7. Goodbye

39 10 4
                                    

Leo

Semua orang tidak percaya dengan kejadian ini.

Semua orang termasuk aku.

Felicya meninggalkan kami semua dengan membawa ketidakadilan dunia ini. Dia bahkan belum mengecap hidup bahagianya setelah kejadian yang menimpanya berakhir. Bahkan dia pergi dengan cara yang menyedihkan.

Pasca berita itu diturunkan, polisi langsung bergegas menangkap si pelaku. Pelakunya mengaku kalau dia melakukan penembakan random itu karena benci melihat orang lain berkeliaran disekitarnya. Dia pernah dipandang sebelah mata dan diperlakukan tidak adil. Terkadang ketidakadilan membuat orang lain mengubah arah hidupnya, dari orang baik menjadi orang jahat. Dari yang dulunya orang yang terbuka menjadi orang yang tertutup.

Terkadang dunia ini tidak berjalan sesuai kemauan kita. Seakan dunia ini punya hak lebih untuk mengatur manusia didalamnya. Aku pernah berpikir untuk tidak mempercayai orang lain selain diriku sendiri. Tetapi perlahan aku mulai membuka diri dan melihat bahwa masih ada orang lain yang bisa ku percaya dan mau peduli padaku. Oleh sebab itu, aku bisa merasakan apa yang Felicya rasakan. Dia pasti merasa sakit, tapi tak tahu cara melampiaskannya, karena ia tak punya tempat untuk mengadu.

Sekarang dia sudah punya tempat untuk mengadu. Disana, jauh diatas sana, menembus batas dunia. Dia berhak untuk mendapat yang terbaik disisi Tuhan.

Aku senang bisa mengenal sosok seperti Felicya yang punya semangat ditengah keterpurukan hidup. Meski saat ini aku tidak bisa memberikannya kebahagiaan secara langsung, kuharap suatu hari nanti kami bisa bertemu kembali dan membuat cerita bersama. Biarlah cerita kemarin berkamuflase menjadi sebuah kenangan. Aku akan menunggu hari itu tiba, hari dimana aku bertemu kembali dengan Felicya dalam bentuk yang berbeda.

Ketika hari itu tiba, aku akan meminta pada Tuhan untuk membiarkan diriku membuat Felicya bahagia dengan caraku. Biarlah saat ini dia pergi meninggalkan kebahagiaannya, karena aku yakin di masa depan nanti dia akan mendapat kebahagian yang lebih besar dari saat ini.

Aku berjanji akan membuatnya bahagia.

Well, biarlah ini menjadi kisah tak terlupakan dari seorang Felicya, si penguat jiwa dalam menghadapi kerasnya hidup. Tanpa banyak bicara, tanpa berusaha membuktikan kebenaran, tanpa rasa putus asa.

-οΟο-

Pemakaman Felicya telah berakhir. Aku dapat melihat orang-orang yang dulunya menggunjing Felicya, menangis tersedu-sedu sambil memandangi nisan. Semua orang yang hadir di pemakaman tak dapat membendung kesedihan karena kehilangan sosok Felicya. Kebanyakan dari mereka menyesal pernah memperlakukan Felicya secara tidak adil.

Diluar dugaanku, Jennie datang dengan membawa sebuket bunga krisan. Bahkan dia sudah banjir air mata sejak datang ke pemakaman. Setelah kejadian beberapa hari lalu, aku mendengar Jennie mendapat skorsing dua bulan, lebih lama dari skorsing yang Felicya dapatkan. Jennie juga tidak diperbolehkan mengikuti ujian, konser dan tur selama Felicya belum memaafkannya. Dia tak punya pilihan lain sekarang selain menyesali kebodohannya. Apalagi sekarang Felicya sudah tidak ada.

Aku berdiri agak jauh dari kerumunan, sebenarnya aku berdiri disini untuk menghindari banjir air mata. Felicya punya kekuatan tersendiri sampai membuatku merasa kehilangan. Ketika pikiran ku hampir melayang, tiba-tiba seseorang menepuk pundakku.

"Joshua?"

Dia tersenyum. "Tindakan mu sudah bagus. Tapi kurasa Tuhan sangat menyayangi Felicya dan membuat dia terbebas dari penderitaan."

"Kau benar." kataku sambil melepas kacamata hitam yang tadinya bertengger dihidung.

