Adhira mengangguk. Mungkin benar kata ibunya, namun tetap saja ia mulai merasa khawatir dengan Afif, terlebih adiknya itu biasanya selalu mengabari kalau ada sesuatu dan terlambat pulang. "Aku coba Line dia deh Bu," ucap Adhira kemudian.

Lisa hanya mengangguk setuju.

***

Afif memberhentikan motornya di pinggir jalan ketika ia sampai pada alamat yang diberikan oleh Andreas di kantornya tadi. Ia menatap bangunan restoran itu dari seberang jalan, memastikan bahwa itu adalah betul restoran milik Johan.

Dadanya ketika itu terasa berdegup lebih kencang dari biasanya. Setelah mengobrol semalaman dengan kakaknya tentang Johan, Afif semakin penasaran dengan sosok ayahnya itu. Akhirnya setelah menimbang-nimbang semalaman, ia memutuskan untuk bertemu langsung dengan ayahnya.

Selama enam belas tahun usia hidupnya, ia tidak pernah benar-benar merasakan rasanya memiliki seorang ayah. Terkadang ia selalu merasa iri pada teman-temannya yang memiliki keluarga yang lengkap. Sejak ia kecil, ia selalu mendengar teman-temannya membanggakan ayah mereka, dan Afif tidak pernah mempunyai kesempatan untuk itu. Maka dari itu, ketika untuk pertama kalinya ia bertemu dengan ayah kandungnya kemarin, untuk sekali saja ia ingin mengobati rasa penasarannya, rasa penasaran bagaimana rasanya memiliki seorang ayah.

Akhirnya, setelah dirasa yakin, Afif kembali melajukan motornya menyeberangi jalan raya, memasuki pelataran parkir restoran itu. Tepat ketika dirinya melepas helmnya, tiba-tiba saja ia mulai merasakan rasa tidak percaya diri menjalar dari tubuhnya. Namun begitu, ia tetap memaksakan diri untuk masuk ke dalam.

Ia berjalan melangkah masuk ke dalam restoran, dan langsung disambut oleh pegawai restoran tersebut. Ia diantar pada sebuah meja, dan kemudian memesan makanan secara asal. Tujuannya ke sini bukan untuk makan, tapi untuk bertemu dengan Johan.

Afif celingukan, matanya memindai seluruh penjuru restoran, tapi tidak menemukan sosok yang ia cari. Ketika pelayan yang membawakan pesanannya datang, Afif hendak bertanya tentang keberadaan Johan, namun diurungkannya kembali ketika dirasanya rasa ragu mulai muncul kembali dalam benaknya.

Ia masih mengitari pandang sekitar, sambil sesekali memakan bistik yang dipesannya. Ia tidak bohong kalau harus bilang bahwa bistik yang ia pesan rasanya enak. Hanya saja sekarang, ia tidak bisa berkonsentrasi pada makanannya.

Selama beberapa menit, ia masih belum melihat sosok yang ia cari di restoran itu sampai kemudian matanya menatap sosok punggung seseorang yang tiba-tiba muncul dari balik pintu dapur. Ia tidak asing dengan postur tubuh tegap berlapis kemeja hitam itu. Afif terus memandangnya sampai akhirnya ketika sosok itu berbalik, ia bisa dengan jelas melihat orang yang ia cari juga tengah menatapnya. Karena rasa gugup yang menyerang tiba-tiba, akhirnya dengan cepat ia membuang muka, sambil terus memasukkan potongan daging pada mulurnya yang sudah penuh. Ia mulai salah tingkah.

Tidak lama kemudian, mejanya diketuk. "Boleh duduk di sini?" tanya seseorang padanya. Afif menengadah dan mendapati Johan tengah berdiri sambil tersenyum padanya. Afif mengangguk.

Memang sedari awal pun Afif masih belum tahu apa yang harus ia katakan atau apa yang harus ia lakukan jika sekiranya ia bertemu dengan Johan secara langsung di restorannya ini. Ia hanya ingin melihat sosok Johan, melihat bagaimana pria di depannya ini hidup dan bekerja. Mencari-cari sisi dari Johan yang bisa ia banggakan seperti halnya teman-temannya yang selalu membanggakan ayahnya. Dan tentu, memiliki restoran besar seperti ini merupakan satu hal yang bisa dibanggakan dari Johan. Tapi bukan itu yang Afif mau, ia ingin bisa menemukan sisi lain dari diri Johan, seperti sifat dan pembawaannya. Dan karenanya, untuk sekarang ia ingin sekali mencoba mengenal Johan.

"Enak makanannya?" tanya Johan pada Afif.

Afif mengangguk. "Tapi lebih enak bikinan ibu," jawabnya polos, yang kemudian langsung ia rutuki ketika sadar bahwa orang yang duduk di hadapannya adalah pemilik restoran ini.

Hujan Bulan DesemberWhere stories live. Discover now