tadi, kan, aneh banget, tuh."

Mereka tertawa. Obrolan macam apa ini?

Doni memutarkan setir mobil dan memarkirkannya di depan restoran seafood.

"Mari kita tuntaskan." Doni meraih tangan Barina. "Di rumah aku buat kamu ngidam." Dia berbisik di depan telinga istrinya sesaat pintu restoran dibukakan oleh seorang pelayan yang dengan ramah menyambut mereka.

"Masih aja dibahas."

Doni mengulum senyum. Dia memang senang menggoda istrinya.

------

Terima kasih sudah membaca potongan kehidupan mereka, ya, Barina-Doni Squad 🙏

❤️❤️

The Pieces of Newlywed Life (Sekuel Thirty Sucks)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang