“Jadi?”

“Maksudnya?” Mendadak, kecanggungan membuat Eira bodoh.

“Jadi apa kamu juga mencintai anak saya?” Pratomo akhirnya mempertegas.

“Saya tidak tau. Maksud saya, belum tau.” Jeny langsung mendelik menatap Eira mendengar jawaban itu. Sungguh jawaban macam apa yang Eira berikan? Cinta ya cinta, enggak ya enggak, ini kok malah belum tau.

“Eira, apa ada peluang untuk kamu bisa mencintai anak saya?” Eira bergeming. Dia tidak menyangka Pratomo akan mencecarnya dengan pertanyaan seperti ini. Harusnya Eira tidak lupa bahwa Dafi versi tua ini adalah pengacara. Jadi sudah menjadi keahliannya untuk mengorek sesuatu sampai ke dasar.

“Hubungan saya dengan Fabian tidak terlalu baik. Bahkan mungkin anak itu sangat membenci saya. Satu kali pun dia tidak pernah meminta sesuatu dari saya meskipun dia tau Papanya bisa memberikan kemewahan dan banyak hal,” tutur Pratomo dengan tatapan sedikit berkaca-kaca. Eira tau mengingat hubungan ayah dan anak diantara Pratomo dan Dafi seperti membuka luka yang tidak pernah kering.

“Bahkan saat dia tau Mamanya menghubungi saya untuk mengeluarkan dia dari penjara, Fabian ngamuk dan hampir menyerahkan diri lagi ke polisi karena dia tidak sudi menerima bantuan dari saya. Beruntung tangisan Mamanya masih bisa menghentikannya berbuat nekat.”

Guratan kernyit terlihat jelas di wajah Eira. Dia tidak menyangka Dafi sebenci itu pada Papanya. Anak itu benar-benar banyak tingkah. Tapi Eira paham, Dafi pasti punya alasan untuk itu.

“Saya selalu berusaha mendekati Fabian dengan banyak cara tapi selalu gagal. Pemberian saya semua ditolak. Bahkan saat kuliah pun, dia lebih memilih kerja serabutan daripada menerima uang dari saya.”

Ya Tuhan, pantas saja Dafi pernah bilang kalau dia pernah melakukan banyak pekerjaan. Ternyata semua demi kuliah dan bertahan hidup. Memory Eira tiba-tiba terbuka pada percakapan dirinya dengan Dafi beberapa waktu lalu.

“Sampai Mamanya meninggal, akhirnya saya datangi dia lagi. Saya tawarkan bantuan lagi. Saya tanya dia mau apa. Kamu tau hal apa yang Fabian minta untuk pertama kalinya pada saya?” ada jeda untuk Pratomo menghela napas, “Kamu, Eira. Fabian menyebutkan nama kamu.”

“Maksudnya?”

“Dia bilang dia sudah tidak punya semangat hidup lagi setelah Mamanya pergi kecuali seorang perempuan bernama, Eira Syarizza. Dia mau saya membuatnya berada di dekat kamu.”

Hati Eira seperti dihantam sesuatu yang keras. Dia tidak menyangka akan sedramatis ini. Dia tidak mengira seseorang menjadikan dirinya semangat hidup. Eira meremas tangan Jeny di bawah meja. Seolah tau perasaan sahabatnya, Jeny menggenggam tangan Eira erat.

“Akhirnya ya seperti sekarang. Fabian mengajar di sekolah bersama kamu,” pungkas Pratomo sebelum akhirnya dua orang pramusaji datang membawakan makanan yang mereka pesan.

“Satu hal yang saya tau dari permintaan Fabian. Dia betul-betul menginginkan kamu. Dia mencintaimu bahkan sampai menembus batas prinsipnya yang dulunya menolak saya habis-habisan.” Pratomo mulai bicara lagi setelah pramusaji pergi. Laki-laki itupun kemudian menyendok barbeque meetballs with mashed potatoes pesanannya setelah memberikan gesture mempersilahkan pada Eira dan Jeny untuk makan.

Eira meraih jus semangka pesanannya dan menghisapnya dalam-dalam. Dia masih tercengang dengan apa yang diungkapkan Pratomo.

“Eira,” Pratomo kembali buka suara setelah keheningan menyelimuti mereka selama menikmati makanan. Eira mendongak, kembali menatap Pratomo.

“Saya tau saya ini brengsek. Saya bukan laki-laki yang pantas disebut ayah yang baik karena sudah meninggalkan Fabian dan Mamanya.” Pratomo menjeda. Ada helaan napas berat disana. Jelas sekali laki-laki itu merasa bersalah atas masa lalunya.

Hello My Future: Who are You? (Completed)Where stories live. Discover now