13: Jadi?

12.1K 2.7K 197
                                    

Tidak terasa, sudah sebelas bulan sejak Hendery pergi meninggalkan orang-orang yang menyayanginya di dunia ini.

Setiap bulan, aku rutin mengunjungi makamnya seorang diri untuk memberikan bunga dan berbincang sedikit tentang keseharianku. Aku tetap setia melakukannya meski aku tau Hendery tidak akan pernah lagi dapat merespon setiap ceritaku.

Tak jarang, Mama Hendery sering menghubungiku. Beliau juga sering memintaku datang ke rumahnya untuk mengobrol santai sambil mencoba kue buatannya. Dan aku selalu menyempatkan diri untuk datang mengunjunginya.

"Ya Tuhan, jika aku akhirnya nikah sama Yeonjun, yaudah aku bisa apa."

Aku tak dapat menahan tawa kami saat mendengar ucapan Yeri yang terdengar sangat pasrah. Sedangkan Dejun hanya dapat menatap kami dengan tatapan bingung sambil sibuk mengunyah steak-nya.

"Yeonjun?" Dejun menaikkan sebelah alisnya. "Yang sering nyelepet Yeri pake karet?"

"Iya!" Aku menaikkan kedua alisku. "Yang kalah sama Joochan pas pemilihan ketua OSIS!"

Dejun menganggukkan kepalanya. "Oh. Kok lu bisa tiba-tiba ngomong gitu, Yer?"

Aku melempar kode pada Yeri supaya ia tidak menceritakan soal Winwin waktu itu pada Dejun. Dan beruntung, Yeri dapat menangkap kode yang kuberikan.

"Itu kemaren gue diramal sama orang. Katanya gue bakal nikah sama Yeonjun. Abis diramal gak lama kemudian Yeonjun beneran nge-chat gue. Lo tau kan gue sama Yeonjun gak akrab. Gue punya contact-nya tapi gue gak pernah nge-chat dia."

Lelaki dengan alis tebal itu kembali menganggukkan kepalanya. Tangannya sibuk memotong steak dan mulutnya sibuk mengunyah.

"Terus lu percaya sama kata peramal itu?"

"Iya," jawab Yeri. "Soalnya peramal itu bilang kalo dia dateng dari masa depan."

Dejun tertawa pelan sambil menggelengkan kepalanya. "Di dunia ini gak ada orang yang bisa kembali ke masa lalu, Yer. Kalo bisa, gua juga mau balik. Lu kayak anak kecil aja, gampang banget percaya sesuatu."

"Tapi dia emang beneran dateng dari masa depan, Jun!"

"Oke, apa buktinya?" serang Dejun.

"Gue gak rekam pas dia ngomong gitu," ujar Yeri. "Tapi lo tuh gak kenapa gak percayaan banget sih jadi orang? Apa-apa harus pake bukti. Pantes aja cewek-cewek gak ada yang mau sama lo."

"Segala sesuatu harus ada bukti. Kalo gak ada bukti sama dengan gak valid," balas Dejun. "Asal lu tau ya, banyak cewek yang ngejar gua. Cuma gua yang gak mau."

"Sok kegantengan banget sih lo!" Yeri kini menoleh ke arahku. "Kok lo diem aja sih? Belain gue dong!"

"Lo berdua berisik banget tau gak sih?" Aku menatap Yeri dan Dejun bergantian dengan tatapan tajam. "Heran ya gue, gak di Jakarta gak di Vancouver debat mulu lo berdua. Pusing gue dengernya."

Ekspresi Dejun langsung berubah seratus delapan puluh derajat. "Iya-iya maaf. Maaf bikin lu pusing."

Aku mendecak kesal meski sebenarnya aku telah terbiasa dengan perdebatan Dejun dan Yeri sejak aku mengenal mereka di kelas 11. Bahkan sejujurnya, awalnya aku sempat berpikir jika dua manusia tersebut akan menikah di masa depan. Tapi mungkin, pikiranku salah.

"Oh iya. Gua bulan depan ke Jakarta."

"Serius lo?" tanya Yeri. "Gue pengen ikut tapi gue udah janji ketemu adek gue bulan depan."

"Yaudah lu nyusul adek lu aja dulu. Abis itu baru nyusul gua," ujar Dejun. "Lu gimana, Grace? Mau ikut gak?"

'Tapi itu tergantung sih. Kalo Dejun jadi ngajak kamu balik ke Jakarta.'

Aku terdiam sejenak saat ucapan Winwin terlintas di benakku. Aku mengaduk-aduk lemon tea milikku, lalu menganggukan kepala sebagai tanda setuju.

"Hah? Beneran?" Yeri melongo. "Bukannya lo pernah bilang ya sama gue kalo lo gak mau ke Jakarta lagi? Karena banyak kenangan lo sama si tukang gombal?"

"Heh!" Aku melotot. "Lucas bukan tukang gombal ya. Semua kata-katanya bisa dipegang."

"Bener juga sih." Yeri meminum milkshake-nya kemudian melanjutkan, "By the way, kalo gue liat-liat lo sekali pacaran bisa bertahun-tahun tapi akhirnya gak jadi semua ya."

Dejun tertawa terbahak-bahak, sementara aku hanya dapat menghela nafas pasrah. Apa yang Yeri katakan semuanya benar, jadi tidak ada alasan bagiku untuk marah padanya.

"Namanya juga bukan jodoh," kata Dejun setelah ia berhenti tertawa. "Mau pacaran bertahun-tahun juga percuma, akhirnya pasti putus."

"Tenang aja." Yeri menepuk pundakku dengan pelan. "Bentar lagi lo juga ketemu jodoh lo."

"Amin amin amin."

"Oh iya." Dejun mengubah posisi duduknya menjadi tegak seperti semula. Tatapan matanya kini mengarah lurus ke arahku. "Gimana? Jadi ikut gua ke Jakarta?"

"Jadi."

Dong Sicheng ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang