Let me run along with you

1.9K 149 19
                                    

Akankah kamu berada di sisiku?
Ayo kita berlari bersama, saling berdampingan.
Berjanjilah padaku.

•••

Anais mengangkat kepalanya, mencoba mengambil udara sebanyak-banyaknya untuk memenuhi rongga parunya.

Kolam renang berukuran 50m x 25m ini cukup menguras tenaganya. Seluruh tubuhnya seolah lemas.

Inginnya Anais berhenti dulu untuk istirahat. Dia ingin menghirup udara beberapa saat atau mencoba menghangatkan dulu tubuhnya meskipun hanya berbalut handuk, tapi dengan kemampuan Anais yang seperti ini terpaksa dia harus kembali berlatih.

"Bagaimana, bu?" tanya Anais dengan napas yang masih ngos-ngosan.

Setelah ibu Risti melihat stopwatch di tangannya, dia mendesah pelan lalu menghampiri Anais sambil berjalan di pinggir kolam.

"Ibu rasa kamu masih kurang, Anais. Kamu itu ikut dalam gaya bebas putri dan yang sangat di butuhin di sini adalah kecepatannya."

Anais mengangguk mengerti. Jadi Anais masih kurang cepat. Tapi Anais pikir juga tadi dia sudah mengerahkan segala tenaganya.

"Kamu bisa fokus dulu buat olimpiade ini, kan? Kalau fokus kamu masih terbagi, ibu jadi ragu buat ngasih kesempatan ini sama kamu," lanjut bu Risti.

Tidak!

Jangan sampai bu Risti memberikan kesempatan ini pada orang lain. Anais ingin Anais lah yang menjadi perwakilan sekolah.

Dia ingin membuat sekolah dan papanya merasa bangga.

Setidaknya hanya ini harapan Anais agar dia tidak di bandingkan dengan Adel.

"Anais bakal berusaha lebih baik lagi bu, tolong kasih Anais kesempatan."

Ibu Risti mencoba menimbang-nimbang keputusannya. Anais itu sudah banyak menghasilkan prestasi di cabang olahraga ini.

Dia tahu kalau Anais itu punya potensi untuk menang, hanya saja bu Risti sedikit kecewa dengan hasil latihan Anais akhir-akhir ini.

"Ibu pengen kamu jadi lebih baik lagi, tolong buktiin itu pada latihan selanjutnya."

"Iya, Bu. Anais janji," kata Anais.

Setelah mengatakan itu, bu Risti segera pamit untuk pulang lebih dulu meninggalkan Anais di kolam renang indoor.

Anais memukul permukaan air kolam sebagai bentuk kekecewaannya.

"Argh!"

Dia kecewa pada dirinya sendiri

Sial.

Anais, kau payah!

Kenapa dia bisa selambat itu?

Anais harus banyak berlatih lagi. Dia tidak mau papanya lebih bangga pada Adel daripada dirinya.

"Kenapa hm?" tanya seseorang yang tiba-tiba masuk.

Anais menoleh mengikuti sumber suara.

Ternyata di sana ada Davin yang masih menggunakan seragam di balut hoodie abu-abu.

"Davin," rengek Anais.

"Sini naik, kamu pasti kedinginan," pinta Davin lembut lalu Anais pun mulai naik dari kolam.

Davin pun menghampiri tas Anais dan mengeluarkan handuk lalu berjalan menghampiri gadisnya.

Anais berjalan dengan lesu dengan  mengerucutkan bibirnya lalu berjalan menghampiri Davin.

Keduanya bertemu di tengah, dengan Davin yang merentangkan handuk lebar Anais dengan kedua tangannya dan menempelkan handuk itu seperti seolah Davin yang tengah memeluk Anais.

"Jangan meluk aku, nanti hoodie kamu basah," kata Anais.

Dia tidak mau membuat hoodie Davin kebasahan karena tubuhnya yang baru saja keluar dari kolam.

"Gakpapa, nanti hoodie-nya tinggal aku buka," kata Davin lembut.

Bukan tanpa sebab Davin melakukan itu, hanya saja tadi dia memang mendengar pembicaraan gadisnya dengan ibu Risti.

Davin sangat tahu, pasti saat ini Anais sedang merasa sedih dan hatinya terluka dengan ucapan ibu Risti tadi.

Davin tidak mau melihat Anais bersedih apalagi sampai bersedih di hadapannya.

"Davin, aku lagi sedih, bete--"

"Iya aku tau," kata Davin cepat.

Dahi Anais mengernyit bingung. "Dih sok tau!"

Davin mengangguk. "Aku tau kamu lagi sedih, kesel, marah."

"Kenapa bisa tau? Kamu--"

"Aku juga ikut ngerasain kok." Davin lalu mengusap punggung Anais lembut. "Jangan sedih, aku tau kamu pasti bisa."

Entah kenapa Anais merasa tersentuh dengan ucapan Davin, tapi tunggu dulu, apa tadi Davin menguping pembicaraannya dengan bu Risti?

Tapi itu juga tidak masalah, berarti Anais tidak usah menceritakan rasa sesak itu lagi pada Davin.

Ini juga yang Anais suka dari Davin, kadang Davin bisa lebih peka dari siapapun. Sehingga tak perlu Anais menceritakannya, Davin akan selalu ada untuknya dan selalu menyuruhnya agar tidak usah sedih lagi.

Anais bingung harus berkata apa, dia hanya ingin terus memeluk tubuh dan mencium aroma khas Davin yang menenangkan.

Seolah rasa sedih dan kecewa itu hilang, Anais tersenyum sambil terus memeluk Davin, tak peduli bahkan hoodie itu ikut basah padahal tadi dia sendiri yang melarangnya duluan.

Di saat down seperti ini memang hanya Davin yang Anais butuhkan.

"Aku harus jadi perwakilan sekolah dan harus menang, Dav," lirih Anais. "Biar papa bisa bangga sama aku."

Deg.

Entah kenapa perasaan Davin menjadi tidak enak. Seperti ada yang aneh di sini.

"Kamu akan jadi perwakilan sekolah dan kamu akan menang, kalau pun ada yang gak sesuai sama harapan kamu, setidaknya kamu udah berusaha sangat keras," kata Davin. "Papa kamu pasti akan tetep bangga, begitu juga almarhumah mama Gina."

Anais menggelengkan kepalanya. "Papa gak pernah bangga sama aku, papa tuh pengennya aku berprestasi di akademik," lirih Anais.

Davin melepaskan pelukannya, memegang kedua bahu Anais. Mencoba menatap mata hitam legam Anais. Entah kenapa, terlihat sekali ada sorot kecewa dan kesedihan di sana.

"Kamu Anais Nathania, kamu bukan gadis cengeng. Kamu harus jadi gadis yang kuat dan pantang menyerah," kata Davin mencoba memberi semangat pada gadisnya. Dia ingin gadisnya tidak kalah pada keadaan. "Aku bakal lari di samping kamu, aku gak bakal ninggalin kamu sendirian di belakang."

Anais tersenyum, berusaha menjadikan kata-kata Davin tadi benar-benar masuk ke dalam hati dan pikirannya.

"Janji buat lari bareng di samping aku kan, Dav?" tanya Anais mengacungkan jari kelingkingnya.

Davin pun menautkan jari kelingkingnya. "Aku janji."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Feeling Blue ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang