MLB-32

228 21 0
                                    

Bagaikan tersambar petir di siang bolong, Ramon hanya mematung di tempatnya. Lidahnya terasa kelu, sulit bersuara. Langit mengusap tengkuknya, ia sendiri bingung bagaimana harus bersikap. Ingin membantu menjelaskan tetapi ini bukan urusannya.

"Biar aku jelaskan, Riby," kata Nic dengan lantang. Ramon menatap Nic dengan ekspresi datar.

"Ramon ..., kakakmu tercinta ini mengusirku dari kehidupanmu. Ramon mencintaimu sejak kecil, ia terus berusaha mendapatkanmu. Oleh karena itu ... ketika kita bersama, Ramon sangat marah, cemburu, dan memusuhiku." Nic terus membongkar semuanya.

Riby hanya memandang Ramon, dengan ekspresi yang sulit diartikan.

"Kau masih ingat pada masa itu kan, Ramon? Saat aku baru saja mengantarkan Riby pulang ke rumah, kau menghadangku ... dan kau menyuruhku meninggalkan Riby. kalau aku tidak menuruti kemauanmu ... kau akan terus mengusik hubungan kami." Nic tersenyum sinis sekali.

"Wajar ... bila saat itu aku memintamu menjauhi Riby, Nic. Karena aku tau ... kau sudah memiliki kekasih yang lain," balas Ramon dengan penekanan pada kata'kekasih'.

"Oh ya ..., kau ingin mengelak, Mon? Oleh karena itu kau kembali menuduhku demikian?" tanya Nic.

Ayolah ... kenapa ini dibahas ... ini sudah basi, bukan.

Hati Riby berbicara sendiri, bahkan ia mulai tak mendengarkan apa pembicaraan Ramon dan juga Nic. "Ehmmm ... kalian, berhenti. Apapun yang terjadi di masa lalu ... lupakan aja. Kita hidup di masa sekarang, kan? Bukan di masa lalu ... jadi untuk apa kita perdebatkan yang sudah terjadi."

"Tapi, Bi. Kamu harus tau yang sebenarnya. Kalau Ramon sudah memisahkan kita berdua," jelas Nic.

"Dan sekarang aku sudah tau yang sebenarnya, kak Nic. Jadi aku rasa semuanya sudah selesai, kan?"

"Lalu ... kamu tidak marah pada Ramon?"

"Jadi tujuan kakak menemuiku, mengatakan yang sebenarnya adalah supaya aku marah dengan kak Ramon? Tujuan macam apa itu, kak?" Riby tertawa lirih setelah itu.

"Sekaligus mengatakan kalau kakak masih mencintai kamu, Bi. Sekarang kakak menemuimu, ingin mengajakmu menikah, Bi," aku Nic.

Ramon dan Langit bertukar pandang, mereka tidak kaget mendengar ucapan Nic."Sayang ... kamu pulang ya. Biar kak Langit yang antar."

Riby mengangguk, ia langsung menuju mobil Ramon.

"Bi...," panggil Nic.

Langkah Riby terhenti, lalu menoleh pada Nic yang kini berjalan ke arahnya.

"Kamu ... belum menjawabku, Bi."

Riby menggeleng, "Aku rasa nggak ada yang perlu kita bicarakan, kak. hubungan kita sudah berakhir sebelas tahun yang lalu."

"Itu tidak adil buatku, Bi."

"Lalu adilkah buatku saat kakak pergi begitu saja? Tanpa pamit ... tanpa pesan .. tanpa suara, hanya karena kakak disuruh menjauhiku oleh Kak Ramon? Hanya sebesar itu nyali kakak? Langsung meninggalkanku begitu aja? Kakak pikir aku mainan? Lalu ... sekarang aku harus mengingat semua itu. Aku sudah melupakan semuanya, kak," jelas Riby.

"Bi...." cegah Nic

"dan aku tau, kak Nic. Kalau pada saat itu aku hanyalah selingkuhan kakak. Aku tak ingin bersama dengan orang yang sudah mengkhianatiku. Permisi." Riby langsung masuk ke dalam mobil, diikuti oleh Langit yang langsung membawa Riby pergi.

Tinggallah Ramon dan Nic berdua."Apa kabar, Nic?"

"Tidak usah berbasa-basi, Ramon. Kau merusak kehidupanku."

"Kau yang merusaknya sendiri, Nic. Bukan aku ..., untuk apa kau menginginkan Riby kembali? Pergi saja dengan kekasihmu itu." Ramon tersenyum sinis.

"Aku masih mencintainya ...," balas Nic.

"Tapi, kau sudah punya kekasih kan, Nic. Dan aku tau ... kekasihmu adalah Atha. Kau pikir aku tak mengetahuinya?. Kau juga yang mengatur supaya Riby bisa masuk ke kantormu. Kau dengan sengaja memasang iklan lowongan pekerjaan di media sosial untuk memancing Riby melamar pekerjaan bukan? Kau memanfaatkan kepintaran Riby, sehingga semua orang yakin bahwa Riby masuk dengan tes murni. Padahal kau yang merencanakan semuanya."

Nic hanya membuang pandangannya sembari mendengarkan analisa dari Ramon.

"Javier Rathan ... atau Zac, sebenarnya adalah adik tirimu. Kau sengaja mengalihkan Rarchitect padanya agar aku tidak dapat melacakmu. Tapi aku tau, Nic, bahwa Rarchitect adalah milikmu. Bagaimana mungkin seorang CEO Rarchitect, kantor yang tidak begitu besar, justru memiliki pulau pribadi. Sangat aneh."

"Kuakui analisismu hebat, Ramon. Kau berhasil mengetahui segalanya, tapi aku rasa banyak yang belum kau ketahui .. dan tak akan kau ketahui."

"Maksudmu ... aku tidak tau kalau sebenarnya kaulah yang membuat terpisah dari rombongan di pulau, dan membawanya ke arah selatan?" Ucap Ramon.

Nic tersentak kaget."Hah? aku tidak merencanakan itu, sungguh! Memangnya apa yang terjadi dengan Riby di pulauku?"

"Jadi kau tidak tau kalau Riby terpisah dari rombongannya, hampir saja dia celaka di perkosa oleh nelayan yang lewat. Sebaiknya kelola pulaumu dengan baik!"

"Maaf, mengenai itu ... aku memang tidak tahu. Itu bukan bagian dari rencanaku."

"Baiklah, untuk sementara bisa kuterima. Tapi, kau tau ... kenapa pada akhirnya aku bisa mendapatkan cinta Riby? karena aku terus berusaha,Nic. Walaupun Riby bukanlah adik kandungku, tetap saja tindakanku mendapatkan pertentangan dari mama dan papa. Tapi aku terus berusaha, berjuang mendapatkan Riby, serta menunjukkan bahwa aku serius dengan ucapanku. Aku terus mengejar apa yang menjadi mimpiku."

" ... seandainya aku menyerah, mungkin Riby tak akan pernah mencintaiku. Kita dapat menentukan takdir kita sendiri, Nic. Tuhan akan merubah takdir kita, jika kita terus berusaha dan berdoa."

" ... mungkin kalau dulu kau memperjuangkan Riby, kau mendapatkan tempat di hatinya. Tapi kau memilih pergi, tidak memperjuangkannya. Cinta itu memilih, Nic. Cinta tau... kemana ia harus berlabuh. Tentu pada orang yang memperjuangkannya, karena cinta di mulut saja tidak cukup."

Ucapan panjang dari mulut Ramon mampu membuat lubang yang sangat besar di hati Nic. Perasaannya terasa dicabik-cabik, hatinya terasa sedang ditusuk pedang samurai. Kini pikirannya merutuki diri sendiri, menyalahkan tindakan bodohnya.

"Aku masih mencintai Riby, Mon, banyak hal yang sudah kulakukan untuknya.Bahkan semua rencana ini ... hanya untuk mengambilnya kembali," ucap Nic.

"Aku tidak tau motifmu ... aku juga tidak tau mengapa kau menjadi seperti ini. Tapi ingatlah kata-kataku ini,Nic. Jika kau menginginkan sesuatu menjadi takdirmu, berjuanglah." Ramon menepuk pundak Nic, lalu berjalan menjauh ke tepi jalan. Sebuah mobil sedan silver milik Rey sudah menunggunya sejak tadi.

Nic hanya bisa memandangi Ramon yang kini sudah menghilang di ujung jalan. Matanya terasa panas, pikirannya kacau. Ponselnya berbunyi.

"Ada apa?"

"...."

"Apa yang harus dibicarakan lagi? Semuanya sudah jelas."

"...."

"Iya, tunggu aku di tempat biasa."

Nic menggeram kesal. Seusai menutup teleponnya, Nic langsung mengendarai mobilnya menuju suatu tempat sesuai dengan percakapan.

My Lovely BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang