P U J I AN

119 5 0
                                    

"Ayo, Kak. Aku bisa terlambat ni." Merry menggedor pintu kamarku. Ya Tuhan, rambutku belum juga dicatok, si krucil itu sudah teriak-teriak.

"Kak. Sudah jam setengah tujuh." Suaranya timbul tenggelam didepan pintu. Pasti dia sibuk hilir mudik antara kamarnya dan ruang tengah.

Aarrggg, setiap pagi selalu begini. Sudah kukatakan pada ibu untuk mengijinkan Merry membawa motor ke sekolah, agar tidak merepotkanku. Tapi Ibu tak pernah setuju dan memintanya membonceng padaku setiap pagi.

"Kaaak.." Ia kembali berteriak dari ruang tamu.

Ya Tuhan, alisku. Bagaimana ceritanya bisa sinkron kanan kiri kalau Merry teriak-teriak mulu.

"Lain kali naik ojek aja. Kakak masuk kerja masih jam 7.15. Ini kepagian." Selorohku sambil menjinjing sepatu ke ruang tamu.

Merry manyun, "Bilang sama ibu. Emang Kakak doang yang keberatan kita berangkat bareng tiap pagi. Habis suara Merry tiap hari teriak-teriak." Ia ngeloyor pergi.

Aku segera menyalakan mesin motor matic merah. Merry naik membonceng dibelakang, sepertinya masih dengan perasaan kesal.

Jarak dari rumah ke sekolahnya hampir 10 Km. Namun karena ini kota kecil dan tidak ada macet,waktu tempuh hanya sekitar 15 menit. Sedangkan letak kantorku bisa ditempuh hanya dalam waktu kurang lebih 10 menit.

Sepanjang perjalanan kami lebih banyak diam.

"Tin..tin..tin" Suara klakson mengagetkanku yang sedang menunggu traffic light berwarna hijau.

"Hei, Roi." Merry menyapa centil pada lelaki yang menjajari motorku. Aku menoleh kearahnya. Wah motornya keren banget. Tampangnya juga lumayan. Gaya cool khas anak SMA yang lagi caper.

"Bareng aku aja, Mer." Sahut cowok bernama Roi itu. Dilihat dari bet yang melekat dibahu bajunya, dia satu sekolah dengan Merry.

"Takut ada yang marah." Merry menjawab dengan kenes.

"Enggaklah. Ayo naik." Roi memperbaiki krah bajunya. Wuih, berasa kayak nonton aktor tampan playboy ala sinetron lo.

"Yakin?."

"Udah, naik aja. Aman."

"Oke." Merry buru-buru turun dari motorku.

"Merry..merry." Aku memanggil adikku agar kembali. Lampu hijau menyala, motor Roi melaju meninggalkan kepulan asap diwajahku. Merry melambai sambil tersenyum manis kearahku.

Sial, dengan senyum semanis itu adikku pasti bisa membuat banyak lelaki klepek-klepek. Aku mendengus kesal. Kulajukan motor dengan pelan.

Jam masuk kantor masih 30 menit lagi, masih sempat untuk sarapan. Kubelokkan motor menuju warung bubur khas kotaku. Warung pinggir jalan sih, namun cukup ramai.

"Meldi." Seseorang memanggilku. Aku menoleh.

"Satrio. Kok sarapannya jauh sekali." Aku menghampiri Satrio yang tengah duduk menghabiskan buburnya.

"Iya. Ada rapat di Dinas Pertanian." Jawabnya sambil tersenyum.

"Wah, kamu gak berubah ya. Tetap manis seperti dulu." Satrio melanjutkan.

Aduh, aku manis? Rasanya sudah hampir sepuluh tahun tidak ada yang memberiku pujian seperti itu. Pipi ini menyemu merah, aku tersipu.

"Sendiri aja?." Tanyaku, canggung. Mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Sama Bapak. Sebenarnya nganterin Bapak untuk presentasi hasil uji coba pupuk buatannya di Dinas Pertanian." Satrio memperkenalkan seorang lelaki dengan rambut yang telah sepenuhnya putih. Aku tersenyum dan mengangguk, mengulurkan tangan untuk bersalaman.

Single AvailableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang