. . . . 1

122 7 2
                                    


--

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

-
-

Angin akhir musim gugur sudah hampir menggigilkan tulang rusuk pemuda itu. Rasa lapar semakin mengancam pertahanannya meskipun tubuhnya sudah dibalut tiga lapis pakaian sekalipun. Pemuda itu menjentikkan api dari pemantiknya hingga ujung rokok di sela jari tangannya terbakar. Miris sekali melihat keadaan lambungnya yang belum terisi makan apapun, tapi sudah berani dijejalinya dengan asap tembakau. Pemuda itu menghirup rokoknya dalam-dalam. Membiarkan paru-parunya menghangat di tengah-tengah kota yang sebentar lagi akan diselimuti salju.

Menghisap habis rokoknya pada ujung jalan, ditekannya ujung puntung itu pada tong sampah. Tak jauh setelah meninggalkan tempat itu, tanpa sengaja ia melintas di samping sebuah toko yang menampilkan etalase pakaian. Pantulan dirinya yang tergambar samar di kaca menarik pandangannya di bandingkan apapun yang sedang terjajakan di dalam. Rambutnya yang acak sudah melebihi ujung telinga. Kumis tipis juga sudah tumbuh di bawah hidungnya. Dia tampak lusuh dan tak terawat, tapi pemuda itu tetap memandangi cerminannya tanpa ekspresi. Dia dulu tak seperti ini.

Dia.. pernah lebih baik dari ini.

Sudah sejak kapan? Entahlah. Yang dia ingat hanyalah bahwa ia pernah tersenyum pada hal-hal remeh—memberi respon pada hal-hal sepele. Ia ingat dulu pernah tau bagaimana cara bersenang-senang. Sekarang keadaannya seratus delapan puluh derajat berbeda. "Pantang mengeluh"-pun seakan telah tertanam dalam benaknya. Bukan karena dia memang seorang pria awal tigapuluhan yang bijak, melainkan karena dia sudah terlalu lelah untuk menyesali keputusan-keputusan yang ia buat. Mati rasa, menurutnya itu sudah kata yang paling tepat untuk menggambarkannya.

Siapa sangka. Tempaan dunia memaksanya untuk bertahan, menopang beban lebih berat dari yang bisa dia bayangkan. Dia sudah pernah berada di titik terendah. Diperintah, bekerja dengan mengandalkan otot dan kegesitan, menjadi orang rendahan ketika tidak semestinya. Tidak makan seharian demi mengumpulkan uang untuk membangun hidupnya dari awal. Bekerja apa saja dan selalu berpindah-pindah. Dia sudah pernah dilempar, ditarik lagi, dijatuhkan, diseret lagi, dihempas lagi. Seorang diri. Selalu mencoba bertahan sekuat tenaga seorang diri.

Dia sadar bahwa semua memang disebabkan oleh dirinya sendiri. Bodoh, pikirnya. Menghabiskan waktunya saat muda untuk bersenang-senang, membeli barang-barang bagus, memanjakan dirinya bak cassanova. Betapa tampannya dia dulu dan betapa dipujanya. Hari-hari lalu yang indah. Dia begitu terlena dengan segala kesejahteraan itu tanpa berpikir panjang bahwa ada saat ketika kau bisa didepak dari keluargamu. Kau tak pernah mengira betapa pentingnya uang jajanmu setiap hari untuk dijadikan modal hidup jika saja kau dan Ayahmu berbeda pendapat dan kau akhirnya lebih memilih untuk pergi dari rumah.

Dan itu menjadi penyesalan terbesarnya.

Saku jasnya bergetar ketika pemuda itu sampai di salah satu sisi jalur penyebrangan Tokyo. Dia merogoh saku, mengambil ponselnya. Nama Hideo tertera di sana. Dahinya berkernyit, ada urusan apa sampai lelaki itu meneleponnya. Padahal, mereka sempat bertemu di kantor tadi. Tidak punya alasan untuk menolak, dia pun menjawab panggilan tersebut.

Beautiful StrangerWhere stories live. Discover now