Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 6 [Tambahan]

Start from the beginning
                                    

Sarah terdiam sebentar, "Bukan, Pak. Ayah saya tentara."

"Oh. Lanjut lah. Lagu lain! Kamu lagi yang nyanyi."

Sarah terdiam sebentar. Ia teringat ayahnya lagi. Ia segera mengganti ingatannya, tetapi kini justru teringat kakeknya yang baru meninggal Desember kemarin. Ia kembali mencoba mengganti ingatannya, tetapi ia teringat cerita tentang Amangkurat lagi. Lalu ia teringat barusan, bahwa ia menyanyikan Di Udara. Ia membayangkan bagaimana hal-hal yang ia lihat dan alami di hari ini terjadi karena suatu pemerintahan, yang dibenci oleh kakeknya.

Sarah diam terlalu lama. Akhirnya Jon yang mulai menyanyi, "Tinggi bararaklah kau awan. Awan manutuik matohari. Alah muka suratan tangan. Badan tacampak hanyo lai."

Sarah dan Robi terdiam, tak mengerti lagunya tetapi terbawa suasana dari lagu itu. Jon lanjut bernyanyi, "La tagerai rambuik nan panjang. Jolong tagontai pulang mandi. Tolonglah langik, tolonglah bintang. Ubekkan rusuih di dalam hati.

"Tinggi malanjuiklah kau patuang. Indak den tabang-tabang lai. Tingga mancaguiklah kau kampuang. Indak den jalang-jalang lai.

"Putuih tali jo bapak kanduang. Putuih ndak dapek disambuang lai. Tinggallah sanak, tinggallah kampuang. Ayam jo itiak kaganti diri."

Sarah terkagum, "Lagu apa itu, Pak?"

"Lagu dari bundo¹⁰ saya, waktu saya masih kecil. Tiap malam dia nyanyikan lagu itu, sampai saya tidur. Kalau tadi lagu favoritmu ceritanya tentang pejuang kebenaran, lagu ini ceritanya tentang pejuang juga. Tapi seorang perempuan. Perempuan ini memperjuangkan haknya untuk menjalani hidupnya sendiri, tapi diancam oleh ayahnya sendiri. Masalah pernikahan lah; si perempuan dijodohkan, dianya ndak mau. Akhirnya perempuan itu diusir."

"Sedih, ya," ujar Sarah.

"Tapi enak lagunya," balas Robi.

"Benar! Hahaha! Yuk, kamu lagi yang nyanyi!"

Sarah berpikir. Kali ini, ia tidak berpikir lama. Ia mulai bernyanyi, "Kubiarkan cahaya bintang memilikimu¹¹."

Robi kenal lagu itu, tapi lagu itu bukan lagu yang biasa didengar Sarah, melainkan temannya yang satu lagi.

Sarah lanjut bernyanyi. Robi menggumam mengikuti nada nyanyian tersebut, karena tak hapal.

"Kubiarkan angin yang pucat dan tak habis-habisnya gelisah, tiba-tiba menjelma isyarat merebutmu. Entah kapan kau bisa kutangkap."

Robi hendak bertanya, "Ini lagu yang sering didengerin sama—"

"Diva," jawab Sarah sebelum Robi selesai bertanya, "Dia kan memang suka puisi-puisi Sapardi.

"Sapardi siapa?" tanya Jon.

"Sapardi Djoko Damono. Tadi musikalisasi puisinya, Nokturno," jawab Sarah.

"Wah, enak juga. Kenapa saya baru dengar?"

"Bukannya harusnya jamannya pas ya, Pak?" Sarah tergelak.

"Saya kurang suka puisi. Makanya ndak kenal. Tapi saya ndak mengira puisi bisa dinyanyikan sebagus itu," Jon membela diri.

"Banyak padahal, Pak, puisi-puisi beliau yang dimusikalisasi jadi bagus. Coba Diva di sini. Dia setel satu-satu lagunya."

"Siapa Diva? Teman kalian?" tanya Jon. Sarah dan Robi melihat satu sama lain. Mereka terdiam sebentar sambil melihat Jon, dan kemudian Sarah menjawab, "Iya, Pak."

