01

115 16 42
                                    

"Pernah nggak kamu bertanya pada takdir perihal bahagia yang ia siapkan dihidupmu?"

-0-

Binar membenarkan ikatan rambutnya yang melonggar. Sesekali mulutnya iseng meniup-niup poni yang menutupi dahi lebarnya. Matanya menatap sebentar buku catatan matematikanya sambil menggelengkan kepalanya tidak percaya dengan apa yang baru saja ia tulis dari papan putih di depan kelas.

"Ini apa sih tulisan gue kayak tai kucing," gerutu Binar sambil mencorat-coret tulisannya yang kalau orang tua bilang seperti ceker ayam.

Karena kesal sendiri dengan tulisannya, Binar beranjak dari duduknya berniat meninggalkan kelasnya yang mulai sepi karena bel sudah berbunyi 10 menit yang lalu.

Binar senang menulis apa saja, tetapi karena Binar tidak pandai menulis rumus dengan cepat, ia harus menyalin catatan milik Aira. Sedangkan, sang pemilik catatan sudah kabur setelah mendengar suara Pak Joko memanggil namanya di speaker sekolah. Aira adalah satu dari sekian atlet kebanggaan sekolah.

Kalau Binar, cuma remah-remah biskuit lima ratusan.

"Binar! Jangan lupa ya?"

Binar menatap jengah Nata yang sedang berdiri di depan kelas. "Udah sebelas kali dalam sehari lo ngomong begitu sama gue, Nat. Kurang kerjaan banget ya lo?" tanya Binar yang kini menenteng tasnya sembari berjalan mendekat ke arah Nata.

Nata menaikkan sebelah alisnya dengan tangan kanannya menepuk bahu Binar beberapa kali. "Lo pelupa akut. Nanti kalau nggak gue ingetin, lo mencak-mencak."

"Iya sih, tapi kan nggak sebelas kali juga!"

Nata memijit pelipisnya pelan, kebiasaannya jika merasa kepalanya mulai merasakan pusing.

Binar terkekeh pelan lalu berjingkat mendongak menatap Nata yang memang lebih tinggi darinya. Telunjuknya usil ikut menoel pelipis Nata.

"Kenapa sih? Tumben banget pusing. Biasanya juga gue yang pusing."

Nata menarik kursi guru di sebelahnya lalu mendudukinya, "Tadi gue ketemu cewek aneh di koridor, nggak sengaja nabrak kening."

"Bibir lo?"

Nata melirik sinis Binar yang kini menatapnya penuh selidik. "Kening sama bahu!"

"Kening lo nabrak bahu cewek? Tinggi banget dong ceweknya!" ujar Binar terkagum-kagum.

Nata menatap sebal ke arah Binar. "Bahu gue yang ditabrak."

Mendadak Binar terdiam. Lalu tiba-tiba tertawa keras. "Pendek dong ceweknya?" tanya Binar sembari menggerlingkan matanya lucu kemudian kedua telapak tangannya saling menggenggam. "Akhirnya ada yang lebih pendek daripada gue!"

Nata berdecak sambil menggelengkan kepalanya. "Tetep aja lo pendek kalau berdiri di depan gue, Binar."

Binar memanyunkan bibirnya, "Namanya siapa?" tanya Binar mengalihkan topik pembicaraan. Pertanyaannya hanya dijawab Nata dengan mengidikkan kedua bahunya.

"Gak kenalan?"

"Nggak."

"Kok nggak seru sih cerita lo!" keluh Binar tidak berminat lagi mendengarkan cerita temannya yang sangat amat absurd. "Gue kira bakal kayak awesome gitu secara kan itu cerita lo," sambung Binar kemudian.

Nata dan Binar berteman baik sejak OSPEK—lebih tepatnya tidak sengaja berteman—karena insiden Nata tidak ingin berbicara di depan umum. Sementara pada saat itu posisi Nata adalah ketua kelompok Binar.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 11, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Brighter SunWhere stories live. Discover now