PADEPOKAN

117 10 0
                                    

Raut wajah Naya masih berkelebatan dalam pikiran, bergantian dengan Satrio. Tidak mungkin itu anak Satrio, karena jika benar pasti lelaki itu sudah bertanggung jawab atas anak Naya. Pikiranku berkecamuk antara ingin tetap berbaik sangka terhadap Satrio atau justru larut dalam prasangka buruk.

Tiba-tiba mobil yang dikemudikan Mona berhenti secara tiba-tiba. Aku tersadar dari lamunan.

"Rame begini, ada apa ya?" Mona bergumam sambil memperhatikan deretan panjang mobil dan truk yang berhenti disepanjang jalan.

"Kecelakaan?" Aku turut memperhatikan.

"Pak, ada kecelakaan ya?" Mona membuka kaca jendela dan bertanya pada seorang bapak yang melintas. Lelaki itu menoleh, "Ada pembunuhan, mbak. Mayatnya ditemukan dipinggir sungai disana. Macet, mbak. Ramai orang-orang yang menonton. Banyak polisi juga." Bapak itu menjawab sambil berlalu.

Aku dan Mona saling pandang. Kami berdua bergidik.

"Aduh, bakal lama nih macetnya." Mona menyandarkan punggungnya.

"Pembunuhan?" Gumamku meringis.

Jarak dari tempat kami saat ini dengan kantor masih jauh. Mungkin sekitar 20Km lagi. Mobil kami berhenti tepat didepan sebuah gerbang bertulis "Padepokan Linggar Jati".

Sejak kecil tinggal dikota ini, baru kali ini aku memperhatikan ada Padepokan di wilayah barat kotaku.

"Ini pesantren ya?" tanyaku pada Mona. Mona menoleh pada arah yang kutunjuk.

"Setauku bukan. Ini tempat rehabilitasi."

"Oowh, rehabilitasi apa?" Aku mengernyitkan dahi. Memperhatikan tingginya pagar yang mengelilingi area yang sangat luas itu. Ketinggian pagar yang mencapai hingga 6 Km membuatku tidak dapat melihat hal tersembunyi dibaliknya.

"Rehabilitasi jiwa-jiwa yang sakit."

"Gila?"

Mona menggeleng, "tidak hanya itu. Pecandu narkoba, stress, bahkan bisa juga terapi LGBT juga."

Aku menautkan alis, "LGBT?"

Mona mengangguk, "Aku pernah masuk kesana satu kali. Waktu mengantar ponakanku yang stress karena patah hati. Dia sering mengigau tengah malam bahkan sering mencoba bunuh diri. Lalu, keluarga mendapat info tentang padepokan ini. Kami antar dia mondok disini, dua tahun diterapi. Sembuh."

"Patah hati? Separah itu?"

"Parah banget, Mel. Bukan hanya stress tapi gila. Sering marah dan mengamuk. Menangis sepanjang hari." Mona menjelaskan.

"Memang terapinya seperti apa?"

"Enggak tahu, tapi sekarang ponakanku lebih rajin ibadahnya. Dan sudah hidup normal, sudah kuliah juga." Mona melajukan mobilnya perlahan, mengikuti arus lalu lintas yang mulai bergerak pelan.

"Bisa untuk LGBT juga?"

"Iya, katanya sih begitu. Diterapi disana. Sepertinya terapi disana lebih ke pendekatan psikologis dan spiritual."

"Oowh." Mulutku membulat.

***

"Nicho mengajakku ke Jerman, Mel." Suara Yudi terdengar pelan ditelfon.

"Untuk apa?"

"Menemani dia menyelesaikan sekolahnya. Lalu.."

"Lalu apa?"

"Mengajak menikah disana."

"Hah?" suaraku terperanjat. Gawai yang kupegang hampir terjatuh.

"Aku mau resign dari pekerjaan ini, Mel. Aku harus keluar dari lingkungan ini." suara Yudi serak.

Single AvailableOn viuen les histories. Descobreix ara