AHALYA - PART 1

42 6 0
                                    

Halo ....
Ehm ....

Jujur aku bingung bagaimana memulai kisah ini. Namun, karena permintaan dari pihak yang telah menyelamatkan hidupku ... tentu aku sulit untuk menolak.

Jadi, namaku ... Ahalya.

Aku tidak tahu mengapa kedua orang tuaku memberikan nama yang memiliki arti malam, mungkin karena aku dilahirkan pada malam hari atau bisa saja karena warna kulitku yang gelap. Namun, aku rasa itu akan selamanya menjadi rahasia ... sebab aku pun tidak tahu siapa orang tuaku.

Lima belas tahun silam mereka telah menjualku atau bahasa halusnya mempersembahkanku ke sebuah kuil pemujaan untuk bergabung dengan kaum devadasi, para gadis yang memiliki tugas untuk melayani sang dewa dengan tubuhnya ....

Apakah kau memikirkan sebuah sebutan yang pantas untuk kami?

Iya, kau betul ....

Kami adalah para pelacur suci ....

Namun, kisah ini bukanlah mengenai bagaimana aku menjalani hidupku saat melayani para dewa, tetapi bagaimana caraku selamat dari kiamat yang sedang terjadi ....

*****

Aku tumbuh di sebuah desa kecil di daerah Karnataka Utara tanpa mengenal orang tua kandungku. Sama seperti saudari-saudariku yang dipersembahkan ke kuil, kami dibesarkan oleh para ibu angkat kami yang juga merupakan kaum devadasi.

Hidup dalam keluarga yang semuanya hanya beranggotakan perempuan bukan hal yang menyenangkan. Persaingan untuk mendapatkan segala sesuatunya lebih berat karena kami tidak mengenal kata mengalah.

Saat aku mencapai usia 12 tahun, mereka akhirnya memperkenalkanku akan pekerjaanku yang sebenarnya. Malam pertama yang menjijikkan harus kulalui demi beberapa lembar rupee dari penawar tertinggi yang akan kami persembahkan kepada sang dewa.

Apakah sang dewa memerlukan uang? Entahlah .... Namun, aku sering melihat Ibu memakai uang yang kuhasilkan untuk membeli perhiasan dan bedak untuk bersolek.

Aku pernah bertanya kepadanya, tetapi beberapa tamparan keras pada pipi cukup untuk membuatku paham bahwa ada hal-hal yang lebih baik tidak ditanyakan.

Kisah ini bermula sekitar bulan Februari tahun 2019 di mana aku sedang duduk di luar kuil untuk menjajakan diri. Ibu telah mewanti-wanti kami agar kami bisa mendapakan lebih banyak "pemuja" atau tidak ada makan malam untuk kami.

Aku melihat Kananta, saudariku telah menemukan pemuja. Seorang pria paruh baya, kemungkinan petani dari desa tetangga. Mereka berjalan menuju sebuah gubuk yang tidak jauh dari kuil.

Lidahku berdecak kesal dan kembali mengelap peluh yang menetes pada keningku. Udara siang ini terasa lebih terik dari biasanya dan sari putih yang kukenakan telah kembali basah.

Mungkin hari ini pun aku tidak akan mendapat pemuja ....

Aku bangkit berdiri dan mengibaskan kepangan rambutku yang diuntai oleh rangkaian bunga ke balik punggung, lalu berjalan pelan menyusuri pinggir desa.

Dua orang anak perempuan yang berusia tujuh terlihat sedang bermain dengan ayam. Mereka mendongak menatapku dan tersenyum. "Siang, Kak Ahalya ...."

Aku membalas senyum mereka sebelum bertanya, "Apa kalian sudah menyediakan sesajen untuk para dewa?"

Keduanya langsung memasang wajah bersalah sebelum menggeleng pelan. Aku menghela napas dan berkata, "Apa kalian tidak takut terkena hukuman?"

"Kami hanya bermain sebentar," jawab Gauri cepat, "kami akan mengerjakannya sekarang."

Tanaya juga mengangguk. "Kami mau mengerjakannya sekarang."

"Pergilah ...," usirku yang langsung dituruti oleh mereka.

Aku menatap punggung keduanya yang menjauh sambil menghela napas panjang. Dulu aku dan Kananta pun sering mencuri kesempatan untuk bermain seperti mereka.

Langkahku semakin dekat dengan salah satu gubuk tempat kami sering melayani pemuja. Rumah kecil yang terbuat dari kayu yang hampir rubuh akibat dimakan rayap dengan genteng yang menutupi atapnya.

Suara jeritan Kananta tiba-tiba terdengar dari dalam. Aku refleks membuka pintu. Tidak terkunci!

Mataku melebar ketika melihat pemandangan yang berada di hadapanku. Kananta yang tidak lagi berpakaian sedang berusaha mengelak pukulan dari pria yang menindihnya.

"Perempuan Sundal! Kau berani-beraninya menolak keinginanku!"

Kananta berteriak kesakitan saat laki-laki itu menjambak rambutnya yang terurai, lalu menggulingkan dirinya hingga tengkurap.

Beruntung ....

Mereka tidak menyadari kehadiranku.

Aku segera melihat sekeliling untuk mencari alat agar bisa menyingkirkan bajingan itu dari Kananta. Ruangan itu hanya memiliki satu kamar mandi kecil berada di pojok dan sebuah ranjang. Mataku menangkap sebuah kayu yang terlepas dari dinding dan segera berlari untuk meraihnya.

Kananta meraung saat pria itu memperkosanya dari belakang. Si bajingan terlalu menikmati perbuatannya hingga dia tidak menyadari saat aku menghantam kepala busuknya berulang kali.

"Menyingkir dari dirinya!" jeritku marah.

Pukulan lain kuberikan kepada kepalanya sebelum bajingan itu jatuh menghantam lantai. Napasku memburu dan tanganku gemetar. Merah darah mengotori tubuh Kananta, seprai, dan kayu yang kupegang.

"A-ahalya ..., a-apa yang telah kau lakukan?"

Suara Kananta yang bergetar membuatku menoleh untuk melihatnya. Wajah saudariku penuh memar dan terlihat darah pada sudut bibirnya.

"Di-dia menyakitimu," jawabku sebelum kembali menatap sosok pria yang tidak lagi bergerak dengan mata terbuka lebar.

"A-apa dia mati?"

"Ti-tidak," bisikku ketakutan. "Di-dia mungkin hanya pingsan ...."

[A/N]

Penulis: benitobonita

•-•

Sci-fi Project : How We Survived SeriesWhere stories live. Discover now