1

4.1K 395 34
                                    


Jeongguk

Jeongguk duduk di tepi jendela kamarnya. Lengang karena teman seasramanya sedang liburan. Tidak perlu repot pakai suara kecil, bisik-bisik. Jeongguk bisa berteriak, kalau ia mau. Menceritakan kesehariannya di dalam sekolah khusus yang membuat orang tuanya percaya, memasukkan Jeongguk menjadi salah satu murid lulusan adalah jalan terbaik. Meski Jeongguk tidak berharap demikian. Masih banyak sekolah biasa yang membuat ia bakal jadi lebih pintar. Tidak melulu punya background bagus, bisa punya eksekusi serupa.

Bingkai kusein jendelanya bergetar pelan karena suara gemuruh kilat yang menjilat-jilat tanah. Ia selalu suka suasana dimana Jeongguk bisa dengan tenang mengutarakan apa yang ia pikirkan. Karena orang di seberang sana, pasti tahu bagaimana rasanya. Ketika Jeongguk sakit hati karena omongan orang lain, sosok yang menemaninya ketika sedang bengong, pasti juga merasakan hal yang sama. Nyeri-nyeri sedikit menusuk ulu hati.

Diijinkan untuk bersama dengan orang yang ditakdirkan membuat Jeongguk berpikir banyak.

Bagaimana, ya, rupa orang yang disiapkan Tuhan? Apa ia bakal menerima Jeongguk seadanya? Membuat segalanya menjadi lebih baik atau justru lebih buruk.

Semasa kecil, Jeongguk selalu berangan kalau ia harus bisa bersama dengan orang yang ada di bayangan otaknya. Sosok yang tidak lebih tinggi dari Jeongguk dan punya suara nyaring, manja. Kriteria aneh tapi Jeongguk mendapatkan ketenangan dari lantunan yang ditimbulkan oleh soulmate nya.

"Kamu masih di sana?" Tanyanya pada udara kosong. Ia masih melihat langit, mencari sesuatu kemerlip di antara awan yang menaungi.

"Iya, Jeongguk. Aku masih mendengarkan, kok. Aku habis ambil makanan ringan sebentar, tadi. Maaf kalau tidak begitu mengindahkan." Suara orang itu lebih tinggi. Membawa Jeongguk kembali melayang.

"Dari mana tadi, ya, aku ceritanya."

"Kamu dapat wali kelas yang tidak enak."

"Oh, iya. Yang itu." Jeongguk menelan ludahnya sendiri. "Bajingan. Kamu tahu? Aku salah satu murid yang berpengaruh di sekolah. Tidak ingat juga aku melakukan salah sefatal apa sampai dia tega memberi aku nilai tujuh puluh lima."

"Awalnya kenapa, sih, kok, kamu bisa sampai diperhatikan oleh wali kelas? Kalau kamu merasa tidak punya salah, kan, kamu bisa protes."

"Itu masalahnya." Jeongguk berpindah ke kasur. Merbahkan diri dan melipat tangannya di balik kepala untuk penyangga. "Entah aku yang lupa, atau memang aku tidak punya salah."

"Ingatan kamu menyebalkan sekali, sih. Tidak bisa bekerjasama di saat butuh." Jeongguk bisa dengar orang di seberang sana sedang mengunyah sesuatu sambil mendengarkan music jazz pengantar tidur. Sudah lima belas hari mereka disatukan dan musik itu juga senantiasa menemani. Mengiringi percakapan Jeongguk dan orang di dalam otaknya.

"Jimin."

"Apa?"

"Aku penasaran. Kira-kira bagaimana, ya, rupa kamu? Kamu, kan, bilang kalau punya bibir penuh, mata yang sedikit sayu, dan sekarang sedang pakai cat rambut warna abu-abu." Jari telunjuk Jeongguk menarik garis mengambang, seakan sedang menggambar sesuatu. Ia selalu hebat dalam hal ini, melukis. Sebagai siswa yang punya kemampuan melebihi rata-rata, ini adalah cara Jeongguk mendapat uang jajan lebih.

"Tinggiku seratus tujuh puluh tiga."

"Yang benar?"

"Benar. Aku tidak bisa berbohong dengan kamu."

"Iya juga, sih." Jeongguk menjeda. "Berarti kamu, kalau aku perkirakan, cuma sekitar di bawah telinga."

"Di bawah telinga kamu?"

"Iya."

"Kok, begitu? Aku bahkan mengira kalau kamu lebih pendek, lho."

"Sejak kapan aku mau jadi pihak bawah?"

"Tidak pernah, sih. Walaupun kamu pihak atas, kan, ada kesempatan di mana kamu lebih pendek dari aku."

"Mana ada."

"Tapi sumpah? Tinggi kamu berapa, dong?"

"Seratus tujuh puluh sembilan." Jeongguk mengingat-ingat. "Kalau tidak salah."

"Kalau tidak salah mu itu lebih pendek atau lebih tinggi?"

"Lebih tinggi. Kan, aku masih umur delapan belas tahun. Bisa bertumbuh lagi."

"Aku juga masih dua puluh. Berhentinya itu di umur dua puluh tiga."

"Aku tidak yakin kamu bakal bisa lebih tinggi dari aku."

"Jahat sekali."

Jeongguk tertawa lantang. Sekali lepas, ia jadi merasa sungkan. "Tapi kamu bakal pas kalau aku peluk. Badan kamu bisa tidak kelihatan nanti."

"Tapi tetap saja. Aku yang lebih tua, tapi aku yang lebih pendek."

"Tidak ada yang salah dengan itu, Jimin."


.

.


MetanoiaWhere stories live. Discover now