AHALYA - PART 2

20 3 0
                                    

Kananta meraih sari miliknya, lalu memakainya sedangkan aku menendang tubuh laki-laki itu agar sadar.

"Ba-bangun ...," ucapku gugup dan tendanganku semakin keras. "Ba-bangun ...."

"A-ahalya, kau memukulnya dengan paku ...."

Wajahku sontak memucat. Aku mengangkat balok kayu yang masih tergenggam pada tanganku dan terkesiap. Tiga buah paku panjang bernoda darah berada di ujungnya.

"Me-mereka akan menggantung kita." Wajah Kananta juga terlihat memutih. "A-aku belum mau mati ...."
Jantungku berpacu cepat. Aku juga belum mau mati. Sebuah keputusan besar terlintas di benakku. Aku menatap saudariku sambil berkata, "Ayo kita pergi ke Bengaluru!"

*****

Keputusan untuk pergi ke ibu kota tanpa membawa apa pun kecuali sari yang menempel di tubuh kami adalah hal terbaik dapat kami lakukan. Perempuan yang berasal dari kasta rendah seperti kami tidak punya pilihan lain kecuali membiarkan mereka menggantung atau merajam kami dengan batu karena telah melakukan pembunuhan.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup, kami menjual diri. Sebuah ilmu yang kami telah pelajari sejak bertahun-tahun silam.

Keadaan ibu kota tidak seindah yang kami harapkan. Berita bahwa pemanasan global telah menyebabkan daerah kutub mencair dan menenggelamkan sebagian kota di daerah pesisir.

Kepanikan dan kerusuhan terjadi di mana-mana. Orang-orang berduit telah pergi melarikan diri ke tempat yang lebih tinggi. Mereka meninggalkan banyak harta untuk dijarah.

Hari itu kami mendapatkan pelanggan, lima orang pemuda yang membutuhkan penyaluran gairah setelah puas bersenang-senang dengan rampasan mereka.
Mereka memilih sebuah rumah mewah berlantai dua untuk membawa kami. Hanya satu orang yang tertarik kepadaku dan aku entah harus merasa cemburu atau bersyukur ....

Aku menunggu hingga sore hari di teras hingga akhirnya Kananta berjalan keluar rumah dengan wajah kelelahan. Dia tersenyum ke arahku dan menunjukkan sekantung roti yang bisa kami makan hingga untuk dua sampai tiga hari.

Kami kemudian berjalan mencari tempat yang cukup nyaman dan memutuskan bawah jembatan sebagai tempat bermalam. Kami menjauhi area sungai, sebab sejak pemanasan global, daerah itu telah menjadi tempat yang paling berbahaya, selain pantai yang sudah tenggelam tentunya.

Tempat itu cukup sepi, hanya ada seorang laki-laki tuna wisma yang duduk tidak terlalu dekat dari kami. Kananta langsung tertidur saat dia mendapatkan posisi nyaman di atas rumput yang diselimuti kain milik kami. Aku mengamati pria itu sejenak dan menganggap dia tidak berbahaya.

Dengkuran Kananta seakan mengajakku untuk ikut menutup mata. Aku menjaga kantung roti yang telah diperoleh saudariku secara susah payah dengan memeluknya erat, setidaknya aku akan sadar apabila ada yang berusaha mencurinya, sedangkan rupee milik kami aman tersembunyi di balik pakaian dalam. Rasa kantuk membuatku menguap lebar sebelum akhirnya terlelap.

*****

Jeritan yang mengerikan membangunkan kami kala pagi hari. Aku dan Kananta langsung terduduk kemudian melihat sekeliling dengan jantung berdebar sangat keras.
"A-ahayla ...."

Kananta mencolek lenganku. Dia menunjuk dengan tangannya yang gemetar.

Aku menoleh mengikuti arahan saudarinya dan napasku tertahan. Kami melihat dua orang laki-laki dewasa sedang berjongkok mengerubungi pria tuna wisma yang masih bergerak berusaha berontak.
Darah di mana-mana.

Satu manusia terlihat sibuk merobek bagian perut sang tuna wisma memakai gigi dan kedua tangan sedangkan yang lainnya mengoyak bagian leher. Bau anyir yang terbawa angin terhirup olehku dan membuatku menahan keinginan untuk muntah.

"A-ahayla ...." Kananta menarik sariku pelan. Dia memberikan kode bahwa kami harus segera pergi dari sana.
Aku mengangguk kecil. Kami bergerak secara perlahan. Tuna wisma itu tidak lagi meronta. Terlihat dari bagian perutnya yang telah ternganga lebar, dia pasti sudah tewas.

Kedua manusia aneh itu sibuk menjilat dan menggigit korban, bahkan salah satunya memasukkan kepala ke dalam perut sang mayat.
Meski mataku tidak dapat lepas dari pemandangan yang mengerikan itu, aku tetap memaksa kakiku yang gemetar untuk terus berjalan. Namun, itu kesalahan besar ....

Aku tidak melihat sebuah ranting yang berada di depanku dan seketika jatuh tersandung. Kantung roti yang sebelumnya berada di dalam pelukanku pun terlepas.

Kedua manusia itu sontak menoleh ke arah kami. Wajahku seketika memucat saat melihat warna kulit yang pucat dinodai darah milik mereka.

"Ahayla! Lari!" jerit Kananta saat kedua manusia itu bangkit berdiri, lalu mulai berjalan ke arah kami dengan gerakan aneh.

Aku berusaha bangkit berdiri dan segera mengekor Kananta yang telah berada jauh di depanku. Kedua manusia itu terus mengejar sambil mengeluarkan geraman aneh dari mulut mereka.

Jarak antara mereka dan aku semakin dekat sebelum suara tembakan terdengar beberapa kali bersamaan desing peluru melewati tubuhku.
Langkahku dan Kananta seketika terhenti. Di hadapan kami terlihat tiga orang berpakaian hijau loreng dan sorban berada sekitar beberapa ratus meter di depan kami.

Salah satu dari mereka menurunkan senjata laras panjang, lalu memanggil kami memakai gerakan tangan. "Ayo! Cepat! Sebelum zombie itu kembali bangkit!"

Aku menoleh melalui balik bahu dan membeku saat kedua manusia yang disebut zombie itu sudah berusaha bangkit berdiri. Namun, teriakan para tentara membuat aku kembali tersadar.

Kananta menarik lenganku dan kami kembali berlari bersama-sama. Pandanganku tertuju pada sebuah mobil hijau yang berbentuk kotak mirip truk.

Kedua zombie berjalan semakin dekat. Tembakan para tentara seakan tidak bisa melumpuhkan mereka. Namun, aku tidak bisa melihat lebih banyak. Pintu mobil terbuka dan kami didorong masuk ke dalam dan tertutup dalam waktu singkat.

Pandanganku seketika tertuju kepada penghuni kendaraan sebelum kami masuk. Ada tiga perempuan dan lima anak kecil yang duduk bersila dengan wajah pucat pasi. Tidak ada jendela kaca, tetapi ada lubang-lubang kecil di sisi kanan dan kiri sehingga kami bisa mengintip dan bernapas.

Tembakan lain terdengar dari luar sebelum sebuah gedoran terdengar bersamaan dengan teriakan, "Jalan! Sekarang!"

Kendaraan melaju sehingga aku dan Kananta terpaksa ikut duduk atau kami akan terjatuh. Udara di dalam mobil terasa pengap dan bercampur dengan bau tubuh manusia.

"Makhluk apa tadi?" Suara Kananta membuatku menoleh. Saudariku ternyata sedang mencoba mengorek informasi dari salah satu wanita yang berada di sana.

"Apa kau tidak pernah menonton berita?" Wanita paruh baya itu malah balas bertanya dengan ekspresi kebingungan. "Mereka adalah zombi."

"Zombi?" Sebuah film laga yang pernah kutonton langsung berkelebat dalam benakku. Tubuh busuk, suara menggeram, dan menyukai otak manusia ....

Oleh : benitobonita

Sci-fi Project : How We Survived SeriesWhere stories live. Discover now