"Oh. Memang anaknya senang puisi ya?"

"Iya, Pak. Dia seneng banget sama puisi. Tapi nggak suka baca buku."

"Hahaha! Aneh, ya. Kalian sekelas?"

"Iya, Pak. Tadi kami UN sama-sama."

"Oh. Terus anaknya di mana sekarang?"

Sarah berhenti menjawab. Dia melihat ke Robi, kemudian ke Jon, kembali ke Robi, dan seterusnya. Mulutnya terkunci, dan ia tidak tahu apakah perlu cerita atau tidak.

"Tadi sama kalian?" tebak Jon.

"Iya."

"Terus? Kenapa ndak sama kalian?"

"Kami... kami terpisah."

"Kenapa bisa terpisah begitu?"

Sarah diam agak lama. Jon berprasangka, "Kalian ninggalin dia?"

"Nggak!" bentak Sarah, "Kami kepisah. Harusnya..."

"Harusnya?"

"Harusnya sekarang kita jemput dia."

"Ya sudah. Minta lah ke Jaka buat balik ke sekolah."

Sarah hanya memandang Jon. Robi berpikir, kemudian berkata, "Kamu yakin Diva masih di sekolah?"

Sarah menoleh ke Robi, "Dia kan sama Mas Danu tadi. Mungkin mereka masih nungguin kita."

"Aku nggak yakin, Sar. Mereka pasti udah ke mana."

"Ke mana, emangnya?"

"Mungkin si Diva udah balik ke kakaknya."

"Iya sih. Tapi..."

Jon memotong, "Di waktu-waktu seperti ini, pasti susah ke mana-mana. Kalian pasti liat sendiri, kan, jalanan kacau balau? Memangnya kakaknya si Diva ini di mana?"

Sarah menjawab agak telat, "Di Karet."

"Kalian dari?"

"Pasar Baru."

"Jauh itu kalau jalan kaki. Terus dia sama siapa tadi? Mas Danu? Mereka sejalan, memangnya?"

"Nggak tau, Pak."

"Kemungkinan besar mereka masih di sekolah. Susah ke mana-mana saat ini. Saya yakin besok di mana-mana bakal ada tentara. Orang-orang bakal ngurus korban-korban. Lebih baik kalian jemput teman kalian itu besok. Tapi harus pagi-pagi sekali, sebelum ramai. Nanti, kalian tinggal minta tentara buat bawa kalian ke pengungsian sementara. Bagaimana?"

Sarah dan Robi menyimak, tetapi tidak dapat menjawab pertanyaan Jon. Mereka melihat satu sama lain, kebingungan harus bagaimana.

Jon melanjutkan, "Kalian harus istirahat sekarang. Makan, tidur. Tunggu luka kalian kering. Besok minta Jaka antarkan kalian ke sekolah."

Sarah ragu, "Tapi... Pak..."

"Tidak apa. Jika ternyata teman kalian ndak di sekolah, kemungkinan dia ada di tempat aman. Sama kakaknya, atau sama si Mas Danu itu. Kalian tinggal balik ke sini, atau ikut tentara ke pengungsian.

"Enaknya, kalian ke pengungsian. Kalian bisa dapat pengobatan yang lebih layak di sana. Di sini ndak nyaman kalau mau tidur. Hahaha!"

Jon menyudahi isapan rokoknya, kemudian berdiri. Ia kemudian ke dalam rumah dan memanggil Jaka, "Jaka! Baa? Lah salasai?"

Robi dan Sarah ikut berdiri dan masuk ke dalam. Dalam remang-remang lilin, mereka melihat Jaka dengan hidangan makan malam.



⁹ Lagu "Di Udara" karya Efek Rumah Kaca.

¹⁰ Bundo = ibu

¹¹ Puisi "Nokturno" karya Sapardi Djoko Damono. Dinyanyikan dalam bentuk musikalisasi puisi oleh Ari Malibu, Reda Gaudiamo, dan Tatyana Soebianto.

Ujian NasionalWhere stories live. Discover now