"Kau menangis?" katanya setengah tertawa, saat melihat wajahku.

"Ya, kau pikir siapa yang tidak menangis kalau orang tersayangmu pergi dan tidak akan pernah kembali." dan aku keceplosan mengatakan sebuah rahasia. Ah, sial sekali. Disaat seperti ini terkadang perasaanku tak bisa dikontrol.

Joshua tidak langsung menyahut, dia langsung menepuk pundakku lagi.

"Lisya sudah bahagia. Dia tidak membutuhkan kita lagi, dia sudah bahagia dengan dunianya sekarang."

Aku menghela napas pasrah kala Joshua mengatakan hal demikian. Dia mengatakan seolah aku harus menerima kenyataan bahwa sekarang Felicya sudah tak ada dan yang tersisa sekarang hanyalah kenangan tentang dirinya.

Aku agak terkejut ketika seseorang berdiri disampingku dengan pakaian serba hitam. Aku pun menoleh kesamping untuk memastikan siapa orang yang kini berdiri tepat disebelahku, ternyata itu Dennis. Dia pasti sangat terpukul juga dengan kepergian Felicya. Kentara sekali kesedihannya, ia sembunyikan lewat kacamata hitam yang bertengger dihidung.

Aku menyentuh bahu pemuda yang lebih tinggi dariku itu. Baginya Felicya sudah seperti seorang kakak. Dia masih shock atas kejadian yang menimpa Felicya tempo hari lalu.

"Kita adalah orang-orang yang ditinggalkan, bukan berarti kita harus meninggalkan dia begitu saja. Benar kan?"

Dennis menoleh padaku dan tersenyum singkat, menutupi kesedihan. Kemudin kami; aku, Joshua dan Dennis, mendekati makam Felicya setelah suasana mulai sepi. Kami berniat memberikan penghormatan terakhir untuk Felicya. Aku mengatakan hal demikian pada Dennis agar dia tidak langsung pergi tanpa mengatakan sepatah katapun pada Felicya.

Sejak sampai di pemakaman, aku sudah melihat Dennis dan dia hanya berdiri jauh dari makam Felicya. Aku menebak dia masih merasa sedih dan tidak percaya dengan yang terjadi. Sama sepertiku.

Aku melihat Dennis menghela napas, sedetik kemudian dia mulai berkata, "kau sudah berusaha keras, kau juga sudah mewujudkan impianmu. Sayang, waktu kita begitu singkat untuk meneruskan mimpi bersama-sama. Jangan khawatir, aku tidak akan melupakanmu. Semoga di masa depan, saat kita bertemu lagi, kita bisa mewujudkan mimpi bersama."

Harapan yang diucapkan oleh Dennis begitu tulus, aku bahkan bisa merasakannya. Dia adalah salah satu orang yang ada saat Felicya mengalami kesusahan.

Tidak lama setelah Joshua mengutarakan pesan singkatnya untuk Felicya, dia dan Dennis menjauh dari tempat Felicya. Tindakannya seperti seorang kakak yang menenangkan sang adik, padahal sebenarnya dia memberikan ruang agar aku bisa bebas mengungkapkan perasaanku pada Felicya. Yeah, ku akui dia memang peka sekali.

"Hai, Lisya. Aku datang untuk menyampaikan penghormatan terakhir. Well, waktu berlalu begitu cepat dan masalahmu sudah terselesaikan, kini kau dikenang sebagai orang yang hebat, bukan lagi seperti sampah. Orang-orang yang dulu meninggalkan mu kini kembali datang padamu. Sayangnya, kau tidak bisa lagi menikmatinya." aku tersenyum ditengah-tengah ucapanku, "maaf aku baru mengatakannya, kemarin situaasinya tidak bagus, jadi aku mau mengucapkannya sekarang. Aku menyukaimu, Lisya. Aku menyukai dirimu yang selalu terlihat tegar dimata semua orang. Aku menyukaimu karena kau bsia memotivasi dirimu sendiri. Aku juga menyukai mu karena itu kau, Felicya. "

Aku tidak berharap dia bisa hadir dimasa depan dan menjadi bagian dari sisi hatiku. Aku berharap semoga kejadian seperti kemarin tidak terulang lagi, supaya Felicya bisa hidup bebas, sesuai keinginannya dan bisa mewujudkan mimpi.

Aku sangat menyayangi Felicya.

AkasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang