MLB-19

244 21 0
                                    

"Kamu jangan sok tau! Kamu revisi gambar ini, saya mau selesai sore ini juga." Tristan menyerahkan gambar pada Riby, kini pandangannya beralih ke hasil lembaran rencana anggaran biaya.

"Ini juga ... salah, Riby. kamu bisa bekerja dengan baik atau tidak?" Tristan bersuara keras membuat Riby tersentak kaget.

"Iya, Pak." Riby tak tau harus bicara apa lagi, dimana kesalahannya pun ia tidak tahu. Matanya mulai terasa panas.

"Kamu sesuaikan item pekerjaan di sini, sesuai dengan gambar, Riby. Yang tidak perlu ... tidak usah dimasukkan dalam analisanya. Kamu perbaiki segera,"perintah Tristan.

Riby mengangguk, buru-buru merapikan kertas yang berserakan oleh ulah Tristan lalu membawanya ke ruang kerjanya. Riby memperbaiki gambarnya terlebih dahulu, lalu menyesuaikan perhitungannya dengan gambar. Sesekali Riby melirik jam tangan, berharap waktu akan terasa begitu lama berlalu. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.

Ah sepertinya lembur lagi

Riby meraih ponselnya untuk mengirimkan pesan pada Rey untuk tidak menjemputnya karena ia akan lembur.

"Lembur, Bi?" Celo datang dengan secangkir kopi di tangannya.

"Iya ... aku harus revisi gambar dan juga RAB nya. Kamu juga lembur, Celo?" balas Riby.

Celo menyeruput kopinya, menikmati seduhannya sejenak, "iya ... gambarku harus selesai malam ini juga. Bahkan sepertinya aku menginap di kantor, Bi."

"Wow ...." hanya itu yang diucapkan Riby, kemudian ia melanjutkan pekerjaannya.

"Kalau begitu aku akan menemanimu di sini, Bi." Celo menyalakan komputer di sebelah meja Riby.

"Celo ... kenapa ya dataku sering hilang? Aku yakin udah nyimpan filenya kok." Kata Riby, namun tangan kanannya masih cekatan menggerakkan mouse, sementara tangan kirinya menekan-nekan keyboard.

"Nah itu ... aku juga bingung Bi. Sebelumnya enggak pernah ada kasus begini. Menurutku ... karena udah terjadi kedua kali, artinya memang ada orang yang sengaja menghapus data kamu, Bi," balas Celo, tangannya tak kalah aktif mengklik mouse.

"Tapi ... kenapa aku ya, Cel. Apa aku punya banyak musuh di sini?"

Celo tertawa."Memangnya kamu nggak tau ya ... banyak yang nggak suka sama kamu, Bi. Cuma kamu yang nggak pernah menyadari ...."

"Oh ya? Siapa, Cel? Riby menghentikan aktivitasnya.

"Aku Cuma menerka, Bi. Kalau aku kasih tau ... berarti aku menuduh ..., aku sendiri nggak punya bukti kalau orang itu pelakunya. Sudahlah ... kerjakan revisianmu. Jangan sampe pulang kemalaman." Celo mengalihkan pembicaraan.

"Ah iya ..." Riby kembali fokus dengan pekerjaannya.

***

Riby melangkah gontai, keluar dari kantornya. Langit sudah menghitam pekat, menyatu dengan cahaya berkilauan dari lampu-lampu jalanan. Sebuah sedan silver menantinya di parkiran.

"Udah makan belum, Bi?" tanya Rey pada Riby yang langsung terkapar di kursinya.

"menurut kakak?" balas Riby.

"Meneketehe, Bi. Kamu pikir kakak ini Tuhan apa? Yang tau segalanya!" balas Rey juga.

Riby mendengus kesal." Ya udah nggak usah nanya-nanya. Riby capek!"

"Eh ... adek kakak yang paling cantik ngambek. Kita makan dulu yuk di luar. Soalnya mama sama papa lagi pergi," ajak Rey.

"Terserah kakak deh. Riby ngikut." Riby melipat tangannya.

"Ayo cepetan, kak. Riel juga udah lapar nih," ucap Riel.

Riby langsung menoleh ke belakang dengan kaget."Riel? kamu di sini juga ternyata?"

Riel hanya memamerkan senyuman khas yang memperlihatkan gigi putihnya. Sementara Riby kembali menyandarkan kepalanya. Rey segera melajukan kendaraan menuju sebuah kafe.

"Nih, kak, aku pesenin ice cream full cokelat. Biar kepala kakak yang panas dan pengen pecah itu, bisa adem kembali." Rel menyodorkan ice cream yang sengaja dipesannya untuk Riby setelah mereka selesai makan hidangan utama.

"Buat kakak?" tanya Riby tak percaya kalau adiknya itu bisa romantis.

"Iya donk. Aku tau kakak mau bilang aku romantis. Memang iya, kak. Kakak nggak usah memuji, aku sudah tau," ujar Rey percaya diri tingkat kecamatan.

Rey mendengus,"pede banget ya, Riel."

"Iya donk. Siapa dulu ..., Riel. Kak Riby ini kayaknya lagi nggak mood banget ya." Riel menatap Riby.

"Mungkin ... perlu dipanggilin kak Ramon ya, Bi?" goda Rey.

Riby merengut lalu menyendokkan ice cream ke mulutnya. Terasa lumer di dalam mulut, dan perasaannya mulai membaik. "Jangan ... awas kalau sampai kakak telepon Kak Ramon ke sini."

"Nggak donk, Bi. Kak Ramon kan lagi sibuk. Nggak bisa diganggu sama sekali. Mana mungkin ..., eh tapi nggak tau deh kalau yang minta kamu."

"Nggak usah deh, kak. Kak ... mungkin nggak sih ada orang yang benci dengan kita di kantor?"

"Ya mungkin aja, Bi. Apa yang tidak mungkin di dunia ini kalau Allah sudah berkehendak," balas Rey dengan Religi mode on-nya.

"Tapi ... aku ngerasa nggak pernah melakukan kejahatan apapun di kantor. Kenapa sampai dibenci begitu."

"Tidak ada alasan orang untuk membenci atau menyukai kita, Bi. Kalau benci ... ya benci aja. Kalau suka ... ya suka aja. Kita juga nggak bisa memaksa orang untuk selalu menyukai kita. Sekalipun jalan kita sudah lurus ... tetap saja ada orang yang tidak menyukai kita, Bi," jelas Rey.

"Memangnya siapa yang benci sama kakak di kantor?" tanya Riel.

"Nggak tau ..., tapi udah dua kali data penting kakak hilang di komputer. Sebelumnya nggak pernah terjadi, data hilang. Ada yang bilang mungkin saja ada pihak yang tidak menyukai keberadaanku di kantor," jawab Riby.

"Nah ..., itu bisa terjadi, Bi. Dalam hal apapun pasti ada aja orang yang nggak suka sama kita. Makanya kamu berhati-hati, karena mereka sudah mulai melakukan hal-hal yang kotor."

"Wah ... jadi gimana donk, kak?"

"Resign. Cuma itu saran kakak-kakakmu yang tampan nan rupawan, Bi." Rey tersenyum bangga.

Riby langsung menunjukkan ekspresi datarnya."Resign ... resign ... resign."

Rey terkekeh."Itu sih ... terserah kamu, Bi. Daripada mereka mencelakai kamu lebih dalam ..., bagaimana?"

"Iya sih, kak. aku jadi serem." Riby mengusap tengkuknya.

"Ya itu ... dunia konstruksi itu kejam, Bi. Pekerjaan kita bagus dan lancar, pasti ada teman sekantor yang usil. Hanya ada dua hal, menyingkirkan atau disingkirkan."

"Tidak ada pilihan lain?"

"Di tengah-tengah. Pasang pagar besi setinggi langit. Tapi kamu hanya jalan di tempat. Kamu nggak mengalami kemajuan apapun. Jadinya hidup kamu flat. Gitu-gitu aja, kayak ... hidup segan mati tak mau." Rey mengusap rambut Riby.

Riby tercengang mendengar penjelasan Rey. Ternyata kakaknya yang satu itu bisa juga berkata bijak.

"Kakak tinggal memilih ... disingkirkan oleh teman-teman kakak, menyingkirkan teman-teman kakak, atau ... beli pagar besi," ucap Riel santai.

"Nah, tumben Riel ... otakmu berjalan dengan baik."

"otak itu nggak jalan, kak. otak itu berpikir. Mungkin otak kakak yang berjalan kemana-mana, hingga kadang-kadang kakak bertindak seperti tidak punya otak," balas Riel santai yang kemudian dibalas dengan tatapan tajam dari Rey.

Riby terkekeh melihat Riel dan Rey yang hanya ejek-ejekan sampai akhirnya waktu sudah larut malam dan mereka pulang ke rumah. Tapi sepanjang malam pikiran Riby terus terusik dengan perkataan Rey yang menyarankannya untuk Resign. Hingga akhirnya ia terlelap dan bermimpi indah.

My Lovely BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang