MLB-5

3K 274 3
                                    

Jam makan malam sudah tiba, Riby menuruni anak tangga pelan. Sejak Ramon mengunjungi kamarnya, kini pikiran Riby mulai terusik. Ada perasaan aneh yang kini menggelayuti pikirannya. Tapi sulit untuk diterka itu apa. Riby berpikir mungkin saja itu karena ia dan Ramon tak sedekat seperti ia dengan Rey.

“Kakak kayak Zombie deh jalannya,” komentar Riel begitu ia melihat Riby.

“Kamu sakit, Bi?” tanya Larina.

Riby tersenyum tipis.” Nggak, Ma. Aku baik-baik aja.”

“Hei, maaf ya tadi kakakmu yang super ganteng ini tidak bisa jemput.” Rey mengacak-acak rambut Riby yang sedang melintasinya.

Riby merapikan kembali poninya dengan santai, lalu duduk di kursi dengan manis ” Iya, nggak apa-apa, Kak Rey.”

Rey melihat ada kejanggalan pada Riby. Biasanya Riby akan langsung membalas perbuatan Rey, tapi kali ini Riby justru hanya tersenyum.

“Kayaknya lagi kesambet ... tumben.” Riel terkekeh.

“Iya, Riel. Kenapa dengan kakakmu itu.” Rey mengiyakan.

“Kenapa? Kakak kehilangan teman bertengkar? Itu bagus, kak. Setidaknya malam ini aku terbebas dari drama-comedy kalian berdua.” Riel menyendokkan nasi ke piringnya.

“Sekarang bukan Rey-Riby lagi sepertinya. Tapi Rey-Riel.” Larina memandang kedua anaknya itu dengan kesal.

“Maaf, Ma. Riel diem deh ... mari makan.” Riel langsung melahap makan malamnya.

“Bagaimana dengan apartemen yang baru kamu beli, Ramon?” Tanya Glen setelah keheningan beberapa menit.

“Urusan surat menyuratnya sudah selesai, Pa. Tinggal menempatinya saja,”jawab Ramon.

“Kak Ramon mau pindah?” tanya Riby pelan.

Gerakan mengunyah Ramon melambat.” Ehm ... iya. Kakak akan tinggal di apartemen, Riby.”

“Kenapa? Setelah 10 tahun kakak jarang pulang ke rumah, sekarang mau pergi lagi?” suara Riby bergetar, seperti akan menangis.

Ramon terlihat bingung, menatap seluruh anggota keluarga yang tampaknya juga bingung. “Iya, kakak kan sudah dewasa ..., tidak mungkin seterusnya tinggal bersama orangtua, Riby. Kakak harus mandiri.”

Riby tak membalas ucapan Ramon. Rey menatap Ramon dengan sejuta pertanyaan, tapi Ramon hanya menggeleng tanda ia tak mengerti dengan apa yang terjadi.

“Riby, piring kamu masih kosong,” kata Larina.

“Ma, Riby makannya nanti saja. Riby mau ke kamar dulu.” Riby pergi meninggalkan berbagai pertanyaan di benak keluarganya.

“Ada apa, Ramon? Terakhir kali ia bicara denganmu kan?” tanya Larina.

“Tadi ... Riby hanya menangis karena masalah di kantornya. Aku hanya berusaha menenangkan Riby, Ma. Tidak ada yang lain. Tidak ada pembicaraan serius,” jelas Ramon.

“Terus ... kenapa Riby kayak lagi baperan gitu. Kayaknya Riby nggak pengen Kak Ramon pergi dari rumah ini deh,” tebak Rey.

“Dan bisa jadi ... lagi datang bulan,” tebak Riel.

“Sok tahu kamu!” cetus Rey.

“Biasanya cewek kalau datang bulan begitu,kak, mood-nya cepat berubah-ubah kayak bunglon,” balas Riel.

“Masa sih.” Ramon kembali fokus dengan piringnya.

“Kakak sih, enggak pernah pacaran ya ... makanya enggak paham sama sikap cewek,” balas Riel.

“Duh ... yang punya mantan seribu ... pinter banget nasehatin,” sungut Rey.

“Aku cuma membantu menjelaskan, Kak, agar kak Ramon tidak gundah gulana.”

“Ya sudah ... sudah, biarkan saja. Mungkin Riby lagi capek dan banyak pikiran.” Glen menengahi.


💓

R

iby mengerjapkan matanya berkali-kali. Sedikit perih karena semalaman ia menangis. Ia bahkan tak mengerti apa yang sedang ia tangisi. Meregangkan badan, lalu menarik selimut kembali, Riby tak ingin beranjak dari tempat tidurnya. Beruntung ini adalah hari sabtu, sehingga ia bisa tidur sepuasnya.

“Kamu sudah bangun, sayang.” Sebuah suara membuat Riby duduk secara spontan. Ramon tampak menggeliat di sofa.

“Kakak?” Riby memekik tak percaya.

“Hai, maaf. Kakak ketiduran di sini.” Ramon tersenyum dengan kondisi rambut yang acak-acakan.

“Kenapa kakak bisa ketiduran di kamarku?”

“Ehm... iya kakak ke kamarmu untuk menyuruhmu makan. Tapi ternyata kamu susah dibangunin.” Ramon berdiri, lalu membuka jendela kamar Riby.

“Kenapa dibuka, aku masih pengen tidur, kak.” Riby merengek sembari menarik selimutnya kembali. Menariknya hingga sebatas leher.

“Bangunlah. Ini sudah jam tujuh.” Ramon menarik selimut Riby.

“Ini kan hari libur, memangnya nggak bisa apa Riby bangun agak siangan dikit.” Riby merengut kesal. Bibirnya maju sampai sepuluh centimeter.

“Kakak ingin mengajak kamu pergi lihat apartemen kakak. Itu juga kalau kamu bersedia.” Ramon mematikan Ac.

“Sama Papa dan Mama juga?” tanya Riby memastikan.

“Nggak. Cuma berdua aja.”

“Okey, kapan? Sekarang?” Wajah Riby terlihat ceria mengalahkan warna mainan di taman kanak-kanak.

“Tahun depan. Kakak tunggu di bawah ya, sarapan.” Ramon meninggalkan kamar Riby. Riby bersorak,

Eh kenapa aku jadi seneng? Yang ngajak cuma kakak aku kan. Atau ... aku memang butuh piknik?

Riby merapikan tempat tidur dan bergegas mandi.

♥♥♥

My Lovely BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang