"Gue lupa, Ray," jawabku.

Dio memang meneleponku pada hari Jumat. Hari ketika aku bertemu lagi dengan bagian dari masa laluku. Hari ketika aku kembali terluka dan luka itu tak kunjung menutup.

"Masih ada waktu buat beli. Nyari balon nggak susah," kata Rayen menenangkan.

"Harusnya lo nawarin buat beli balonnya dong. Sahabat kan harusnya saling membantu," balasku.

Rayen mendengus. "Gue sibuk."

Aku memutar mata. "Sibuk godain cewek malang mana lagi?"

"Cewek yang gue godain beruntung. Nggak malang, kali," bantah Rayen penuh percaya diri.

"Ya, ya, ya. Beruntung sampai lo bosan dan lo tinggal," sahutku.

Rayen menarik salah satu sudut bibirnya. "Bukan salah gue kalau gue terlahir dengan muka ganteng alami."

Aku menutup wajahku dengan bantal, lalu tertawa keras.

"Lo sadar nggak, sih?" kataku. "Kalimat lo itu mirip banci!"

Rayen berdecak, wajahnya memancarkan ekspresi prihatin. Seakan-akan aku adalah orang yang tidak waras di antara kami berdua. Lalu dia membalas, "Kalau setiap banci di muka bumi sekeren gue, gue yakin angka jenis kelamin peralihan bakal meningkat drastis!"

Aku kembali tertawa dan kami menghabiskan waktu dengan obrolan ringan. Tentu saja sesekali aku harus menimpuk wajah Rayen dengan bantal, sekadar menghentikan kenarsisannya. Namun kami menghabiskan waktu dengan bersenang-senang. Hanya berbicara tanpa tujuan, seutuhnya bebas.

Bersama Rayen, aku tidak perlu takut pada apa pun. Dia selalu ada di sisiku. Hal terakhir yang mungkin dilakukan olehnya adalah menghakimiku. Aku merasa nyaman dengannya karena aku tidak takut pada reaksi yang mungkin diberikannya. Sungguh, aku dan Rayen sangat sederhana. Semudah bernapas.

Rayen sedang menyalakan alarm pada ponselnya ketika sebuah pertanyaan menghampiri benakku.

"Ray," panggilku. "Seandainya lo punya satu kesempatan buat minta apa pun dan dikabulin, lo bakal minta apa?"

Rayen menatapku. Lama. Lekat. Aku menunggunya dengan jantung berdegup cepat. Ada sesuatu dalam mata hitam Rayen yang membuatnya terlihat begitu dalam. Mengundangku untuk menyelaminya. Namun aku terlalu takut tenggelam di dalamnya.

Tenggelam dan kehilangan segalanya.

"Ray?" ulangku.

Jantungku berdebar semakin keras. Karena entah mengapa, aku merasa jawaban Rayen adalah sesuatu yang penting. Sesuatu yang bahkan mampu membuatnya menatapku begitu lama, tanpa keraguan.

"Rayen, lo bakal minta apa?" desakku.

Hening lagi. Namun kali ini Rayen menarik sudut-sudut bibirnya hingga membentuk sebuah senyum dan satu kata mengalir dari bibirnya.

"Threesome."

Aku tidak mampu bereaksi. Terlalu terperangah. Begitu sadar, aku langsung meraih bantalku dan melemparnya sekuat tenaga ke wajah Rayen.

"What a jerk!!!" jeritku kesal.

Rayen tertawa terbahak-bahak. Aku bahkan sampai menyumpahinya agar muntah. Aku kesal!

"Bisa-bisanya lo jawab gitu?!" seruku penuh emosi. "Gue nanya serius!"

Rayen meraih bantalku, lalu memeluknya erat. Takut aku kembali kalap dan menimpuknya.

"Apa yang salah sama jawaban gue?" balas Rayen menantang. Matanya berbinar jail. "Itu impian mayoritas laki-laki normal!"

"Rayendra!!!"

"Omong-omong, lo bilang apa tadi? Jerk?" tanya Rayen di antara derai tawa.

"Ya! Lo memang cowok brengsek sejati!" pekikku.

Rayen kembali tertawa, membuatku tak kuasa memandanginya. Memandangi wajahnya yang terlihat cerah. Aku tidak bisa menahan hatiku yang mulai mengalirkan kehangatan. Karena Rayen bahagia dan aku yang membuatnya seperti itu, bahkan jika itu berarti aku harus menahan kesal karena ucapan-ucapan ajaibnya.

"Yah, gue nggak bisa bantah," ucap Rayen seraya mengedipkan sebelah matanya. "I'm a jerk, but you love me...."

Salah satu sudut bibirku terangkat. Nyaris seperti gerak refleks. Aku tidak bisa menahannya.

"To the sun and back," lanjutku. Melengkapi kalimat yang selalu kuucapkan untuk Rayen. Karena kalimat itu adalah kalimat yang menandakan bahwa kami baik-baik saja.

"I know," balas Rayen tanpa ragu. Sebelah tangannya mengangkat kepalaku, sementara tangannya yang lain meletakkan kembali bantalku di tempat semula.

Kami berbagi senyum.

"I know, Ly. Always know. Good night," bisik Rayen.

Aku memejamkan mata, lalu memutar tubuhku. Hingga lelap menjemputku, dua kata itu terus terngiang dalam kepalaku.

I know. I know. I know.

And we know.

***

Kalau kalian, bakal minta apa semisal permintaannya akan terkabul?

Jangan lupa tinggalkan jejak ya~ thank you!

As Always, I Love... (Eternity #2)Where stories live. Discover now