. . . . 7

51 1 0
                                    


[silakan play media kemudian ambyar bersama Takashi]

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

[silakan play media kemudian ambyar bersama Takashi]

-
-
-


Layu.

Adalah yang dipikirkannya ketika memandang pantulan wajahnya di cermin. Mengkerut dan tak berdaya. Persis seperti itu, dia layu.

Pagi itu pada akhirnya, dia menangis.

Tumpah. Semuanya tumpah. Jatuh ke lantai dan bergumulan pada tubuhnya sendiri. Dia menangis seperti anak yang sakit sehabis disuntik duri. Pecah begitu saja. Seperti seseorang baru saja mencabut bendungan di garis matanya dan segalanya tumpah dengan lepas. Dia menangis tersedu dan bukannya meraung-raung seperti yang dipikirkan.

Dan entah bagaimana caranya, dia sangat, sangat bersyukur.

Dia bangkit dan mengusap pipinya, jejak air matanya tertinggal di karpet. Bahkan semudah itu dia hentikan tangisnya. Beban di tubuhnya semerta-merta terangkat. Hatinya terasa seringan bulu. Rasanya begitu baik. Mungkin ini adalah bagaimana dia mengucapkan selamat tinggal.

Mungkin gadis itu adalah anugerah yang membuatnya tak pernah lupa menjadi manusia. Bahwa menjadi penguasa bukan berarti sanggup menggenggam dunia, namun melepaskannya. Dunia tak pernah menjadi milik seseorangpun, dan tak siapapun pantas menuntut macam-macam.

Mungkin ini memang saatnya untuk itu.

***

Selayaknya burung-burung yang terbang pada senja, kembali ke sangkar setelah perburuan. Bergerumul dalam koloni pada satu tujuan pasti tanpa menoleh ke belakang. Takashi kembali menjalani harinya seperti saat gadis itu tidak pernah ada.

"Taka-san, kau kelihatan lebih ganteng, ya."

Takashi melirik Hideo sedang bersandar pada tiang yang menyangga tenda. Dilemparkannya seringaian kecil. "Hati-hati, nanti roboh."

"Itu tandanya potongan rambut itu cocok untukmu, Senpai-san," ucapnya masih cengar-cengir sambil sedikit menjauhi tiang penyangga. "Mana es lemonku? Lama sekali kau ini."

Takashi memasukkan pipet ke dalam gelas yang berisi minuman lemon, kemudian meminumnya beberapa teguk. Barulah setelah itu diketukannya gelas itu di depan dada Hideo. "Sudah sana temui Misaki."

Setelah Hideo pergi, Takashi duduk sejenak di dalam tenda minuman lemon segar. Cuaca panas membuat orang-orang menghampiri tenda tersebut cukup sering.

"Kamiya, kau beristirahatlah lebih dulu," pinta Yamamoto. Takashi menurut sehingga mereka bisa berjaga secara bergantian. Dia melangkah keluar dari tendanya, menghampiri salah satu tenda dan membeli minuman dingin sebelum mengambil jatah makan siangnya. Diteguknya air mineral yang baru diambilnya dari lemari es. Kerongkongannya yang kering terbebaskan dari dahaga.

Terdengar nyanyian merdu dari tengah area, panggung pertunjukkan menampilkan paduan suara anak disabilitas. Dia mengamati melodi lembut itu dari tempatnya berada, di tengah para pengunjung yang berlalu-lalang pada gerai-gerai yang menyediakan makan dan pernak-pernik. Hari itu dia menyibukkan dirinya pada acara amal yang hampir terlupakan jika Misaki tidak mengingatkannya. Secara harfiah, Takashi tidak pernah sadar telah menerima ajakan tersebut, tapi apa boleh buat?

Beautiful StrangerWhere stories live. Discover now