RENDY ATAU SATRIO

83 7 1
                                    

Aku cemberut, kulipat gaun berwarna peach itu dan menyerahkannya pada Satrio.

"Kode alam. Gaunnya tidak muat untukku. Silahkan bawa pulang." Kataku pelan, kemudian membalikkan badan.

"Tunggu, Mel. Maafkan aku. Aku masih punya hadiah yang lain lagi. Kalau yang ini pasti muat." Satrio tersenyum.

Aku menghentikan langkah, menoleh. Waktu seakan terhenti. Angin semilir yang masuk melalui pintu dan jendela ruang tamu menggerakkan anak rambutku. Seperti adegan slow motion di drama korea. Satrio lekat memandangku.

"Apa??" kataku setelah sekian menit menunggu dan leher terasa pegal menoleh tapi lelaki itu masih diam membisu.

"Oiya, maaf." Jawabnya sambil menggaruk kepalanya. Lelaki itu merogoh kantong bajunya. Ia nampak mencari-cari sesuatu.

Saat itu tiba-tiba muncul seorang perempuan cantik di depan pintu.

"Assalamualaikum."

Panggilan salam yang membuatku tak hanya menoleh tapi langsung membalikkan badan.

"Renata." Ucapku lirih.

"Walaikumsalam." Jawab ibu dan Merry hampir bersamaan.

"Aduh." Suara Satrio sambil menepuk dahinya.

Aku bergegas menghampiri gadis berkerudung biru itu.

"Walaikumsalam. Renata, mari masuk." Kusalami adik Rendy itu dan menyuruhnya masuk. Ia tersenyum dan mengikutiku ke ruang tamu.

"Silahkan duduk." Ucapku. Gadis itu mengangguk.

"Mel, sepertinya hadiahku ketinggalan. Aku pulang dulu nanti kembali lagi ya." Wajah Satrio seolah menyesalkan sesuatu.

"Oke." Jawabku tak acuh.

Lelaki itu pergi bergegas.

"Apa kabar?" Aku berbasa-basi untuk mencairkan suasana.

Merry dan Ibu meninggalkan kami.

"Alhamdulillah baik, Kak. Kakak sendiri bagaimana? Kok terlihat pucat." Ucapnya.

"Owh iya, Alhamdulilah baik. Mungkin kelelahan saja." Jawabku.

Mungkin ini karena efek kelelahan mempersiapkan pernikahan Yudi serta pengaruh diet tak teratur yang beberapa minggu ini aku jalani. Meski belum terlihat ada penurunan bobot tubuh tapi Mona tetap bersemangat mengawasi dietku.

Ada ruang senyap yang menyelimuti diantara aku dan Renata. Pikiranku mencari-cari bahan pembicaraan untuk mengusir sunyi.

"Rendy."

"Bang Rendy."

Kami berucap hampir bersamaan, menyebut nama Rendy.

"Eh Abangmu, apa kabar?" Kataku gugup.

"Alhamdulillah baik, Kak. Tadinya Abang ingin turut serta kemari, tapi.. ." Renata menggantung kalimatnya.

Aku menunggu.

"Maafkan Rey ya Kak. Telah sempat berprasangka tak baik terhadap Kak Meldy." Perempuan itu menatap. Aku mengernyitkan dahi.

"Aku sempat tidak suka saat Abang terlihat dekat dengan kakak sewaktu di rumah sakit dulu." Ada tatapan penyesalan.

"Selama ini Abang tidak pernah berbincang akrab dengan perempuan. Aku cemburu dan takut untuk menjadi jauh darinya nanti."

"Aku masih ingin menemukan jalan agar penglihatan abang sembuh. Dan itu menjadi obsesi. Obsesi seorang gadis kecil yang ingin ditemani abangnya bermain." Renata menitikkan airmata.

Single AvailableWhere stories live. Discover now