V I O L E T

95 9 5
                                    

Aku meninggalkan Haikal yang sedang tertidur dipangkuan Satrio. Beruntung sekali Naya memiliki orang yang menyayanginya dengan tulus. Satrio memperlakukan Haikal dengan sangat baik dan penuh perhatian.

Kususuri lorong rumah sakit yang dihias bunga kertas warna-warna disebelah kanan kirinya. Sampai pada sebuah bangunan besar bertulis Violet aku menghentikan langkah. Aku menghela nafas panjang menepis keraguan dan keengganan.

Saat kumasuki ruangan tanpak kamar yang berderet-deret laksana hotel. Violet adalah ruang perawatan VVIP. Langkah ini terhenti saat melihat penanda angka 10 pada salah satu pintu kamar.

Kuberanikan diri mengetuk. Tak ada jawaban. Kuulangi sekali lagi. Sepi. Kuucap salams sambil mendorong pelan pintu yang sedikit terbuka.

Nampak Rendy tertidur diatas pembaringan. Jantungku berdegup kencang. Kaki ini lemas dan kehilangan kekuatan untuk melangkah. Aku terpaku, hanya menatap pada pembaringan yang terletak ditengah ruangan.

Lelaki itu tidur dengan mata diperban. Nafasnya teratur dan tenang. Kuupayakan melangkah mendekat meski susah payah melangkah. Saat jarak antara pembaringan dan tempatku berdiri tersisa 2 meter, aku kembali diam.

Duh, Meldy kamu ngapain sih ada disini? Rendy tidak akan mengingatmu. Pergi saja.

Mulutku berdecak. Kuputar badan dengan terburu-buru agar bisa pergi secepatnya.

Krompyang.

Suara nyaring sebuah nampan makanan terjatuh. Isinya berhamburan dan mengotori lantai.

Ya Tuhan. Aku meringis hampir menangis.

"Renata?" Suara berat Rendy menyapa.

Aku diam. Rasanya aliran darahku terhenti seketika. Tenggorokan ini tercekat.

"Re? Kok diam saja?" Rendy menyibakkan selimutnya berupaya bangun.

Aku semakin meringis, harus kujawab apa.

"Hallo, ada orang diruangan ini?" Lelaki itu hendak memijak lantai. Tanganku bergerak cepat menyingkirkan pecahan gelas yang ikut terjatuh tadi.

"Aw." Aku mengadu kesakitan saat pecahan gelas itumenggores ujung jari ini.

"Siapa?" Suara Rendy terdengar panik.

"Maaf." Kataku sambil menahan perih.

"Siapa?" Suara Rensy tegas.

"A-aku Meldy." Ucapku pelan.

"Meldy? Perawat? Seingatku tak ada perawat di gedung ini bernama Meldy." Rendy berusaha turun dari tempat tidur.

Aku menghampiri untuk membantunya.

"B-bukan, aku bukan perawat. Kita pernah bertemu di bandara beberapa bulan lalu." Kataku sambil membantu Rendy duduk disamping tempat tidurnya.

Rendy tak merespon. Hanya terdengar suara nafasnya yang semakin cepat. Aku melepaskan peganganku pada lengannya. Berdiri agak menjauh. Entah apa yang dipikirkan lelaki itu.

"Ren, kamu baik-baik saja?" Tanyaku pelan setelah beberapa saat kami hanya saling diam.

Dia mengangguk.

"Tadi pagi aku bertemu Renata dikantin. Lalu ia memberiku nomor kamar ini. Dan aku mengunjungimu disini. Tapi saat aku masuk kamu sedang beristirahat jadi aku bermaksud keluar agar tak mengganggu tidurmu." Penjelasan yang kuutarakan untuk menghilangkan kekikukan kami berdua.

"Tekan tombol perawat, minta mereka membereskan tumpahan makanan dilantainya." Rendy berupaya meraba dan meraih tombol yang ada disamping tempat tidurnya.

Single AvailableWhere stories live. Discover now