"Biar gue bisa belajar. Cewek kan suka cowok pinter metik gitar, katanya romantis." Langit menyentil hidung Lovatta setelah selesai bicara.

Meleleh sudah Lovata siang ini. Bukan hanya karena sinar mentari yang terik tapi juga perlakuan Langit. Dibalik sikap dan mulutnya yang pedas ternyata cowok itu menyimpan sisi manis yang baru Lovatta ketahui.

***

Suara ceria Kala menyambut Lovatta dan Langit di kantin. Di sana juga sudah ada Senja yang tersenyum, duduk di hadapan Kala. Lovatta tersenyum canggung, menyapa mereka. Meski mereka sudah terlihat biasa saja, tapi dalam hati Lovatta masih belum siap bertemu bersama seperti ini. Apalagi belum ada kata-kata apapun dari mulut Senja padanya, sekadar menjelaskan.

"Lo duduk sini aja." Kala menarik ujung kemeja Lovatta agar duduk di sebelahnya.

"Gue duduk di bawah aja, mau lesehan," balas Lovatta, mencoba melucu meski rasanya garing. Tetap tak bisa kembali seperti dulu. Di mana hanya ada tawa dan senyum setiap detiknya.

"Lo gambar apa?" tanya Kala.

"Gambar kolam ikan."

"Minta tolong Langit aja tuh suruh gambarin."

"Dia mah jahat sama gue, mana mau gambarin."

"Ogah, gue yang capek lo yang dapet nilai," celetuk Langit.

Gemas,  Lovatta mencubit punggung tangan Langit. "Ngeselin."

Meski suasana sudah dicoba dicairkan tetap saja Senja hanya diam. Lovatta pun sesekali melirik melihat reaksi Senja. Tapi sang Ketua OSIS sibuk mengaduk minuman yang tak perlu diaduk lagi.

"Lo udah nyelesaiin tugas gambar?" tanya Lovatta pada Senja tapi Senja justru kebingungan saat disenggol Langit. Ternyata dia tak memperhatikan, hanya raganya yang bersama mereka.

"Lo udah gambar?" Kali ini Langit yang menanyakan ulang.

"Oh, udah."

Jawaban singkat Senja membuat suasana meja mereka mendadak dingin.

"Sorry, gue ke ruang guru dulu," ucap Senja.

"Mau ngapain lo?" tanya Kala.

"Ada urusan, bentar."

Lovatta melirik Langit lalu melirik Kala setelah Senja meninggalkan meja. Hembusan napas lolos, seolah lepas dari cengkeraman. Sungguh sangat tak nyaman dan Lovatta tahu hubungan mereka belumm benar-benar baik. Langit masih diam meski biasanya juga lebih banyak diam. Tapi kali ini diamnya pun disambut diam oleh Senja. Lovatta jadi bingung setengah mati kalau begini.

"Gue balik ke kelas deh, mau nyelesaiin gambar."

"Nggak makan?" tanya Langit.

"Makan donat aja deh, gue beli donat dulu. Bye bye."

Buru-buru Lovatta membeli donat dan kabur dari kantin yang terasa jadi sempit padahal aslinya begitu luas. Dia sebenarnya ingin mencari Senja dan bicara. Lovatta pun mencoba mengejar Senja yang berkata bahwa akan ke ruang guru.

Benar, Senja tengah menuju ruang guru di lantai 1. Tapi sebelum Lovatta sempat mengejar, Tiara sudah terlebih dahulu menghampiri senja. Lovatta bersembunyi di balik pilar, mencoba mendengarkan percakapan mereka, meski samar.

"Ternyata lo nyerah juga?" ucap Tiara dengan gaya khasnya yang terlihat jutek.

"Bukan urusan lo."

Suara tawa Tiara terdengar lebih nyata, tawa merendahkan. "Gue pikir lo lebih hebat dari gue, nyatanya lo nggak lebih pinter dari gue."

"Nggak seharusnya lo ketawa."

"Kenapa? Gue berhak ketawa. Ngetawain lo yang bego. Ngapain lo ngaku kalau lo yang ngelakuin?"

"Harusnya lo berterima kasih sama gue."

"Makasih karena lo ngakuin perbuatan yang sebenernya gue lakuin? Ck, bukan gue yang minta. Lo aja yang bego."

Senja menahan diri, saat ini dia benar-benar tak ingin berhadapan dengan Tiara. Cewek yang sebenarnya masih sepupunya. Dia melakukan semua demi tantenya yang sudah sakit-sakitan. Tak mungkin dia diam saja jika tahu apa akibat jika Langit mengetahuinya. Tiara pasti akan dikeluarkan dari sekolah yang dimiliki orang tua Langit, SMA Gemintang. Tapi Tiara ternyata bukan manusia.

"Udahlah, mau lo apa?" Senja, mulai lelah.

"Mau gue, lo jangan nyerah buat dapetin Lova."

Senja mendekati Tiara. "Pertama, lo butuh psikiater. Kedua, siap-siap cari sekolah baru," bisik Senja lalu tersenyum, senyum devil. Senyum yang biasanya tak pernah dia keluarkan, senyum yang identik dengan Langit.

Lovatta yang mengintip dan mendengarnya refleks menelan ludah. Dia merinding sekaligus bingung dengan apa yang terjadi. Lovatta menyenderkan kepanya di pilar sembari mengusap dadanya. Jantungnya berdetak lebih cepat. Apa yang dia lihat dan dengar sungguh membuatnya bulu kuduknya merinding.

"Ngapain ngumpet di sini?" Lovatta terlonjak kaget dengan kehadiran dan suara Senja.

LANGIT KALA SENJA (Revisi)Where stories live. Discover now