2. Felicya

42 5 5
                                    

Leo

            Kemarin aku memutuskan untuk mengantar Felicya ke apartemennya dan aku cukup terkejut ketika mengetahui kalau ternyata kami adalah tetangga. Ternyata, kamar disebelah apartemenku adalah milik Felicya. Dia bilang sudah sekitar enam bulan disana, namun aku tidak menyadarinya sama sekali. Mungkin karena jadwal kuliah kami berbeda ditambah lagi aku mengambil cuti untuk tur.

            Aku juga kemarin mengatakan padanya, jika dia butuh sesuatu dia bisa pergi ke tempatku. Yeah, meskipun kami baru kenal, tetapi entah mengapa mengobrol dengannya terasa lebih akrab.

            Well, kali ini aku ada kelas pagi. Sembari menunggu Joshua, aku mendudukan diri di podium lapangan sembari menikmati udara pagi. Aku mengambil semester pendek di liburan kali ini karena sebentar lagi aku berada di semester akhir, ditambah lagi kemarin aku sempat tidak masuk selama dua bulan. Joshua juga begitu, dia ikut semester pendek, karena mau mengejar titelnya. Dia bilang, salah satu teater terkenal di Kota menawarinya mengkomposer musik. Tidak tangung-tanggung, kalau itu akan menjadi pekerjaan tetapnya.

            "Hoi, Leo!"

            Aku terkejut ketika seseorang tiba-tiba menepuk bahuku. Ternyata itu Joshua, dia langsung duduk disebelahku sambil tertawa puas. Dia sama sekali tidak menyadari bagaimana ekspresi kesalku saat ini.

           "Bisa tidak pagi-pagi tidak membuatku kaget?"

             Joshua menghentikan tawanya, kemudian menepuk pundakku. "Ya, siapa suruh kau melamun."

"Aku tidak melamun." bantah ku.

"Tapi sayangnya itu kelihatan sekali. Matamu melihat lurus keujung sana, biar ku lihat apa yang membuat mu melamun." Joshua pun mengikuti arah pandangku yang tadi.

"Oh, Felicya!" serunya, kemudian menatap ke arahku. "Kau melamun, melihat gadis itu."

Aku pun mengernyitkan alis. "Aku tidak...." lantas mataku secara tak sengaja mengikuti arah pandang Joshua dan memang benar diujung sana ada Felicya yang sedang mencoba berjalan tanpa menggunakan kruk, diatas podium basket. Sepertinya dia sengaja keluar disaat Lanfrach sedang sepi.

"Kau ketahuan, teman." Joshua langsung memukul pundakku pelan sembari tertawa.

"Aku baru saja melihat dia ada disini, bodoh!" umpatku pada Joshua, karena memang benar, sejak tadi aku sama sekali tidak melihat Felicya.

Joshua menghentikan tawanya, kali ini dia menatapku serius. "Mau kuberitahu sesuatu?"

"Apa?"

"Felicya adalah orang berbakat dan sampai detik ini... aku masih belum mempercayai rumor tersebut."

Aku mengernyitkan alis, mendengarkan Joshua bercerita.

"Semua orang benar-benar menyanjung Felicya, bahkan sampai ada orang yang secara terang-terangan ingin dekat dengan Felicya. Entah itu demi popularitas atau memang benar-benar ingin berteman. Tapi menurutku mereka mendekati Felicya hanya untuk popularitas...."

Aku masih mendengarkan Joshua yang terdiam sebentar sebelum melanjutkan ceritanya.

".... tetapi semuanya berubah ketika rumor itu muncul. Felicya dituduh memplagiat naskah milik Jennie. Dan semua orang yang awalnya mengagung-agungkan Felicya perlahan menjauh dan memandang Felicya seperti sampah. Bahkan teman baiknya sekalipun. Mungkin aku bisa dikatakan satu dari orang-orang yang hanya diam ketika Felicya mengalami pembullyan." lalu Joshua menatapku. "Maka dari itu, apa kau mau membantu Felicya untuk memperbaiki semuanya? Kita bantu dia."

Kedengarannya itu ide yang bagus. Berhubung aku tinggal dekat dengannya dan kupikir kita bisa menjadi teman.

"Oke, aku setuju." jawabku sambil mengangguk. "Kalau kau mau bertemu dengannya, sekedar mengajaknya mengobrol, kau bisa pergi ke tempatku, dia tinggal disebelah apartemenku."

