"Jangan kenalin seseorang cuma berdasarkan 'Katanya' doang."

Khaliza mengangguk-angguk kemudian mengambil dan memeluk sebuah buku tebal, entah buku apa. "Lo ngapain sih masih ikutin gue?"

"Gatau. Insting gentleman gua berkata, gua ga bisa ninggalin cewek sendirian malem-malem disekolahan."

Khaliza berbalik dan mendongak, menatap laki-laki jangkung itu, "Terus lo mau apa? Mau nganterin gue pulang?"

"Mungkin..." balasnya, ragu.

"Okay, thanks. Ayo pulang sekarang!" Gadis itu meraih tangan Arsen kemudian sedikit menariknya menuju tempat parkir.

"Gua cuma bawa helm satu." ucap laki-laki itu sembari menunjukkan helm hitamnya.

Motor kawasaki ninja hitam itu, sudah identik dengan identitasnya sebagai Rascal. Karena semua anggota Rascal, kabarnya mereka juga adalah anggota dari Komunitas Kanitam (Kawasaki Ninja Hitam) semacam komunitas anak motor yang elite di Jakarta.

Arsen lebih dulu menaiki motornya hingga sampai didepan pagar sekolah sebelum akhirnya membiarkan Khaliza naik keatas motornya dan melajukan motor itu layaknya kesetanan.

Jalanan malam itu sepi, sunyi dan gelap. Hanya lampu jalanan saja yang menyinari jalanan itu, Arsen mempercepat kecepatan motornya. Udaranya dingin, dia yakin Khaliza juga pasti kedinginan. Itulah mengapa ia menambahkan kecepatan motornya.

"ABIS INI NANTI ADA BELOKAN KE KIRI, BELOK YAAA!!" jerit gadis itu, takut Arsen tak mendengar ucapannya.

"SIAPPP!!" sahut Arsen, teriak juga.

Arsen menelusuri jalanan itu sesuai dengan tuntunan Khaliza hingga mereka sampai disebuah rumah besar bernuansa coklat.

Gadis itu langsung turun dari motor Arsen kemudian merapihkan rambutnya yang sedikit berantakan karena tertiup angin. "Thank you ya, Sen! Salken juga, btw."

"Sama-sama, salken too."

Gadis itu tersenyum dan hendak beranjak pergi, namun tiba-tiba ia berbalik lagi. "Sen, wait!" ucapnya saat melihat Arsen hendak pergi juga.

Arsen terhenti, ia menatap Khaliza dengan tatapan seolah-olah ia bertanya 'Apa?'

"Gue boleh minta kontak lo ga?"

"WhatsApp?"

Khaliza mengangguk antusias.

"Lu ga lagi modus kan?" tanya Arsen, memastikan.

"Nggak lah, gila! Gue cuma mau temenan doang, lo udah baik!"

"08********" Arsen menyebutkan nomornya pelan-pelan sambil menunggu gadis itu mencatatnya diponselnya.

"Insta?"

"@arsenkharega. Inget, jangan bocorin kesiapapun tanpa seijin gua ya, gua ga suka!"

"Iya bawel, sana lo!"

"Dih ngusir." keluh laki-laki itu sembari membawa motornya mundur beberapa langkah, "Bye!" pamitnya lalu ia mengacungkan jari tengahnya sebelum akhirnya dia melajukan motornya dengan sangat kencang. Lebih kencang daripada tadi.

Mungkin dia bosan hidup, begitu pikir Khaliza.

Arsen mencoba mengusir mimpi buruknya. Ketika dia tiba dirumah, mimpi buruk itu seolah tiba tanpa diundang. Ia selalu teringat kenangan pahit yang menjadi alasan mengapa sekarang ia tinggal sendirian.

Ia yakin ayahnya masih peduli padanya.

Jika tidak, kenapa Razel masih mentransfer sejumlah uang padanya setiap bulan? Tapi yang Arsen butuhkan bukanlah uang, melainkan kehadiran sosok Razel dirumah itu.

Yang Arsen punya, hanyalah Razel. Namun pria itu terlalu larut dalam rasa kecewanya sehingga memutuskan untuk pergi meninggalkan semuanya.

Arsen sakit, tapi ia berusaha untuk tetap kuat. Ini semua salahnya, karena menutupi kebenaran. Mungkin, inilah karma untuknya.

Laki-laki itu naik kebalkon kamarnya dilantai 2. Melihat bintang yang bertebaran dilangit malam ini. Sudah jam 21.00 WIB tapi dia belum mengantuk.

Ganang:
Reg, lo udah balik?

Arsen tersenyum melihat notifikasi chat itu. Setidaknya, masih ada yang mengingat dirinya.

Me:
Udeh
Ngapa lu? Kangen?

Ganang:
Najis

Arsen tertawa, ia mendongak, kembali menatap langit yang indah itu. Andai saja dia bisa berkumpul dengan Carmilla dan Razel seperti dulu lagi. Walau Carmilla kasar, tidak apa-apa. Asal dia masih bisa melihat senyuman diwajah Razel.

Sebenarnya, Arsen adalah anak yang baik. Hanya saja, orang-orang belum benar-benar mengenal dirinya.

Semua berkat didikan ayahnya yang bijaksana itu. Ayahnya tampak, charming, dan tinggi. Semua itu, menurun pada Putra keduanya, Arsen Raditya Arkharega.

Razel selalu mengajarkan putranya untuk tidak menahan rasa ingin menangis. Razel selalu bilang "Untuk apa air mata diciptakan untuk perempuan dan laki-laki kalau hanya perempuan saja yang boleh menangis?"

Ucapan itu selalu Arsen ingat. Razel juga pernah bilang, "Semua orang entah itu perempuan maupun laki-laki, saat baru lahir juga pasti menangis. Jadi, jangan pernah merasa malu hanya karena menangis. Harusnya kamu bangga, kamu bisa melawan rasa malu yang dirasakan oleh puluhan laki-laki diluar sana. Kalau kamu ga malu untuk menangis, itu tandanya kamu sudah benar-benar dewasa. Menangis itu memang perlu, Arsen."

Arsen tersenyum mengingat semua itu. Ajaran Razel yang itu, tak membuatnya cengeng sih. Tapi Arsen masih bisa menangis walau ia tampak sangar dan galak pada saat diluar rumah.

Menurut Razel, Arsen sebenarnya lembut. Tubuh dan umurnya saja yang besar, jiwa putranya itu masih jiwa anak kecil. Arsen hanya bersikap manja didepan orang-orang tertentu.

Semua itu bukan tanpa alasan. Bagaimanapun juga, manusia butuh perhatian. Arsen tak pernah mendapatkan perhatian yang cukup dari kedua orang tuanya. Tapi, ia senang. Setidaknya, ia masih punya kedua orang tua yang lengkap, yang masih bisa menjadi sebuah cerita.

Arsen menyeka air matanya yang turun secara tiba-tiba. Ia tersenyum lebar, agar tidak menangis. Kemudian ia menatap langit, "Abang kalau dulu sempet lahir, kira-kira dia bakal ngapain ya liat adeknya nangis?" laki-laki itu terkekeh.

Razel dan Carmilla pernah bercerita. Anak pertamanya itu meninggal dikandungan saat detik-detik ia akan lahir. Sepasang suami istri itu bahkan sudah memiliki nama untuk putra pertamanya itu. Tapi sayangnya, semua itu hangus saat mereka mengetahui bayi dalam kandungan itu, meninggal.

Vhiyu Raditya Arkhareza. Jika ia lahir, mungkin ia akan tampan seperti adik keduanya, Arsen. Dan mungkin, dia akan sangat menyayangi Acha, kalau Acha masih hidup...

*DDDRTTT*


Arsen menatap ponsel yang bergetar ditangannya.

Mama
Besok mama jemput, kenalan sama papa barumu.

Arsen tersenyum tipis. Papa? Baginya, Razel adalah Papa satu-satunya. Dia tak sudi memanggil pria selingkuhan mamanya itu, dengan sebutan Papa. Walau Carmilla dan duda itu sudah menikah...

ARSEN (END)Where stories live. Discover now