22- Kata Hati

395 78 36
                                    

Selamat membaca 😊

--------

Dihari terakhir UTS ini, Eira dibuat bingung dengan sebuah panggilan telepon dari seseorang yang dia sungguh tidak pernah sangka. Sebuah panggilan yang memintanya untuk tidak memberi tau Dafi soal ini hingga akhirnya Eira terpaksa melibatkan Jeny sebagai alasan.

Sorry ya Jen, kamu jadi terlibat,” kata Eira pada Jeny saat mereka baru saja duduk di sebuah restoran. “Aku bilang ke Dafi juga kalau aku mau belanja sama kamu, biar dia nggak curiga dan maksa anterin aku pulang.” Ya, sepanjang UTS ini, Eira memang setiap hari pulang bersama Dafi. Entah apa yang Dafi katakan dan jaminkan pada Erlangga hingga adiknya itu percaya padanya begitu saja. Atau mungkin saja, Angga mulai lelah mengurusi kakaknya yang merepotkan ini.

“Iya, Ra. Kamu tenang aja. Sekarang, yang perlu kamu lakuin adalah jelasin kamu sama Dafi kenapa sampai begini? Kalian tiap hari pulang sekolah bareng. Ya meskipun main kucing-kucingan, tapi orang sekolah tetap tau dan kasak-kusuk dibelakang kalian. Terus ini lagi, tadi kamu bilang kamu ditelpon Papanya Dafi dan diajak ketemu disini? Oh my God, Eira! Hubungan kamu sama Dafi itu sudah sejauh apa sih sebenarnya?”

Eira menggigit bibir. Dia tercengang sendiri mendengar kalimat Jeny yang begitu panjang dan lebar tanpa jeda. Dia menghela napas hendak menjawab. Namun, kehadiran sosok laki-laki paruh baya dengan kemeja biru langit berbalut waistcoat navy menginterupsi mereka.

“Selamat siang, Eira,” sapa laki-laki itu sambil mengulurkan tangannya yang langsung disambut Eira dengan menyalaminya.

“Ini, teman saya, Jeny,” kata Eira canggung.

“Halo,” Jeny mengulurkan tangannya.

“Saya Pratomo, Papanya Fabian—maksud saya Dafi, Fabian Dafito.”

“Maaf, Pak Pratomo, saya bawa teman. Maaf sekali,” tutur Eira. Dia berusaha bersikap santai tapi gagal total.

It's ok. Santai saja. Silahkan duduk!” Pratomo memberikan gesture mempersilahkan hingga Eira dan Jeny kembali duduk. “Saya paham, kamu pasti ragu untuk menemui saya sendiri. Tidak masalah,” lanjutnya setelah duduk. “Oiya, sudah pesan makanan?” Eira dan Jeny kompak menggeleng.

“Kita pesan jus saja,” kata Eira yang langsung mengundang tatapan protes dari Jeny. Bagaimanapun ini adalah aji mumpung alias kesempatan bisa makan hidangan di salah satu restoran mahal di Jogja yang belum tentu bisa didatangi istri PNS seperti Jeny dalam setahun sekali. Sayang seribu sayang dong kalau mereka hanya pesan jus.

“Ini kan jam makan siang, jadi kalian harus makan, terutama kamu, Eira. Saya nggak mau Fabian marahin saya kalau kamu sakit karena telat makan gara-gara saya.” Jeny langsung bernapas lega saat mendengar Pratomo tidak langsung menyetujui untuk hanya memesan jus. Dia segera membolak-balik buku menu.Berbeda dengan Jeny, Eira justru geli sendiri setelah menangkap satu hal bahwa ternyata sikap berlebihan Dafi yang aneh itu menurun dari Papanya.

Beberapa nama menu makanan dan minuman akhirnya di sebutkan mereka pada pramusaji. Sembari menunggu pesanan, Pratomo menatap Eira lekat penuh penilaian membuat Eira canggung sendiri.  Ditambah lagi tatapan Pratomo sangat mengintimidasi meskipun ekspresinya terlihat santai. Ya Tuhan, ini tatapan yang diwarisi Dafi juga.

“Sejauh apa hubungan kamu dengan Bian, Eira?” Pratomo akhirnya buka suara.

Eira sedikit terhenyak. Dia tidak menyangka akan ditembak langsung begini. “Em—itu kita masih sebatas teman,” jawab Eira ragu.

“Anak saya mencintai kamu. Kamu tau kan?”

Eira mengangguk ragu. “Ya, Dafi—Dafi sudah menyatakan perasaannya.” Perkataan Eira membuat Jeny melongo. Bagaimana bisa dia tidak tau soal itu. Eira sungguh tega tidak menceritakan ini padanya.

Hello My Future: Who are You? (Completed)Where stories live. Discover now