26: Hitungan Bulan

11.7K 2.7K 228
                                    

"Beneran deh, gue masih gak nyangka kalo lo akhirnya gak sama Lucas."

Aku hanya diam saat mendengar ucapan Mina, salah seorang temanku saat SMA, yang sekarang telah sukses menjadi seorang designer ternama.

Kalau aku ingat-ingat, sudah ada banyak sekali orang-orang yang memberikan respon serupa saat aku memberitahu perihal pernikahanku yang akan segera berlangsung tiga bulan lagi.

"Padahal gue pikir, kalian pasti bakal longlast. Kalian tuh cocok banget, bener-bener kayak jodoh."

Mina menatapku selama beberapa saat. Gadis dengan rambut hitam itu membuka laci meja kerjanya, lalu ia mengeluarkan sebuah sketch book.

"Lo liat nih." Mina membuka sketch book-nya dan menunjukkan sebuah sketsa gaun pengantin dengan tulisan 'Lucas & Grace' pada bagian atas. "Ini gaun rancangan gue buat nikah lo sama Lucas."

"WAH!" seruku kagum saat melihat hasil karya Mina yang sangat bagus. "Gila, ini keren banget!"

"Ya iyalah, Kang Mina gitu." Mina tertawa pelan. "Lo tau? Gue rencana mau ngasih lo gaun ini biar lo pake pas hari H, tapi taunya lo gak jadi sama Lucas."

Sebuah senyum tipis tercetak di wajahku. Ucapan Mina beberapa saat yang lalu sukses mengangkat kembali kenangan-kenangan bersama Lucas yang telah aku kubur dalam-dalam.

"Ya namanya juga bukan jodoh, Min."

"Iya, gue tau. Maaf banget ya, gara-gara gue lo jadi flashback." Mina terkekeh. "Ya udah, gapapa. Yang penting sekarang lo berdua udah nemuin kebahagiaan masing-masing."

Aku menganggukkan kepala pelan, lalu aku mengambil sketch book Mina supaya aku dapat melihat sketsa gaun pernikahan hasil karya Mina yang dibuat spesial untukku dengan seksama.

"Gue pake gaun ini aja deh."

Mulut Mina menganga lebar, tidak percaya dengan kata-kataku barusan. "Lo serius mau pake ini? Gak mau gue bikinin yang lain?"

"Iya, gue serius banget." Aku mengangguk mantap. "Tapi jangan kasih tau siapa-siapa kalo gaun ini awalnya lo bikin buat pernikahan gue sama mantan gue. Cukup gue, lo, sama Tuhan aja yang tau."

Mina terdiam selama beberapa menit dan aku dapat melihat wajahnya yang penuh tanya. Tapi sedetik kemudian, gadis itu mengangguk sebagai tanda setuju. "Oke, gue janji gak bakal kasih tau soal ini ke siapa-siapa."










"Dery."

Aku berjongkok di dekat makam pemuda itu sambil tersenyum lebar. Setelah sekian lama, akhirnya aku dapat kembali ke Vancouver untuk mengunjungi makam Hendery.

Selama ini, aku hanya memiliki sedikit waktu luang diantara waktu kerjaku yang sangat sibuk. Tapi sayang, waktu luang yang seharusnya bisa aku pakai untuk mengunjungi Hendery, harus aku relakan untuk membereskan hal-hal kecil yang dibesar-besarkan.

Dan kemarin pagi, aku nekad pergi diantara tugasku yang menumpuk hanya untuk mengunjungi makam Hendery sekaligus menceritakan banyak hal kepadanya, termasuk acara pernikahanku yang akan berlangsung kurang dari sebulan lagi.

"Der," panggilku sambil mengeluarkan beberapa lembar tisu untuk membersihkan makam Hendery dari sedikit debu yang menempel. "Kamu tau gak? Aku bentar lagi mau nikah sama Winwin."

Aku menarik nafas dalam-dalam, menatap makam Hendery yang sekarang telah bersih dari debu, dan menghembuskannya secara perlahan.

"Gak berasa ya, bentar lagi aku punya suami."

Tanganku meraih sebuah keranjang berisi bunga yang aku letakkan di sebelahku, kemudian aku menaburkan bunga-bunga tersebut ke atas makam Hendery.

"Gak berasa juga, hari ini tepat dua tahun kamu pergi."

Air mataku perlahan mulai turun dan membasahi wajahku saat aku kembali teringat dengan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada Hendery jika tidak datang ke rumahku saat itu.

Mungkin saja, Hendery masih hidup dan saat ini kami telah hidup bahagia bersama sampai hembusan nafas terakhir.

Aku menghapus air mata yang mengalir dengan kedua tanganku. Pada akhirnya, aku hanya dapat menerima kenyataan jika Hendery memang bukan orang yang tepat untukku.

"Der. Aku pulang dulu ya. Nanti secepatnya aku bakal balik lagi ke sini."

Mataku memandang makam Hendery selama beberapa saat. Kemudian, aku segera beranjak berdiri.

"Bye, Hendery."

Dengan langkah pelan, aku berjalan keluar dari area pemakaman sambil membawa keranjang bunga yang telah kosong.

Tapi baru beberapa langkah aku berjalan, aku menoleh ke sebelah kanan. Lebih tepatnya, ke arah pohon-pohon rindang yang tidak jauh dariku.

Entah aku yang rindu dengan sosok Hendery atau ada yang salah dengan penglihatanku, mataku mendapati seseorang yang tengah menatapku sambil tersenyum lebar.

Orang itu adalah Hendery.

kok makin ke sini jumlah siders
makin banyak sih 😭

Dong Sicheng ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang