Privilege || 09

Começar do início
                                    

Bagai barang keluaran terbaru disimpan di museum, Audrey tak berharga. Maka, jangan salahkan gadis itu bila ia memilih toko—lebih menghargainya. Harga tiap orang berbeda, tergantung di lingkungan mana ia berada.

♠️▫️♠️▫️♠️▫️♠️▫️♠️

"Oy!"

Otomatis Nessa menoleh, ia dihadapkan dengan seorang lelaki blazer yang sebelah celananya dilipat, memperlihatkan cairan merah pekat melekat di sana, perlahan menuruni betis lelaki itu. "Hih!" Nessa langsung mengalihkan kepalanya, ia tak mau melihat dua hal yang ia takutkan sekaligus. Raven dan darah. Nessa tak menyukai rasa sakit yang dibawa darah.

Lelaki itu melangkah masuk sambil menyelidiki keadaan sekitar. "Mana nih yang jaga UKS?" tanyanya sambil mengangkat dagu. Bodo amat dengan ekspresi horor Nessa. Gapapa, ini bukan pertama kalinya ia bertemu cewek lemah darah, padahal mereka hidup berkat darah.

Raquel langsung kembali untuk memeriksa Nessa, gadis itu tertegun ketika matanya menangkap sosok lain di ruangan. "Ini masih pagi dan lo udah terlibat perkelahian lagi?" tanya Raquel spontan, ia jadi teringat dengan Adrian, teman kelasnya yang sekali tawuran pasti dibawa ke UKS.

Belum apa-apa sudah dituduh, mata Raven membulat tidak terima sekilas sebelum berdecih. "Udahlah. Lakuin aja kerjaan lo, jangan banyak tanya. Gue masih suci." Raven melangkahkan kakinya menuju kursi seakan-akan lukanya itu tidak ada. Diam-diam ia melirik gadis yang terbaring di nakas. Mata elang Raven menatap luka kakinya. Tiba-tiba tersenyum miris mengingat alasan ia jatuh dari motor. Masa iya, Raven jatuh di tikungan saat on the way menuju sekolah tercinta. Hanya supaya tidak kesiangan.

Bleh.

Pada akhirnya, Raven telat juga. Plus, ia dihukum lari selesai upacara karena celananya yang sobek juga atributnya yang entah ke mana, Raven lupa. Seingatnya ia menyimpan dasi dan topi di kolong bangku, sial sekali kedua benda itu hilang saat dibutuhkan. Luck -100

"Pakai alkohol, taburin betadine, terus lo perban."

Semua benda yang disebut diperlihatkan di depan Raven, apa ini sejenis eksperimen? Raven mana mau belajar. "Hah?" Raven bengong. "Lah? Lo pikir gue ke sini buat belajar jadi PMR? Terus apa gunanya penjaga UKS?"

"Sabar, astaga!" desis Raquel melotot. Kenapa lelaki ini harus 'kecelakaan' di saat yang salah? Dengan pasrah, Raquel menmbuka botol alkohol dan meneteskannya pada kapas. "Ini bakal sakit, ya. Tapi, jangan sampai teriak," tegur Raquel, tak berpikir dua kali mengatakan kalimat tersebut.

'Anjir, dikira gue apaan? Banci—Aw' Raven bisa membalas lewat batin, karena saat ini, lelaki itu mencoba menahan mulutnya yang ingin merintih akibat alkohol mengenai luka basah di kakinya. Demi harga diri, sekedar berdeham pun Raven ogah. "Lo niat jadi PMR? Kalau gue jadi pasien rumah sakit, pasti udah mati sekarang." Raven melihat Raquel menekan-nekan lukanya.

Kenapa kita harus merasa sakitnya berobat sebelum sembuh?

Bukannya berterima kasih, malah ngebacot. Raquel semakin menekankan kapas berisi alkohol itu ke luka Raven, ini demi menutup mulut lelaki bawel itu. "Niat, kok. Ya maaf karena gue sedang dalam tahap belajar. Iya kok, tau, masih banyak kekurangan. Makasih, bacotan Anda sukses didengar,"

"Sama-sama."

Raven memejamkan mata. Dilihat dari ekspresinya, sudah jelas lelaki itu menahan rasa perih yang seakan menggerogoti daging basah. Padahal Raven tidak merintih, meringis, apalagi berteriak. Tapi, diamnya lelaki itu justru membuat Raquel sedikit khawatir. Mungkin memang benar pepatah yang mengatakan, diam adalah teriakan paling keras. Sorot mata Raven perlahan terbuka, menampilkan ketajamannya kembali. Lelaki itu menyandarkan tubuhnya, menatap langit-langit putih UKS.

"Masih kuat jalan ke aula utama, kan?"

"Jangankan aula, ke kantin aja gue mampu."

Lah? Sekarang kan jadwal pemilihan OSIS. Raquel menoleh, menemukan lelaki itu tengah menginjak-injak lantai, mungkin berpikir apakah kakinya sudah tidak lag lagi saat digunakan. Tanpa sepatah kata lagi, pemilik blazer itu melangkah pergi dengan perasaan sumringah. Sakit, tapi sudah tak ada darahnya. Raquel melotot, merasa tidak bersalah sekali lelaki itu.

"Hey!" Raquel melotot, menunjuk lelaki itu dan sempat menghentikkan di ambang pintu. "Ke mana lo? Gue ngobatin luka lo dengan fasilitas sekolah, dan lo ngebalasnya dengan cara engga ikutan program sekolah?"

Tawa kecil keluar lewat deheman Raven. Sepertinya perempuan itu tidak mengerti mengenai ucapannya barusan. Raven melayangkan tangannya di udara seakan melambaikan selamat tinggal ke arah Raquel. "Bye, cantik." Salam sudah, tinggal kabur.

"Zavi—" Raquel menghembuskan napas panjang, tak ada gunanya memanggil lelaki itu. Toh! Ia yakin meskipun panggilannya didengar, tapi tak akan dihiraukan oleh pemilik nama. Memang tak ada gunanya memanggil, tapi masih adakah kemungkinan bila mengejar?

BRUK!

Tangan lain menahan pergelangan Raquel. Gadis blonde menatap tajam ke arah Raquel. "Lo ngapain manggil murid begituan? Biarin ajalah, mereka emang pada gak tahu diri! Bukannya bilang makasih udah diobatin, malah pergi gitu aja, dasar emang manusia kualitas rendah!" gerutu Nessa, menatap sinis kepergian lelaki itu. Sejak awal memang sudah sebal karena Raven sok menjadi raja dengan menuntut diobati, lalu lari sebagaimana kriminal tak tanggung jawab.

"Jangan mau deket-deket kasta begituan!"

Oh, benar. Raquel lupa mereka beda kasta.

♠️▫️♠️▫️♠️▫️♠️▫️♠️

Author's note:

Update bareng sama cerita sebelah, kalian bisa cek ke sebelah juga yaa ^^ si Raven kecelakaan motor masih biasa aja, padahal dulu aku pas kecelakaan sampe trauma megang motor wkwkwk, segitu aku engga luka sama sekali, harusnya kalo gak ada luka ya gak ada trauma juga T_T pengen latihan motor lagi soalnya bakal kepake buat pulang-pergi kuliah, cuman duh gakuat T_T kalian kalau ngadepin hal yang bikin kalian tremor suka ngapain?

Cerita-cerita~! Siapa tau jadi referensi hehee

Makasihh udah sempatin baca sampai sini~ semoga kita bisa ketemu lagi di chapter akhir.

See you on the next chapter~!

PRIVILEGE [On-going]Onde histórias criam vida. Descubra agora