"Please, be my lover again."

Kali ini Lovatta mengangguk sangat cepat tidak memikirkan apapun lagi. Dia tak mau kehilangan momen dan kesempatan lagi. Entah ke depan akan jadi seperti apa tapi dia yakin momen ini tak akan terulang kedua kali. Dia tidak peduli pernah mengatakan bahwa dia tidak akan balikan dengan Langit. Karena kesempatan tidak selalu datang dua kali, pikir Lovatta.

Selalu kalimat itu yang dia junjung padahal kesempatan sebenarnya sudah datang berkali-kali padanya dan berakhir dengan rasa yang sama, sakit hati.

***

Melihat video yang sudah tersebar di penjuru sekolah, Tiara meradang. Kesal dengan Langit yang jadi bersikap manis pada Lovatta. Seharusnya hanya padanya Langit melakukan hal itu.

"Gue nggak akan tinggal diam. Kalau gue nggak bisa dapetin Langit, Lova juga nggak akan bisa bahagia sama Langit," gerutu Tiara sembari meremas ponselnya.

Tiara langsung menemui Senja setelah dia melihat video Langit menyatakan cinta. Cowok itu tengah sendirian di perpustakaan, di meja pojok kanan.

"Lo yakin akan diem aja?" tanya Tiara setelah duduk di hadapan Senja.

"Apa maksud lo?"

"Nggak usah sok nggak tahu. Lo suka kan sama Lova?"

"Lalu?"

"Ayo kita kerjasama! Lo dapetin Lova, gue dapetin Langit."

Bukannya tertarik, Senja justru menahan untuk tidak menertawakan Tiara.

"Mau berapa kali lo pakai trik lama lo sampai lo sakit hati karena mereka?" ucap Senja.

Tiara mendengkus kesal.

"Gue nggak akan kerjasama sama orang yang jelas-jelas udah kalah," ucap Senja lagi.

Tiara hampir saja mengumpat marah tapi dia mengurungkannya. Melihat mereka sedang berada di perpustakaan.

"Kalau lo berubah pikiran, lo bisa temui gue."

Hanya senyum Senja yang membalas pernyataan Tiara. Tidak ada niat dirinya untuk bergabung melakukan hal bodoh bersama. Tiara menghela napas berat, dia perlu memutar otaknya lagi.

Negosiasi bersama Senja gagal, Tiara pergi menemui Langit yang tengah memetik gitar di ruang musik. Awalnya dia duduk menikmati permainan gitar Langit dan suara berat cowok idamannya itu. Dia bertepuk tangan ketika permainan berakhir dan mendekati Langit.

"Keren, selalu keren," ucap Tiara yang sempat terpesona.

"Mau apa lo ke sini?"

"Cuma mau kasih tahu ini." Tiara menyerahkan ponselnya dan memutar rekaman suara Lovatta.

"Gue rasa Lova cuma mau balas dendam sama lo. Dia bilang nggak mau balikan sama lo. Lagian cewek itu semalam pergi sama Senja. Lo nggak tahu kan?"

Langit bukan tipe cowok yang gampang dipancing. Dia justru hanya menaikkan sebelah alisnya.

"Besok lagi kalau mau ngomong dikonsep dulu," ucap Langit seraya bangkit.

"Langit!!!" Panggil Tiara karena Langit justru pergi.

"Apa?"

"Lo bakal nyesel nggak percaya sama gue."

"Hm..."

****

Langit menunggu kelas Lovatta bubar. Bersandar pada tembok dengan Kala di sampingnya. Dia melirik Kala yang tengah tebar pesona.

"Lo ngapain di sini?" tanya Langit.

"Lo sendiri ngapain?" tanya balik Kala dan hanya dibalas dengan tatapan datar.

"Gue nungguin Lova," ucap Kala lagi.

"Lo mau nebeng dia?" Reaksi Langit tidak terduga. Langsung menegakkan badannya.

"Slow, bro, slow. Gue bawa mobil tadi pagi."

"Terus ngapain?" tanya Langit.

"Kalian ngapain ngumpul di sini?" tanya Lovatta yang sudah berdiri di hadapan mereka.

"Gue nungguin pacar."

Seketika wajah Lovatta memerah, tersipu malu.

"Haish.... Tar gombal-gombalannya. Gue ada urusan sama Lova," ucap Kala.

"Urusan apaan?" tanya Lovatta sembari membenarkan posisi tasnya di bahu.

"Nyokap gue barusan ngirim pesan, lo pulang suruh mampir ke rumah."

"Kok Tante nggak Whatsapp gue?"

"Masa? Cek HP lo."

"Oh iya, ada. Ya udah nanti gue mampir."

"Ya udah, gue duluan. Pacaran yang baek-baek, jangan di tempat sepi, takutnya ada hantu."

Langit menendang pelan kaki Kala, memberi kode agar segera enyah. Kala pun pergi meninggalkan mereka berdua.

"Itu, Tante mau minta tolong pilihin baju buat kondangan." Lovatta menjelaskan karena Langit terus menatapnya. Seolah Lovatta penerjemah bahasa kalbu.

"Oh. Ke rumah gue yuk!"

"Sekarang?"

"Ok, ok. Tapi gue nggak ada persiapan," ucap Lovatta lagi karena tak mendapat respon atas pertanyaannya.

"Persiapan apa?"

"Tar gue ngomong apa? Duh.... gue bawa apa dong ke rumah lo?"

"Bawa badan," ucap Langit seraya menarik tas Lovatta agar mengikutinya.

"Ih, masa ke rumah orang nggak bawa apa-apa? Nggak sopan tahu."

"Nggak usah."

"Ih, beli kue dulu deh."

"Udah banyak kue di rumah."

"Beli bunga deh kalau gitu."

"Nggak perlu."

"Gue nggak mau ke rumah lo." Lovatta berhenti melangkah.

"Lo nggak mau ketemu nyokap gue? Tapi deket sama nyokap Kala?"

"Mau tapi beli bunga dulu, nggak mau tahu!"

"Ok."

"Ke rumah orang tuh harus bawa something. Apalagi pertama kali. Buat sopan santu gitu. Walapun cuma bunga atau apa kek."

"Kunci mobil lo mana?" tanya Langit yang tak memedulikan ucapan Lovatta. Baginya datang ke rumahnya itu tak perlu membawa apapun. Lagian dia bukan mau nyogok mamanya.

"Buat apa?" tanya Lovatta seraya menyerahkan kuncinya.

"Biar dibawain supir gue."

"Lo bisa nggak sih tanya pendapat gue dulu?"

"Soal?"

"Udah lah, ayo buruan," ucap Lovatta yang tidak mau bertengkar di hari pertama mereka jadian lagi. Langit memang selalu jadi pemberi keputusan khas pemimpin yang suka ngatur.

LANGIT KALA SENJA (Revisi)Where stories live. Discover now