"Wow, serius? Kalian bertetangga?"

"Yeah, aku baru tahu keamrin."

"Ah, aku baru ingat, dia orangnya tertutup. Meskipun dia punya popularitas yang tinggi, tapi dia selalu merasa kesepian."

Satu fakta lagi yang kutahu tentang Felicya. Sepertinya memang benar ada yang salah dengan rumor yang menyebar di Lanfrach.

-οΟο-

Setelah kuliah usai, aku tidak langsung pulang ke apartemen. Aku memutuskan singgah sebentar ke gedung teater untuk mencoba musik baru yang tadi sempat ku praktekan pada Mr. Joan. Beliau bilang aku perlu menyempurnakan nada yang ku gunakan lagi.

Ah, ini benar-benar melelahkan. Setelah pulang dari tur aku tidak bisa beristirahat dengan tenang. Ada nada-nada aneh dalam otakku yang minta segera ditulis sebelum menghilang ditelan bayang-bayang lain.

Saat aku membuka pintu ruang teater yang besar, aku mendengar sebuah suara. Bukan dari iringan musik, tetapi dari aliran pita suara seseorang.

"You never brought me flowers, never held me in my darkest hours, and you left it so late that my heart feels.... Nothing... nothing..... in towers....."

Suaranya bagus, tetapi terdengar seperti suara keputusasaan, seolah menyimpan banyak kesedihan didalam suaranya.

"Once we were made like towers, everything could've been ours, but you left it too late now my heart feels.... Nothing... nothing... at all........"

Siapa yang menyanyi ditengah ruang teater begini? Setahuku, ruang teater ini sangat tertutup. Mereka tidak mengijinkan siapapun masuk, kecuali untuk kepentingan akademik atau tur.

Aku memilih masuk melalui pintu sisi gedung dan saat aku masuk aku melihat seseorang duduk diantara barisan kursi, dia sama sekali tak menyadari kehadiranku. Aku pun menyipitkan mata agar bisa melihat siapa yang saat ini tengah berada didalam gedung teater ini.

Ternyata itu Felicya.

Aku pun menghampirinya dengan membuat langkah kecil supaya tidak mengganggu aktivitas gadis itu. Tidak lama setelahnya, aku pun berhasil duduk disebelah Felicya dan dapat kulihat bagaimana ekspresi terkejut Felicya begitu menyadari kehadiranku yang tiba-tiba. Terlihat dari matanya yang terbelalak. Dan kalian harus tahu bagaimana ekspresi wajahnya saat ini. Sangat imut.

"Leo!" pekiknya sedikit kencang, saking kagetnya. Aku pun cuma bisa terkikik. "Dari kapan⸻"

"Sepertinya kau sedang latihan vokal, ya? Apa aku mengganggu?"

Dia buru-buru menggelengkan kepala. "Sama sekali tidak." kemudian aku melihat dia mencoba berdiri dengan kruknya. "Kau mau pakai ruangannya, ya?"

Aku pun menggeleng. "Kau mau kemana?"

"Ah... a-aku mau keluar." katanya.

"Tidak usah, disini saja. Aku tahu kau sedang ingin sendiri sekarang, tapi sendiri disaat terpuruk itu berbahaya."

"Berbahaya kenapa?"

"Kau pikir berita tentang bunuh diri karena stress dan pembullyan itu tidak berbahaya?"

Kemudian ia terkekeh dan melihat dia duduk kembali disebelahku. "Aku tidak melakukannya sampai sejauh itu." katanya. "Tapi terima kasih sudah mengkhawatirkanku." kulihat dia tersenyum penuh makna.

"Kau bisa cerita padaku kapan saja, kalau kau butuh. Aku akan selalu ada sebagai teman untukmu." ujarku. Kemudian aku sedikit mengalihkan pembicaraan, "eh, iya... omong-omong kita belum resmi jadi teman." selorohku sembari mengangkat kelingking kananku. Kemudian aku menatapnya. "Teman?"

Dia membalasnya dengan menautkan kelingking kanannya dengan milikku, sembari tersenyum.

"Teman." katanya.

Saat melihat senyumnya, entah mengapa aku menemukan kilauan cahaya dibalik iris hitam itu. Matanya berbinar. Dan aku juga menemukan fakta, kalau saat ini dia sangat senang dan terharu disaat yang bersamaan.

AkasiaOnde histórias criam vida. Descubra agora