MLB-28

201 14 0
                                    

Suasana pagi ini seperti biasa, Larina menyiapkan sarapan pagi, kali ini dibantu oleh asisten rumah tangg. Larina mudah kelelahan karena faktor usia. Ditambah lagi masalah yang belakangan ini timbul, sangat menguras energinya.

"Selamat pagi, Ma, Pa." Rey menarik kursinya dengan semangat.

"Pagi, sayang," balas Larina, matanya mengikuti pergerakan Riby yang juga baru saja sampai, namun tak bersuara.

"Selamat pagi, Mom, Dad." Brenda duduk dengan nada ceria.

"Selamat pagi," jawab Glen.

"Dimana Ramon? Apa dia belum bangun?" tanya Brenda.

"Kak Ramon tidak di sini. Dia punya tempat tinggal sendiri," jawab Rey.

"What? Kenapa Ramon meninggalkanku di sini? Harusnya aku ikut tinggal di apartemennya. Katakan di mana apartemennya, biar aku menyusul ke sana," kata Brenda.

"Tidak, Brenda. Kamu harus tinggal di sini, karena kamu sedang hamil. Kalau kamu tinggal di apartemen Ramon, tidak ada yang bantuin kamu. Kalau terjadi apa-apa bagaimana?" jawab Larina dengan tenang.

"Kami bisa memakai asisten rumah tangga, Mom, aku akan senang jika ... aku tinggal di sana. Apalagi ... sebentar lagi anak kami lahir." Brenda mengusap perutnya.

Riby mendecih pelan, kemudian ia makan dengan terburu-buru. Jelas terlihat sedang marah.

"Hei, kamu perempuan ... kenapa makannya seperti itu." Brenda melihat Riby dengan jijik.

"Ah ... kalau kamu tidak suka ... tidak perlu kamu lihat!" jawab Riby dengan nada judesnya.

"Sepertinya kamu tidak menyukaiku. Apa ada yang salah denganku?" tanya Brenda yang kemudian mengusap dadanya.

"Iya, memang! Kalau kamu tidak suka dengan sikapku, silahkan pergi dari sini! Cari tempat yang memang layak untuk orang sepertimu!" balas Riby.

Rey menggeleng, kemudian menepuk jidatnya,"Riby ... kita berangkat sekarang?"

"Iya!"Riby berdiri."Males lama-lama juga," sambungnya lagi.

"Mom, ada apa dengannya? Mungkin dia sedang putus cinta," kata Brenda, lagi-lagi membuat tanduk Riby ingin keluar dan menusuknya.

"Ah, kalau begitu kami pergi, ma, Pa." Rey membalikkan badan Riby dan membawanya pergi.

"Apa-apaan ini! Aku tertindas di rumahku sendiri! Semua ... tampak jelas lebih berpihak ke Brenda!" omel Riby.

"Kamu belum mendengarkan penjelasan dari Mama dan Papa, kan? Tapi ... ya bagaimana kamu bisa mendengar, kalau kamu sibuk terus di kantor. Pelarian?" ejek Rey.

"Sok tau, kakak!" Riby membuang pandangannya dari Rey.

"Ayo, masuk. Mau berdebat terus sampai kantor kamu pindah ke sini?" Rey masuk ke dalam mobil,begitu juga dengan Riby.

Sepanjang perjalanan, Rey hanya tertawa dalam hati, sebab kalau tertawa sungguhan bisa-bisa Riby tak akan mau pulang ke rumah. Rey hanya menertawakan ekspresi Riby yang lucu ketika sedang marah seperti ini.

"Hari ini jangan lembur, Bi, biar kita semua bicara. Menjelaskan permasalahan yang sedang terjadi. Jadi ... kamu tidak marah-marah terus." Rey mengingatkan sebelum Riby turun dari mobil.

"Aku banyak kerjaan, kak, aku enggak janji." Riby menjawab dengan dingin, lalu keluar dari mobil.

Rey menggeleng pasrah, hanya bisa berharap semoga semuanya baik-baik saja. Rey menuju ke kantor Ramon.

"Kak," panggil Rey. Saat itu Ramon sedang bicara pada salah satu pegawainya di ruang tamu.

"Rey, kita bicara di ruangan aja ya," kata Ramon.

Rey mengangguk, langsung ke ruangan Ramon. Setelah selesai berbicara dengan pegawainya, Ramon langsung menyusul Rey.

"Ada apa, Rey?"

"Memangnya Brenda harus tinggal di rumah kita, hah? Itu semakin menyakiti Riby dan mungkin ..., akan membuatnya semakin marah sama kakak."

"Lalu ... aku suruh tinggal di apartemenku begitu?" Ramon menghempaskan tubuhnya ke sofa.

Rey mengikuti Ramon,"maksudku, kenapa kita harus menampungnya di rumah? Bukankah kakak sendiri yakin kalau itu bukan anak kakak?"

"Aku juga sudah menolak, Rey. Tapi ini saran Papa, kamu tau, kan ... malam itu Brenda ngotot sekali. Dia bersikukuh mengatakan kalau itu adalah anakku. Jadi, kalau seandainya kita tidak menampungnya di rumah, dia bisa menyebarkan berita ke luar, Rey. Bisa saja dia datang ke kantor ini, terus minta pertanggung jawaban ..., seisi kantor akan tau. Gosip dimana-mana. Reputasi keluarga kita rusak.," jelas Ramon.

Rey yang pada malam itu tidak mengetahui semuanya secara keseluruhan, mulai mengerti."Riby tau tentang ini?"

"Ya tidak!. Bertemu aku saja, dia tidak mau. Selalu marah," jawab Ramon frustasi.

"Riby butuh waktu untuk bisa menerima semua ini. Lagipula ... setelah melahirkan, semuanya akan terbukti, kan.," kata Rey.

"Iya, tapi ... itu masih sebulan lagi, Rey. Cukup lama ... dan selama itu pula aku merasa tersiksa," gerutu Ramon.

Rey tertawa,"yah... ini resiko dalam sebuah hubungan kan? Namanya juga hidup, pasti ada masalah."

"Aku sudah minta tolong Langit untuk cari informasi tentang Brenda. Setelah melahirkan, kita harus segera memulangkannya ke negara asalnya sana," kata Ramon.

"Negara asal kalian berdua," ejek Rey.

Ramon melemparkan pena yang dipegangnya ke arah Rey."Jangan katakan itu lagi. Sekarang aku sudah kembali."

"Kak, untuk AKE ... seharusnya itu bisa dikendalikan oleh Riby. Aku lihat direktur yang sekarang kurang bisa mengembangkannya. AKE bisa berkembang, karena kakak masih berperan besar di sana, kan."

"Iya, dan juga karena masih ada Bintang, isterinya Samudra. Desainnya bagus," jawab Ramon.

Rey mengangguk,"bagaimana kalau Bintang saja kita jadikan Direktur di sana?" Saran Rey.

"Aku harus minta izin dulu dari Samudra, Rey. Aku tidak yakin Samudra mengizinkan," balas Ramon.

"Belum juga dicoba. Tapi kalau seandainya Bintang dan Riby berkolaborasi, sepertinya keren." Rey larut dalam khayalannya.

Ramon mengusap wajahnya, "hah... semakin panjang Pe-er kakak, Rey. Kamu saja yang atur masalah AKE, kamu yang bicara sama Bintang. Kakak pusing mikirin Riby."

"Makanya, enggak usah jatuh cinta!" Rey terkekeh.

"Jatuh cinta itu takdir, Rey."

"Hah! Masa iya," kata Rey lagi dengan nada mengejek.

"Iya, memangnya kita bisa menebak kapan kita jatuh cinta? Enggak kan? Jatuh cinta itu misteri ..., karena kita enggak tau kapan ... dan pada siapa kita jatuh cinta.," jelas Ramon.

"Pakai jurus pengendali perasaan dong, kak! kita bisa mengendalikan perasaan kita, untuk tidak jatuh cinta!" sanggah Rey.

"Kamu akan sadar kalau ucapan kakak ini benar, kalau kamu sudah jatuh cinta! Ya udah balik kerja sana," usir Ramon.

"Lah ... ngusir?"

"Ya iyalah, aku kan CEO di sini. Wajar nyuruh bawahan aku balik ke kantor untuk kerja," kata Ramon santai.

"Asem! Ya udah ... aku kembali ke habitatku dulu, kak. Semoga ... kakak diberikan kekuatan oleh Allah SWT untuk menghadapi semua ini." Religi Mode on Rey muncul, namun ia mengatakan itu dengan nada setengah mengejek.

"Rey!" teriak Ramon karena ia tau Rey sedang mengejeknya.

Rey tertawa, kemudian kabur sebelum mendapat lemparan dari Ramon.

My Lovely BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang