"Lo diundang sama si Mila, Dam?" Tanya Sheila pelan. Sadam menoleh sedikit, lalu kembali lagi pada pandangannya yang tertuju pada buku tulis,

"Iya, satu undangan buat bertiga. Gue, Evan, Ersya," jawab Sadam datar. Sheila ber-oh saja. Ia mengeluarkan ponsel dari saku seragamnya, lalu mengetik sesuatu disana. Merasa pesannya belum terbalaskan, akhirnya Sheila memilih untuk bangkit saja dan berlari keluar kelas untuk menemui Laras.

"Duh, Ras... disaat penting kayak gini lo malah hilang gatau kemana. Udah satu sekolahan gua cariin, kok gak ada sih," desis nya pelan sembari menengok ke arah kelas-kelas. Ia baru teringat satu hal!

Ia belum mencari Laras ke area belakang sekolah.

Laras duduk sendiri disana. Angin yang berhembus pelan, membuat Laras betah ingin berlama-lama disana. Ditemani ponsel hitamnya yang sedari tadi berada di genggamannya.

Ia terlonjak kaget saat mendengar teriakan kencang memanggil namanya dari belakang!

"WOY LARAS!"

Laras menghela napas. Ia sedang tidak ingin diganggu oleh siapa-siapa saat ini. Bahkan saat tadi ia berpapasan dengan pacarnya, Evan di koridor sekolah, ia malah tampak cuek melewati Evan begitu saja.

Sheila berdecak dan berlari kecil menghampiri Laras yang duduk dibangku panjang. Ia mengambil duduk di sebelah Laras,

"Ishh lo mah ngilang. Kenapa sih?" Tanya Sheila mulai kepo. Laras langsung menggeleng cepat dan berusaha menutupi agar semuanya baik-baik saja.

"Kalau ditanya tuh jawab! Kebiasaan banget!"

Sheila jadi kesal sendiri. Ia sekali lagi menoleh kepada Laras sepenuhnya. Ia memegang erat pundak Laras,

"Kalau ada apa-apa cerita sama gue, Ras! Jangan ada yang lo sembunyiin!"

Laras masih diam.

"Lo berantem sama Evan?"

Laras diam.

"Lo diapain sama Evan? Hah?"

Belum ada respon dari Laras. Sheila gemas dan segera menarik tangan Laras agar meninggalkan area belakang sekolah. Ia menarik Laras menuju kelas dan Laras merasa langkahnya tidak seimbang membuatnya oleng sedikit tadi. Laras memutar bola matanya malas,

"Jangan tarik-tarik gue, woy!"

Langkah lebar Sheila terhenti. Ia menoleh sedikit ke belakang,

"Ke kelas aja! Gue gak mau lo kesambet sama penunggu area belakang sekolah gegara lo diem terus!"

Laras pasrah saja dirinya ditarik oleh Sheila. Ia benar-benar sedang tidak mood saat ini.

"Kok kamu pas istirahat cuek banget sama aku?" Tanya Evan saat menerima helm yang baru saja di lepas oleh Laras dari kepalanya. Laras masih diam. Menahan diri agar tidak menangis sekarang juga. Ia tidak boleh terlihat lemah didepan Evan.

"Ras??" Evan menatap wajah Laras sembari melambaikan tangannya. Laras masih menatap pandangan kedepannya dengan tatapan kosong. Evan berdecak dan menangkup kedua pipi tembem Laras,

"Apa perlu gue tangkupin nih pipi biar lo ceria lagi?" Tanya Evan yang masih setia menangkup kedua pipi Laras. Laras merasa tubuhnya gemetar hebat. Lalu mulai menumpahkan air matanya. Ia terisak,

"Eh lah? Rasss? Kamu kenapa? Eh?"

Evan langsung menarik tubuh mungil Laras ke dalam pelukannya. Ia membiarkan Laras menangis didalam dekapannya. Beberapa menit kemudian, ia melepaskan pelukannya lalu menatap wajah Laras yang terlihat pucat setelah menangis. Ia mengusap air mata yang berada di pipi gadis itu dengan sapuan ibu jarinya. Terasa hangat, membuat Laras semakin dicintai oleh Evan. Evan tersenyum dan mengecup kening Laras cukup lama,

"Cerita sama gue, Ras. Ada apa?"

"Bukan waktu yang tepat buat gue ceritain ini, Van. Tapi suatu saat lo pasti bakalan tahu!"

Laras tersenyum sekilas lalu berbalik badan untuk masuk ke dalam rumah. Evan masih sulit mengartikan apa yang barusan terjadi pada gadis cantik itu. Evan masih berdiri didepan rumah Laras, sampai akhirnya ponsel miliknya berbunyi dan segera ia mengangkat telepon yang berasal dari bundanya,

"Van, kamu dimana?"

"Abis anterin Laras, bun. Kenapa emangnya?"

"Ohh.. yaudah langsung pulang ya. Hati-hati"

"Iya bunda,"

"Assalamualaikum,"

"Waalaikumsallam,"

Setelah menutup sambungan teleponnya, Evan segera menaiki motor dan mengenakan helm nya. Lalu mulai melajukan motor meninggalkan area rumah Laras.

Laras langsung menutup pintu kamarnya cukup keras dan melempar tas ransel nya ke atas kasur. Ia memilih untuk duduk di sisi ranjang dan mulai menangis lagi. Elsa masuk ke dalam kamar dan melihat putri semata wayangnya sedang menangis membuatnya merasa iba dan ikut duduk di sebelahnya,.

"Kamu kenapa sayang?"

Laras langsung menepis tangan Elsa yang sempat memegang lengannya,

"Tolong, ma tolong. Jangan ganggu Laras dulu. Aku lagi gak mau diajak ngomong dulu,"

Elsa menggeleng, "mama ini mama kandung kamu. Mama berhak tau kamu sebenarnya ada masalah apa?"

"Mama gak perlu tau!" Laras memilih untuk bangkit saja meninggalkan Elsa sendiri. Elsa merasa terpukul ketika melihat putrinya membentaknya tadi. Ia berusaha sabar, mungkin mood gadis itu sedang buruk. Lalu ia beralih menatap figura yang ditaruh di atas nakas samping ranjang Laras.
Ia mengambilnya dan menatap foto itu dengan perasaan yang sangat membuatnya tak berdaya. Elsa tahu, Laras sangat menginginkan keluarga kecilnya kembali seperti dulu.

Ia memeluk figura itu, air matanya menetes dengan banyaknya. Laras mengintip dari balik pintu yang tak sepenuhnya ia tutup rapat. Ia merasa bersalah. Seharusnya ia tak bersikap seperti itu pada mamanya.

MAAP BGT YAA BARU UPDATE HUHU:"((( BANYAK BGT TUGAS YANG HARUS AUTHOR SELESAIKAN. HEHE.

MAKASIH BUAT KALIAN YANG MASIH TERUS STAN BY IKUTIN CERITA INI TERUS! MASIH BANYAK KISAH DARI PERJALANAN CINTA EVAN DAN LARAS DALAM CERITA INI.

Jangan lupa beri tanda vote :)

EVALARA [✔] Where stories live. Discover now